Ketika Rumah Menteri Pekerjaan Umum Kena Gusur
Sebuah rumah kecil milik Menteri Pekerjaan Umum terkena gusur proyek pelebaran jalan.
Pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) Jakarta Seksi 2B akan menggusur rumah pribadi Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Demikian kabar itu keluar dari akun twitter Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pada 14 Mei 2019.
Meski kabar itu belum pasti benar, perhatian khalayak telah banyak tertumpuk pada Basuki Hadimuljono. Sang menteri pun bilang penggusuran rumah pribadinya sebagai konsekuensi pembangunan. Mahfud MD memuji sikap Basuki. Sebab banyak pejabat tak rela memberikan pengorbanan untuk kepentingan masyarakat.
Rencana penggusuran rumah Basuki mengingatkan pada sosok Martinus Putuhena. Dia pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum pada masa revolusi. Rumah kecilnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kena gusur proyek pelebaran jalan pada 1976. “Kamar tamu terpotong sama sekali,” tulis Leentje Hendrika Betsy Wattimena alias Putuwati dalam Ir. Martinus Putuhena Menteri Pekerjaan Umum di Masa Revolusi.
Putuhena lahir di Ihamuha, Saparua, Maluku, pada 27 Mei 1901. Dia menghabiskan masa kecil dan pendidikan dasarnya di Ihamuha. Dia pindah ke Tondano, Sulawesi, untuk meneruskan pendidikan menengah pertama pada 1916. Lulus sekolah di Tondano, dia menuju Yogyakarta untuk menempuh pendidikan menengah atas pada 1920. Kemudian dia memilih Techinische Hoge School di Bandung sebagai tempat pendidikan tingginya selama 1923—1927.
Generasi Insinyur Pertama
Putuhena termasuk generasi tukang insinyur pertama dari golongan anak negeri bersama Sukarno, Hudiono, Sutoto, Rooseno, dan Sutedjo. “Sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya terdapat sekitar 20 orang insinyur Indonesia,” catat R.Z. Leirissa dalam Ir. Martinus Putuhena Karya dan Pengabdiannya.
Putuhena turut bergabung dalam Algemeene Studie Club Bandung, sebuah kelompok diskusi mahasiswa tentang persoalan politik, nasionalisme, dan filsafat, pada 1925. Dia cukup dekat dengan Sukarno dan mengemban tugas khusus selama bergabung di Studie Club.
“Kalau rapat sedang berlangsung dia harus berada di pekarangan kantor untuk mengawasi kalau-kalau ada orang di sekitar tempat itu. Terutama untuk mengawasi oknum-oknum intel dari pemerintah Belanda yang sangat berbahaya,” tulis Putuwati.
Tetapi setelah Putuhena menikah dan Sukarno dibuang pada 1930-an, kedekatan itu merenggang. Dia juga menjauhi politik konfrontatif terhadap Belanda dengan menerima tawaran kerja di Verkeer en Waterstaat (Pekerjaan Umum dan Tenaga). Kerja di sana cukup menyenangkan bagi seorang anak negeri. Fasilitas dan tunjangan kerja tersedia untuk mereka.
Baca juga: J. Leimena Negarawan yang Saleh
Perhatian pokok Putuhena masa itu pada bagaimana memanfaatkan pengetahuannya untuk kepentingan masyarakat luas. Dia berbeda dari tokoh pergerakan asal Maluku lainnya seperti dr. J. Leimena dan Mr. J. Latuharhary. Keduanya aktif berorganisasi dan menyebarkan gagasan melalui tulisan.
Putuhena tidak meninggalkan tulisan dalam majalah, harian, dan lain-lain. “Maka kesadaran nasionalnya di masa penjajahan memang tidak bisa diketahui,” catat Putuwati.
Ketika awal Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Putuhena telah mencapai kedudukan tinggi di Dinas Pekerjaan Umum dan Tenaga (Verkeer en waterstaat) di Lombok. Dia punya catatan bekerja sama dengan Belanda, tetapi tidak ditangkap oleh Jepang. Dia tidak termasuk golongan gelijkgesteld alias orang Indonesia berstatus hukum setara dengan orang Eropa. Golongan inilah incaran tentara Jepang untuk ditawan.
Ditangkap Jepang
Putuhena tetap bekerja sebagai tenaga ahli dalam Dinas Pekerjaan Umum. Tapi segala fasilitasnya telah sirna. Jepang mengambil-alih rumah dinasnya yang besar. Dia tersingkir ke pinggiran kota. Di sini dia mengetahui perilaku kejam tentara Jepang. Dia mulai tidak suka pada Jepang dan menolak bekerja. Pilihan sikapnya berujung penangkapan oleh tentara Jepang selama beberapa hari.
Masa awal kemerdekaan, Putuhena menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dalam Kabinet Sjahrir sejak 14 November 1945 hingga 3 Juli 1947. Seluruh Kabinet Sjahrir harus terdiri dari orang-orang bersih dari cela kerja sama dengan Jepang demi meredam pandangan Sekutu bahwa Indonesia negara bentukan Jepang. Putuhena bisa dinyatakan memenuhi syarat.
