Kisah Jongkie Sugiarto, Montir Mobil Kepresidenan RI
Sosok penting di balik kelancaran dan keselamatan berkendara para presiden Indonesia. Melayani dari masa kepresidenan Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
JONGKIE Sugiarto dibangunkan dari tidurnya pada suatu malam di tahun 1976. Jam menunjukan pukul 11 malam. Sepasukan Corps Polisi Militer (CPM) datang menjemput Jongkie malam itu.
“Saya pikir ada apa. Apa tetangga saya ditangkap? Ternyata saya dipanggil ke Istana karena besoknya jam 10 pagi Presiden Marcos dari Filipina datang mendadak dan mobil harus disiapkan malam itu juga,” kenang Jongkie.
Begitulah secuil pengalaman Jongkie sebagai montir mobil kepresidenan di masa Presiden Soeharto. Meski berprofesi sebagai montir, perannya tak boleh dianggap remeh. Jongkie misalnya turut andil memastikan kelayakan dan keamanan mobil kepresidenan ketika Presiden Marcos berkunjung ke Jakarta pada 1976.
Baca juga: Membohongi Presiden Filipina
Pekerjaan montir mobil kepresidenan telah dilakoni Jongkie sejak 1973. Mulai dari kepresidenan Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Setelah tak lagi bertugas jadi montir kepresidenan, Jongkie yang kini telah berusia 75 tahun dikenal sebagai Presiden Direktur Hyundai Indonesia merangkap Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).
Cerita Sopir Bung Karno
Pada akhir 1960-an, Jongkie sempat bekerja di pabrik Mercedes-Benz setelah menyelesaikan pendidikan teknik otomotif di Universitas Muenchen. Dari Jerman, Jongkie kemudian pulang ke Indonesia menjadi teknisi untuk pelayanan mobil penumpang Mercedes-Benz di Indonesia. Karena Mercedes-Benz juga menyediakan mobil kepresidenan, Jongkie pun ditugaskan sebagai montir kepresidenan Republik Indonesia.
Meski baru bertugas di masa kepresidenan Soeharto, Jongkie juga banyak mendengar cerita tentang mobil kepresidenan di era Presiden Sukarno. Salah satu pengemudi di masa Bung Karno bernama Tomi, juga masih bertugas di Istana ketika Jongkie menjadi montir mobil kepresidenan. Dari Pak Tomi, Jongkie mendapat informasi mengenai kebiasaan Bung Karno saat berada di mobil kepresidenan.
“Beliau itu pengemudi yang berdiri di samping mobil waktu peristiwa pengranatan Bung Karno di Sekolah Cikini,” kata Jongkie merujuk Pak Tomi.
“Granat itu meledak dua meter di depan saya. Tapi, saya enggak luka sedikit pun,” tutur Pak Tomi suatu ketika pada Jongkie.
Pak Tomi juga bercerita, kalau dirinya menyetir sementara Bung Karno duduk di belakang, maka mobil tidak boleh melewatkan apabila ada rakyat berkerumun. Jika Pak Tomo melajukan mobil agak kencang, maka Bung Karno akan mengeluh. Biasanya Bung Karno menjulurkan tongkat komandonya ke pundak sang sopir.
“Hei kowe pelan. Itu rakyatku. Aku mesti sapa,” demikian hardik Bung Karno pada Pak Tomi.
Dari Pak Harto hingga SBY
Berbeda dengan sekarang, bila presiden RI bepergian ke daerah, maka mobil kepresidenan ikut diberangkatkan dari Jakarta ke daerah tersebut. Pada masa awal kepresidenan Soeharto, mobil kepresidenan masih belum banyak. Jika Presiden Soeharto mengadakan perjalanan ke daerah, maka mobil yang dipakai di daerah tersebut adalah mobil pinjaman dari pejabat setempat atau pengusaha setempat. Mobilnya tidak anti peluru tentunya. Jongkie ikut berangkat lebih dulu bersama anggota Paspamres yang ditugaskan sebagai tim advance (pendahulu).
“Kalau Paspampres berangkat bawa senjata macam-macam, saya juga bawa tool kit (peralatan), spare part (suku cadang). Namanya montir kan, ya kita ikut,” tutur Jongkie. “Tiga hari sebelumnya, kita terima mobilnya. Kita periksa dari bumper depan sampai bumper belakang supaya aman waktu dipakai.”
Mobil pinjaman untuk Presiden Soeharto itu, sambung Jongkie, harus steril 24 jam sebelum dipakai. Begitu selesai diperiksa olehnya, mobil tidak boleh dipegang lagi. Biasanya mobil tersebut diamankan di markas Polisi Militer Kodam (Pomdam) setempat. Pada hari-H, mobil tersebut sudah harus tersedia di bandara untuk menjemput Presiden Soeharto.
“Setelah Presiden pulang ke Jakarta, baru kita bebas serah-terimakan kepada pemiliknya,” ujar Jongkie.
Baca juga: Cerita Presiden RI dan Mobil Mercy-nya
Bagi Jongkie, pengalaman jadi montir kepresidenan menuntut totalitas yang tinggi dalam menjalankan tugas. Menurutnya, montir mobil kepresidenan mesti punya kualifikasi khusus. Pertama, skill otomotif dan kecakapan menangani mesin mobil harus mumpuni. Kedua, menjaga kerahasiaan presiden. Ketiga dan yang tak kalah penting, selalu siaga 24 jam.
“Kalau ada apa-apa, jam berapapun, kita harus siap membantu,” ujarnya.
Jongkie begitu banyak mengukir pengalaman mengurusi mobil kepresidenan di masa Soeharto sebagai presiden yang paling lama memerintah. Jongkie beberapa kali menangani insiden kerusakan mobil yang ditumpangi presiden. Andai tidak ditangani tepat waktu oleh montir kepresidenan, masalah teknis pada mobil tersebut bisa mencelakai Presiden Soeharto.
Baca juga: Insiden Mobil Kepresidenan Soeharto
Pada 1973, misalnya, selang bensin mobil kepresidenan yang ditumpangi Presiden Soeharto pecah saat hendak bermain golf bersama Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yeu di Bedugul Bali. Kali lain, mobil yang akan dipakai Presiden Soeharto menjemput Presiden India di Bandara Halim Perdanakusuma bensinnya malah tercampur minyak tanah. Kendati luput dari bahaya, insiden itu cukup membuat hati Jongkie kalang kabut lantaran menyangkut keselamatan kepala negara. Namun, Jongkie menangkap kesan kalau Presiden Soeharto tidak begitu rewel soal mobil kepresidenan.
“Zaman Pak Harto, kalau dari Cendana ke Bina Graha, lampu merah enggak boleh diterobos. Harus berhenti. Jadi perintahnya tetap ikuti aturan lalu-lintas,” kenang Jongkie.
Pengganti Soeharto, Presiden Habibie cukup menaruh perhatian pada mobil kepresidenan, kendati masa jabatannya hanya setahun. Habibie yang menimba ilmu teknik penerbangan di Aachen, Jerman mengerti betul soal mesin dan teknologi, termasuk pada mobil. Jongkie mengakui Presiden Habibie lebih kritis soal mobil kepresidenan yang mau dipakainya. Sebagai catatan, Jongkie dan Habibie sudah kenal lama karena sama-sama berkuliah di Jerman.
Baca juga: Mobil yang Digandrungi Presiden Habibie
“Saya sama Pak Habibie cukup dekat,” kata Jongkie. “Saya kalau panggil beliau Rudy saja.”
Mobil kepresidenan Habibie punya nomor plat cukup unik: 215 RI. “Tanggal 21 Mei beliau dilantik sebagai presiden Republik Indonesia," kata Jongkie.
Habibie sendiri, menurut Jongkie, cukup kritis menanyakan fitur-fitur apa saja yang ada pada mobil kepresidenan. Salah satu kebiasaan Presiden Habibie yang cukup merepotkan Paspampres adalah hobinya mengendarai sendiri mobilnya tanpa pengawalan.
“Begitu ada waktu lowong, Beliau selalu naik mobil sama Ibu Ainun. Kadang-kadang dua mobil, ke Cibubur,” beber Jongkie. “Jadi incognito, tidak boleh ada pengawalan, hanya mobil servis saja dengan dua mekanik saya yang ikut.”
Fitur anti peluru pada mobil kepresidenan, jelas Jongkie, baru difasilitasi sejak 1980-an. Pada saat itu terjadi peralihan penyediaan mobil kepresidenan dari Rumah Tangga Kepresidenan menjadi di bawah Departemen Pertahanan Keamanan (Dephankam). Ketua G-1 Hankam yang kemudian menjadi panglima ABRI (1983-1988) Jenderal Benny Moerdani mengurusi langsung mobil kepresidenan untuk Presiden Soeharto.
"Nah, di situlah Beliau mulai membeli mobil-mobil anti peluru. Mercedes semua, setir kiri-kanan, maupun yang bekas juga dibeli. Belakangan ini mobil kepresidenan itu yang beli Sekneg (Sekretariat Negara) tapi pemakainya adalah Tanah Abang Dua alias Paspampres. Diskresinya semua dari Paspampres,” jelas Jongkie.
Sementara itu, tradisi buka kaca mobil kepresidenan saat di jalan mulai lazim di masa kepresidenan SBY. Membuka kaca mobil biasanya dilakukan Presiden SBY untuk menyapa warga yang dilalui sepanjang perjalanan. Belakangan, kebiasaaan ini juga dilakoni oleh Presiden Joko Widodo. Kebiasaan buka kaca mobil ini rupanya jadi perkara teknis bagi mobil kepresidenan. Jongkie yang telah menjadi penasihat untuk urusan mobil kepresidenan pernah menyampaikan keluhan ke pabrikan Mercedes di Jerman soal power window kaca mobil kepresidenan sering macet. Disimpulkan bahwa kaca jendela mobil kepresidenan itu memang dirancang untuk tidak sering dibuka-tutup.
“Itukan bukan untuk dibuka-tutup. Kalau sudah dibuka, itu bukan anti peluru lagi. Cuma siapa yang berani kasih tahu kepada Bapak Presiden untuk tidak buka kaca. Jadi saya punya ide, sekringnya saja kita cabut,” kata Jongkie berkelakar.
Baca juga: Buka-Tutup Sistem Pemilu Indonesia
Meski “sering mangkal” di Istana untuk mengurusi mobil kepresidenan, Jongkie mengaku tidak punya privilese khusus. “Paling ya cuma ketemu sama Paspamres aja disitu. Minta uang ke Pak Habibie enggak dikasih.” ungkapnya diiriingi tawa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar