Rumah-Rumah Zaman Kesultanan
Rumah tak semata tempat berteduh, melainkan juga wujud pandangan hidup, status sosial, dan kebudayaan.
RUMAH adalah kebutuhan pokok tiap orang pada beragam zaman. Tak terkecuali pada masa-masa kesultanan Islam berkembang di Kepulauan Nusantara antara abad ke-13 sampai ke-19. Orang-orang di ibukota kesultanan membangun rumah bersesuaian dengan pandangan hidup, status sosial, situasi alam, kebudayaan, dan kontak sosial mereka.
Naskah-naskah Nusantara dari kurun abad ke-13 sampai ke-19 seringkali memuat kisah pembangunan dan pembinaan rumah di Kepulauan Nusantara. Melalui pembacaan naskah-naskah tersebut, Tatiana Denisova, pakar sejarah Melayu-Nusantara, menyebut penduduk Melayu di Kepulauan Nusantara membangun rumah secara penuh perhitungan.
Wujud perhitungan itu dituangkan dalam ukuran-ukuran tertentu dalam pembangunan rumah. Antara lain depa, ruang, hasta, buku, ketak, jengkal dan sependekap.
Selain mempunyai sistem ukuran sendiri, orang Melayu punya cara sendiri untuk menghormati dan menghargai rumah. “Setiap barang dan unsur bangunan mempunyai nama sendiri,” tulis Tatiana Denisova dalam Sumber Historiografi di Alam Melayu: Koleksi Peribadi John Bastin. Misalnya, bagian utama dalam rumah Melayu tradisional disebut rumah ibu.
Penyebutan itu wujud dari pandangan orang Melayu tentang perempuan. Bahwa perempuan mempunyai peranan yang tinggi dan mulia dalam masyarakat. Maka bagian terpenting rumah pun memiliki sebutan rumah ibu.
Mengutip Building a Malay House karangan Abdul Halim Nasir, Tatiana juga menyatakan pembangunan dan pembinaan rumah berkaitan erat dengan hal-ihwal agama dan cara hidup orang Melayu. Serupa dengan Tatiana, Jan J.J.M. Wuisman juga menakar adanya pengaruh Islam dalam pembangunan dan pembinaan rumah pada kurun mekarnya Kesultanan Islam di Nusantara.
“Perubahan paling penting yang diakibatkan oleh perkembangan kepercayaan Islam adalah pada pembagian dan penggunaan ruang, terutama pada pengenalan dan artikulasi pembedaan gender antara bagian laki-laki dan perempuan di dalam rumah,” tulis Jan dalam “Posisi dan Peran Tradisi-Tradisi Vernakular Indonesia dan Langgam Bangunan Masa Lalu dalam Masa Kini” termuat di Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia.
Kebiasaan hidup orang Melayu yang karib dengan hutan membuat sebagian besar rumah mereka berbahan dasar kayu. “Kayu dianggap sebagai bahan yang amat sesuai dan memenuhi syarat-syarat kehidupan di alam Melayu dari sudut pandangan ilmu ekologi dan iklim,” tulis Tatiana
Kebiasaan bersentuhan dengan kayu menjadikan banyak penduduk tempatan terampil dalam mengolah kayu. “Hampir tiap orang adalah tukang kayu,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, mengutip catatan William Dampier, pelancong Eropa di Nusantara, pada 1697. Kemampuan ini memberikan kegunaan besar dalam pembangunan rumah.
Tapi buat para pembesar kesultanan dan golongan elite di ibukota kesultanan, rumah tak cukup hanya berbahan kayu. Mereka menarik garis pembeda antara rumah mereka dengan rumah rakyat kebanyakan.
“Dalam berita asing antara lain dikatakan bahwa rumah-rumah bangsawan, pejabat-pejabat tinggi pemerintahan dibuat dari bahan-bahan yang lebih kuat dan permanen berukuran besar,” tulis Uka Tjandrasasmita dalam Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi. Golongan elite juga menambah rupa-rupa ukiran di kayu rumahnya.
Meski ada beda antara rumah golongan elite dan jelata, sebagian besar pembangunan rumah tak mengeluarkan banyak biaya dan waktu. Mereka terbiasa melibatkan sanak famili dan para tetangga untuk mengumpulkan bahan pembangun rumah dari alam sekitar. Kepemilikan pribadi atas tanah dan kekayaan alam belumlah jamak dikenal pada kurun ini.
Setelah bahan pembangun rumah terkumpul, mereka mendirikan sejumlah tiang sebagai tahap awal pembangunan. Tiang itu tidak ditanam ke dalam tanah, melainkan ditumpang di atas tanah untuk memudahkan pemindahan rumah jika sewaktu-waktu diperlukan.
Pembangunan rumah berlanjut pada pembuatan alas atau lantai. Ia tak menempel pada tanah, melainkan berjarak satu sampai dua meter di atasnya. Pembinaan macam ini disebut rumah panggung yang bersesuaian dengan pikiran penduduk tempatan mengenai rumah sebagai kosmis kecil dan fungsi praktisnya terhadap banjir.
Tingkat paling bawah biasanya untuk ruang hidup hewan atau penampungan sampah. Tingkat tengah tertuju untuk aktivitas penghuni rumah seperti bercengkerama atau tidur. Tingkat teratas digunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalan leluhur atau sesuatu yang dianggap suci.
Sejumlah catatan pelancong Eropa abad ke-17 di Aceh yang terangkum dalam le Grand Dictionnaire geographique, historique et critique karya M. Bruzen de la Martinienere, menjelaskan fungsi praktis pembinaan rumah secara bertingkat tersebut. “Rumah-rumah dibangun seperti tersebut di atas karena banjir bisa mencapai lantai pertama,” ungkap Bruzen, seperti dikutip dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX.
Berkaitan dengan pembinaan rumah yang terbagi atas ketinggian berbeda, penduduk tempatan membuat tangga untuk menjangkau ketinggian itu. Fungsi tangga yang penting ini berujung kepada penciptaan istilah sohor rumah tangga di kalangan orang Melayu Nusantara untuk menyebut kehidupan keluarga mereka.
Pembuatan atap menjadi tahap akhir pembangunan rumah. Sesuai dengan keadaan curah hujan yang tinggi di kota-kota Nusantara, atap rumah lazimnya berbentuk curam. “Atap rumah Melayu dibuat daripada daun pokok palma dan kayu,” catat Tatiana.
Anthony Reid menyatakan semua tahapan pembangunan rumah memakan waktu sekira enam puluh hari. Bahkan ada juga yang waktu pembangunannya hanya beberapa jam saja. Dan rumah pun siap dihuni oleh beberapa keluarga.
Para sultan dan raja di Nusantara tidak secara langsung menyediakan rumah untuk rakyatnya. Pembangunan rumah diusahakan sendiri oleh rakyat. Tapi pembangunan rumah rakyat menjadi gambaran penting bagi para sultan dan raja. “Menggambarkan sebuah kerajaan yang makmur dan sikap raja yang adil,” tulis Tatiana Denisova dalam Refleksi Historiografi Alam Melayu.
Pembangunan dan pembinaan rumah berubah ketika orang-orang Eropa berhasil merebut sejumlah kota perdagangan penting di Nusantara. Banyak rumah mempunyai lantai yang menempel dengan tanah. Batu mulai menggantikan kayu sebagai bahan utama pembangun rumah. Perubahan juga meliputi konsep filosofis dan gaya arsitektur rumah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar