Rumah-Rumah Bikinan VOC
Bangunan VOC di Hindia Belanda awalnya panas, gerah, dan tidak nyaman. Kemudian disesuaikan dengan iklim setempat.
Orang-orang Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) merebut Jaccatra pada 1619. Mereka mendirikan kota pelabuhan baru bernama Batavia di atas puing-puing Jaccatra. Batavia kota berbenteng, mirip dengan tipologi kota-kota di Eropa. Di dalam benteng, orang-orang VOC mendirikan aneka bangunan: kantor dagang atau pemerintahan, gudang penyimpanan, dan rumah.
Kebanyakan bangunan tersebut mengambil model dari Negeri Belanda dan contoh-contoh bangunan peninggalan Portugis, rival VOC di Asia.
“Pada zaman ini tipologi bangunan empat musim ditransplantasikan (atau diterapkan dengan paksa) di kawasan tropis yang memiliki temperatur tinggi, kelembapan tinggi, curah hujan tinggi, dan terpaan terik matahari jauh lebih lama,” catat Johannes Widodo dalam “Arsitektur Indonesia Modern: Transplantasi, Adaptasi, Akomodasi, dan Hibridisasi” termuat di Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia.
VOC tidak menentukan standar estetik atas bangunan mereka. Mereka juga enggan berkiblat pada visi arsitektur tertentu. Karena itulah bangunan VOC “tidak dirancang untuk menjadi objek-objek arsitektur bergengsi,” tulis Cor Passchier dalam “Arsitektur Kolonial di Indonesia: Rujukan dan Perkembangan” termuat di Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia.
Tidak Nyaman dan Gerah
VOC menggarisbawahi bahwa rancangan bangunan harus memenuhi persyaratan elementer dan fungsional. Ciri-ciri bangunan milik VOC antara lain bagian depan rata tanpa beranda, jendela besar, dinding bata berplester, atap genting merentang sejajar dengan jalan, dan bukaan ventilasi silang sangat sedikit. Bangunan seperti ini berbeda jauh dari langgam bangunan penduduk tempatan.
Kebanyakan bangunan penduduk tempatan terbuat dari kayu, bambu, dan beratap rumbia. Kehadiran bangunan berbahan bata dengan teknik dan metode dari Eropa cukup menarik perhatian penduduk tempatan. Dengan perbedaan bangunan seperti itu, orang-orang VOC menarik garis pemisah dan memamerkan keunggulan atas penduduk tempatan.
Tetapi gengsi sebagai orang VOC berharga mahal. Bangunan rancangan VOC mempunyai masalah dari segi kenyamanan. Saat terang hari, sinar matahari akan langsung masuk melalui jendela besar dan lebar. Menyebabkan udara di dalam bangunan menjadi panas dan terkumpul hingga sore.
Sementara pakaian penghuni bangunan pun masih selaras dengan iklim empat musim. Betapa gerah, pengap, dan tidak nyamannya tinggal dan bekerja di bangunan bikinan orang-orang VOC.
Baca juga: Rumah-Rumah Zaman Kesultanan
“Tak ada waktu bagi mereka untuk mengubah gaya arsitektur,” lanjut Johannes. Lagipula orang-orang VOC di Batavia memang sengaja menekankan arsitektur bangunan pada perihal keamanan ketimbang segi kenyamanannya. Karena itu, Johannes menyebut arsitektur bangunan awal bikinan VOC sebagai arsitektur survivalist.
VOC memang berhasil merebut Jaccatra dan membangun kota koloni baru, tetapi orang-orang dari Mataram, Banten, Karawang, dan Cirebon masih sering bergerilya di kawasan luar benteng.
“Para penguasa Mataram dan Banten tidak mengakui Batavia sebagai kawasan mandiri orang Barat dan selalu mengobarkan perang gerilya melawan VOC, terlebih sesudah kegagalan mereka mengepung Batavia tahun 1628—1629,” tulis Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII. Selain itu, ada pula ancaman binatang buas dan perampok.
Tidak seorang pegawai VOC pun berani mendirikan bangunan di luar benteng kota pada dekade awal pembangunan Batavia. Bahkan untuk berjalan di luar benteng, mereka harus melakukannya dengan penjagaan serdadu.
Ngerumpi di Serambi
Pegawai VOC lebih banyak menghabiskan waktu di dalam benteng kota. Selepas bekerja, mereka senang bercengkrama dengan tetangga atau rekan kerja di luar rumah, di bagian serambi depan rumah. Teh, arak, pipa rokok, sirih, pinang, dan panganan kecil tersedia di serambi untuk menemani penghuni dan tetamu rumah.
Orang VOC menyebut serambi depan sebagai stoep. “Beranda bertutup atap yang lazim di rumah-rumah penduduk asli,” catat Cor Passchier. Lebarnya sekira satu setengah meter dan ada beberapa kursi di dua sisinya. Di bagian ini pulalah mereka bisa merasakan kesejukan dari angin berembus hingga malam tiba.