Selain syarat bersih diri itu, Putuhena juga memenuhi kualifikasi pengalaman dan kemampuan teknis. “Dia pernah mencapai pangkat yang cukup tinggi dalam bidang ini di masa penjajahan. Dengan demikian pengetahuan teknisnya dapat diandalkan,” catat Leirissa.
Selama di Kementerian Pekerjaan Umum, Putuhena bertugas merehabilitasi infrastruktur. Banyak infrastruktur hancur pada masa pendudukan Jepang. Antara lain jalan umum. Tapi perbaikan itu sulit terwujud. Mengingat ongkos pekerjaan sangat minim, peralatan tidak memadai, dan tenaga ahli kurang. Masalah umum seperti kementerian lainnya.
Baca juga: Insinyur Teknik Sipil Pertama Indonesia Lulusan Belanda
Sebagai gambaran betapa susahnya keuangan kementerian, lihatlah cerita perjalanan dinas Putuhena ke Purworejo pada suatu hari. Ban mobil dinas Putuhena pecah di tengah jalan. Mobil itu tak punya ban cadangan. Tiada anggaran untuk menyediakan ban serep di tiap mobil dinas. Ban kempes itu lalu diisi rumput supaya mengurangi goncangan hingga tiba di tujuan.
Aktivitas politik Putuhena selama masa revolusi fisik tidak banyak menonjol. Dia memang tercatat sebagai seorang anggota Partai Kristen Indonesia sejak 1947. Dia seangkatan dengan dr. Leimena. Tetapi peranannya kurang berpengaruh dalam pengembangan partai.
Usai menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum, Putuhena menjadi kepala bagian gedung-gedung Kementerian Pekerjaan Umum di Yogyakarta. Sebab ibukota telah pindah ke Yogyakarta sejak Juli 1947. Salah satu tugasnya ialah menyusun rencana pembangunan kota Yogyakarta meliputi kampus Universitas Gajah Mada di wilayah Bulaksumur.
Putuhena beranggapan perkembangan teknologi di Indonesia bisa mendapat banyak manfaat dari kerja sama yang harmonis dengan kekuatan Barat yang memiliki budaya teknologis yang tinggi. Dia percaya kemampuan diperoleh melalui pendidikan. Maka dia bentuk Akademi Teknik Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT) di Bandung pada 1951. Dia juga merancang pengiriman insinyur ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan.
Jalan Beton
Putuhena turut menghadiri kongres jalan raya dunia ke-9 di Lisabon Portugal. Kongres membahas penggunaan beton untuk jalan raya. Teknik ini masih langka di Indonesia. Ada pula bahasan tentang konstruksi jalan by-pass. Kelak pembangunannya berlangsung pada dekade 1960-an, merentang dari Tanjung Priok hingga Cawang di Jakarta.
Putuhena pulang ke Jakarta. Tapi tak lama. Dia pergi lagi ke Paris untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Di sela-sela acara tersebut, dia bertemu dengan ahli bidang pengairan asal Prancis. Obrolannya seputar kemungkinan proyek pengairan di Indonesia. Kelak salah satunya terwujud dalam Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, dan pembangunan instalasi air bersih di Pejompongan, Jakarta.
Sentuhan Putuhena juga berjejak dalam pembangunan kampus Universitas Indonesia di Rawamangun, Jakarta Timur. Daerah ini begitu lengang. Sampai orang masa itu bilang “tempat jin buang anak”.
Harga tanah sangat murah. Melalui pembangunan kampus baru UI itu, jalan pun dibuat dan diperbagus. Lalu tumbuhlah permukiman di sekitarnya sehingga menyebabkan perkembangan wilayah ini.
Meski berkiprah jauh dari kampung halaman, Putuhena tidak lantas mengabaikan tanah kelahirannya. Dia peduli dengan Maluku. Dia ingin menghapus sentimen sebilangan orang Maluku terhadap Republik Indonesia. Caranya dengan membangun infrastruktur. Hal terpenting di Maluku adalah menyentuh orang dengan agamanya. Sentuhan itu berupa pembangunan gereja. Berbagai macam kelompok terlibat dalam pembangunannya. Pada 1951—1953.
Setelah pensiun pada 1956, Putuhena bekerja di perusahaan swasta. Tapi perusahaan ini kemudian bangkrut dan pekerjanya kena PHK. Dia harus menjual rumahnya di Teluk Betung, Jakarta Pusat, demi meneruskan hidup. Dari hasil penjualan rumah tersebut, dia membeli rumah lebih kecil di Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan.
Kepindahan Putuhena masih berlanjut pada masa pensiunnya. Dia menempati rumah kecil lagi di wilayah Pasar Minggu. Di rumah inilah penggusuran sebagian rumahnya terjadi. Justru ketika dia telah memperoleh penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto pada 13 Agustus 1976.
“Untunglah pada waktu itu Gubernur Ali Sadikin berbaik hati untuk menyumbangkan sejumlah dana untuk memperbaiki rumah itu,” tulis Putuwati. Di rumah yang sempat tergusur inilah Putuhena melewati sisa hidupnya. Dia wafat pada 20 September 1982 di Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar