Ketika menghadiri Konferensi Pelajar Internasional di Praha pada 1946, Carmel Brickman bertemu dengan seorang pemuda Indonesia bernama Suripno. Perempuan asal Inggris itu lalu bersahabat dan melakukan perjalan ke Yugoslavia. Di sana, mereka bergabung dengan Brigade Pemuda Internasional dan turut serta membangun Youth Railway (Kereta Api Pemuda). Sayangnya, persahabatan mereka begitu singkat.
“Saya tidak tahu pada saat itu bahwa dia adalah seorang pemimpin Partai Komunis. Beberapa tahun kemudian dia ditembak mati di Madiun, Jawa Timur, bersama sepuluh komunis terkemuka lainnya setelah bentrokan keras antara PKI dan tentara,” tulisnya dalam Surviving Indonesia’s Gulag.
Selama di Praha, Carmel memang dekat dengan komunitas Asia, termasuk Indonesia. Hingga pada 1947 ketika diterima bekerja sekretariat International Union of Student (IUS) Praha, Carmel kembali dekat dengan pria Indonesia bernama Suwondo Budiardjo. Kala itu Suwondo sedang menempuh studi ilmu politik di Universitas Charles, Praha.
Baca juga: Di Balik Pidato Presiden Sukarno
Keduanya kemudian menikah di Praha pada 1950 dan pindah ke Indonesia dua tahun kemudian. Carmel, yang kemudian menggunakan nama belakang Budiardjo, bekerja sebagai penerjemah di kantor berita Antara. Ia lalu menjadi peneliti ekonomi di Kementerian Luar Negeri sejak 1955. Suwondo, kala itu merupakan pejabat senior di Kementerian Angkatan Laut. Mereka tinggal di kawasan elit, Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Peristiwa G30S meletus 13 tahun setelah Carmel tinggal di Indonesia. Kendati bukan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), keanggotaannya dalam Himpunan Sarjana Indonesia (HIS) yang beraliran kiri membuatnya langsung dipecat dari Kementerian Luar Negeri. Carmel juga kehilangan pekerjaan sebagai dosen serta penulis esai ekonomi popular di media massa. Carmel tidak ditangkap pada 1965, namun harus beberapa kali diinterogasi.
Sementara, Suwondo dua kali ditahan sejak Oktober 1965. Pada September 1968, ia ditangkap lagi. Kali ini bersama Carmel. Carmel menduga, ia baru ditangkap pada 1968 karena kegiatan politiknya tak begitu aktif hingga 1965.
“Saya tidak dalam posisi untuk menjalin hubungan apa pun dengan gerakan bawah tanah yang muncul setelah Partai Komunis dilarang; Saya bahkan tidak bisa mengartikulasikan pendapat saya tentang kebijakan ekonomi pemerintah baru karena tidak ada surat kabar yang berani mempublikasikan pandangan seseorang yang begitu dicurigai dan tidak disukai,” tulisnya dalam “Three years as political prisoner in Indonesia” yang termuat dalam Journal of Contemporary Asia. 1973.
Baca juga: Peliknya Menjalin Komunikasi dengan Tapol
Kedua anak Carmel, Tari Lang (17) dan Anto Budiardjo (12), dikucilkan oleh teman dan kerabat. Rumah mereka dijaga ketat tentara. Pada 1970, Angakatan Darat akhirnya menyita rumah itu. Selama dua tahun rumah itu masih diperebutkan. Sementara kedua anak Carmel akhirnya pergi dari Indonesia dan tinggal bersama keluarga Carmel di London.
Sejak ditangkap, Carmel dipenjara hingga November 1971. Ia hanya boleh bertemu kerabat dua kali. Ia tak bisa mendapat informasi dari luar, apalagi berkirim surat mengabarkan keadaannya di dalam penjara. Carmel mengenang, para tahanan tidur di lantai tegel tanpa tikar maupun alas seadanya.
“Saya belajar di penjara bagaimana rasanya menjadi sangat lapar. Ransum makanan kami sehari-hari hanya berjumlah dua piring nasi ditambah sepiring kecil sayuran berair dan sepotong kecil tahu atau kadang-kadang ikan asin porsi kecil. Kami melihat daging atau telur hanya beberapa kali dalam setahun pada hari-hari raya,” kenang Carmel.
Selain makanan buruk, di luar itu para tahanan hanya mendapat air minum. Pakaian ganti atau sabun pun tak diberi. Tapi yang lebih mengerikan, selama interogasi, banyak terjadi penyiksaan dan pelecehan seksual.
“Banyak wanita ditelanjangi dan dipukuli selama interogasi dan beberapa rekan tahanan saya menderita karena alat-alat kasar dimasukkan ke dalam vagina mereka. Pemerkosaan terhadap interogasi atau tahanan perempuan tidak jarang terjadi,” ungkap Carmel.
Ketika banyak dari tahanan laki-laki dikirim ke Pulau Buru, tahanan perempuan dikirim ke Plantungan. Carmel tak menjadi salah satu dari mereka. Pada 1954, ia telah mengajukan permohonan sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Namun, hingga ia ditahan, paspornya belum keluar. Maka ia berusaha mengembalikan kewarganegaraan Inggrisnya agar dibebaskan. Usaha itu berhasil pada November 1971 dengan bantuan Amnesty International.
Baca juga: Tujuh Tahanan Politik Perempuan di Kamp Plantungan
Setelah bebas, ia harus keluar dari Indonesia. Carmel lalu kembali ke London. Suaminya, Suwondo, harus tinggal di bui selama tujuh tahun. Setelah bebas pada 1975, Suwondo pun kembali bersama keluarganya di London.
Tak lama usai menghirup kebebasan, Carmel tak tinggal diam melihat ketidakadilan di Indonesia. Pada 1973, ia mendirikan organisasi TAPOL untuk mengkampanyekan pembebasan para tahanan politik. Organisasi sukarela ini bergerak dari flat kecil Carmel di London.
“Misinya adalah mengamankan kebebasan puluhan ribu tapol yang ditinggalkannya, yang hampir semuanya ditahan tanpa pengadilan sebagai tersangka komunis pasca-penumpasan antikomunis 1965 (kata tapol merupakan singkatan dari dua kata bahasa Indonesia tahanan politik yang berarti 'tahanan politik'),” tulis tapol.org.
Selama puluhan tahun TAPOL telah melakukan kampanye terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia. Berawal dari isu 1965, kemudian memasuki isu invasi Indonesia di Timor Timur, konflik Aceh hingga Papua Barat.
Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Wilson Obrigados, bertemu dengan Carmel pada Februari 1996. Kala itu, TAPOL dan Amnesty International tengah mengorganisir kampanye mendukung kemerdekaan Timor Leste dan demokrasi di Indonesia. Wilson mengenang, ia bersama Carmel berjalan kaki untuk menemui orang-orang dan lembaga-lembaga terkait.
“Energi Bu Carmel seperti tak ada habisnya,” tulis Wilson dalam obituari untuk Carmel, seperti diterima Historia melalui pesan Whatsapp.
Carmel memang tangguh. Berbekal fakta-fakta pelanggaran HAM berat yang dilakukan rezim Soeharto, ia mendatangi parlemen dan politisi Inggris, media internasional, organisasi HAM hingga berbagai komunitas solidaritas. Dari situ, kasus-kasus pelanggaran HAM oleh militer Indonesia mulai menjadi perhatian dunia internasional.
Baca juga: Buku Lagu Para Tapol
“Dari kasus pelanggaran HAM korban 1965, Ibu Carmel semakin dibenci pemerintah Orba karena melakukan internasionalisasi pelanggaran HAM berat di Timor Leste, Papua dan Aceh. Di tiga wilayah ini terjadi konflik antara gerakan pembebasan nasional berhadapan dengan militer Indonesia yang memberlakukan Daerah Operasi Militer,” tulis Wilson.
Menurut Wilson, kemerdekaan Timor Leste dan tumbangnya kediktatoran Soeharto adalah kisah sukses kerja aktivisme TAPOL dan Carmel. Pada 1995, Carmel dianugerahi Right Livelihood Award dari Stokholm. Pada tahun sama ia juga menerima penghargaan dari organisasi PIJAR dan koalisi LSM Aceh. Pada 2008, Carmel menjadi orang pertama yang menerima John Rumbiak Human Rights Defenders Award. Atas jasa-jasanya pada Timor Leste, pada 2009, Presiden Timor Leste Jose-Ramos Horta memberi Bintang Timor Leste kepada Carmel Budiardjo.
Meski terserang stroke sejak 2005, perempuan kelahiran London, 18 Juni 1925 ini masih terus konsisten dengan perjuangannya hingga berita duka itu tiba. Carmel Budiardjo meninggal dunia di London pada Sabtu, 10 Juli 2021. Selamat jalan, Pejuang.