“Barang siapa berjalan-jalan di Batavia di malam hari, pasti akan melewati sejumlah serambi yang penuh sesak dengan orang yang sibuk bercoloteh ria,” ungkap Hendrik. Serambi tersua pula di rumah-rumah Negeri Belanda. “Semua aktivitasnya adalah khas Asia,” lanjut Hendrik.
Selain sebagai tempat bercengkrama dan mencari angin, serambi juga berfungsi sebagai ranah pribadi dan publik. Saat itu, orang-orang VOC jarang sekali menerima tamu di dalam rumah. Ruangan dalam rumah sangat privat. Tidak sembarang tetamu bisa memasuki ruang ini di tiap rumah milik orang VOC.
Serambi adalah juga batas antara jalan milik umum dengan kepemilikan pribadi. Pemisahan itu biasanya ditegaskan oleh pagar rendah di sekitar serambi dan bahan bangunan yang berbeda antara jalan umum dengan serambi. Keberadaan serambi terus bertahan hingga VOC masuk babak baru.
Baca juga: Genosida VOC di Pulau Banda
Awal abad ke-18, kedudukan VOC di Hindia Belanda kian kukuh. Di Batavia, orang-orang VOC mulai berani membangun rumah di luar benteng kota. Mereka juga merambah hutan-hutan di sana. Berburu binatang, mengambil bebuahan, atau plesir menikmati hawa yang lebih sejuk di selatan kota.
Masa-masa inilah orang-orang VOC mulai meninggalkan langgam arsitektur survivalist. Mereka kini membangun rumah dengan pertimbangan kenyamanan. Mereka punya modal untuk itu.
Orang-orang VOC telah bersentuhan dengan penduduk dan budaya setempat selama lebih dari seabad. Mereka juga telah memperoleh penghasilan lebih besar, hasil dari peningkatan keuntungan perusahaan dengan menjual rempah-rempah. Ini mempengaruhi cara dan gagasan mereka dalam membangun rumah.
Beberapa pegawai rendah VOC berupaya membangun rumah dengan pendekatan penduduk setempat dan menyatu dengan alam. Ini misalnya tersua dalam rumah keluarga Perkenier di Banda.
Rumah Kebun (Landhuizen)
Tetapi pejabat-pejabat tinggi VOC di Batavia berlainan visi dan selera dari pegawai-pegawai rendahan dalam membangun rumah. Mereka membangun rumah megah di pinggiran kota dan berlomba menunjukkan kekayaan melalui rumah. Salah satunya rumah milik Reinier De Klerk di pinggiran Batavia pada 1760 (sekarang berada di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, dan sempat menjadi kantor Arsip Nasional Republik Indonesia).
Rumah Reinier bertingkat satu. Ada halaman depan dan belakang yang luas. Kebun-kebunnya ditanami beragam jenis tanaman. Sangat asri dan berguna bagi penghuni dan tetamu rumah. Serambinya memang masih tertutup dan tidak terlalu luas. Tetapi desain keseluruhan rumah sudah mempertimbangkan iklim tropis. “Dengan langit-langit tinggi dan lantai bermarmer atau berubin,” terang Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta.
Contoh lain perwujudan kekayaan dan kemakmuran pejabat VOC tampak dalam rumah di kawasan Weltevreden (sekarang Lapangan Banteng dan Monas, Jakarta Pusat). Kawasan ini dulu benar-benar rimbun sehingga harga tanah sangat murah.
Sisa uang pembelian tanah di luar benteng kota masih bisa digunakan untuk mendatangkan bahan-bahan bangunan kelas satu dan mendesain rumah secara mewah. Inilah yang terjadi pada rumah Gubernur Jenderal J. Mossel pada 1750.
Baca juga: Sejarah Gedung Mahkamah Konstitusi dan Medan Merdeka Barat
“Rumah dan tamannya mirip (istana, red.) Versailles. Bangunan utamanya terdiri atas dua lantai. Kemewahan masih ditambah dengan dekorasi pahatan atap dalam wujud rajawali-rajawali besar,” tulis Cor Passchier.
Perlombaan kekayaan dan kemegahan VOC tidak berjalan langgeng. Perlombaan selesai ketika VOC bangkrut pada 1799. Rumah-rumah itu diambil-alih oleh orang-orang penyokong Revolusi Prancis dan Kaisar Napoleon Bonaparte. Negeri Belanda diduduki oleh Prancis dan Batavia jatuh ke kuasa Prancis.
Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1805—1811), merencanakan sebuah kota baru di Weltevreden. Dia juga memerintahkan setiap bangunan di sana memiliki langgam neo-klasik dengan kolom (pilar bergaya ionik, dorik, dan corinthian) agar menunjukkan kewibawaan pemerintah.
Orang Amerika menyebut langgam ini sebagai colonial style (gaya kolonial), sedangkan orang Inggris menamakannya imperial style (gaya imperium). Kelak langgam ini berkembang luas di berbagai kota Hindia, sempat mati, dan kemudian hidup lagi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar