Helvetia, Tanah Tuan Kebun Swiss di Medan
Bermula dari tanah perkebunan milik orang Swiss, Helvetia kini menjadi permukiman padat penduduk dari beragam kalangan di Kota Medan.
AKBP Achiruddin Hasibuan menjadi sorotan setelah kasus penganiayaan yang melibatkan anaknya, Aditya Hasibuan, terekspos media. Achirudin yang berada di rumahnya sekaligus tempat kejadian penganiayaan, bukannya melerai anaknya. Dalam rekaman yang viral, dia tampak menyemangati anaknya menggebuk kawannya sendiri bernama Ken. Padahal, Achiruddin merupakan aparat penegak hukum di Polda Sumut yang menjabat sebagai kepala Bagian Pembinaan Operasi Direktorat Narkoba.
Seperti biasa, netizen Indonesia cukup cekatan menguliti setiap pejabat negara bermasalah yang sedang viral. Rumah mewah Achiruddin yang terletak di pinggir Jalan Guru Sinumba, Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Helvetia, Kota Medan itu turut jadi pemberitaan. Achiruddin disebut-sebut memiliki harta kekayaan tidak wajar. Dilansir kumparan.com, Achiruddin terindikasi pencucian uang senilai puluhan miliar rupiah. Tidak jauh dari rumahnya di Helvetia, bahkan ditemukan gudang penimbunan solar oplosan.
Toponimi Helvetia sendiri bukanlah jenama lokal. Helvetia berasal dari bahasa Latin yang berarti kota kecil dari pegunungan, merujuk pada negeri Swiss di Eropa Tengah. Jauh sebelum rumah Achiruddin berdiri megah, tanah Helvetia merupakan milik Kesultanan Deli. Ia kemudian dikontrak lewat konsesi oleh pemilik perkebunan asal Swiss, Mots dan Erven Albert Breker.
Arsiparis Belanda Willem Hendrik Maurits Schadee dalam buku babon Geschiedenis van Sumatra's oostkust (Sejarah Pantai Timur Sumatra) mencatat, pada 1865, Mots dan Breker bersama von Mach, pemilik perkebunan asal Jerman, menetap di Deli untuk mendirikan perusahaan perkebunan. Mots dan Breker merambah tanah di sebelah barat kampung Medan Putri --cikal bakal Kota Medan-- untuk ditanami tembakau. Semula perkebunan tembakau itu dinamakan “Konigsgrätz”, selanjutnya bersalin nama menjadi Helvetia.
Konsesi untuk perkebunan Helvetia dikeluarkan Sultan Deli Makmun Perkasa Alam pada 18 Oktober 1874. Masa konsesi berlaku selama 75 tahun dan berakhir pada 10 Januari 1949. Sejak digarap, perkebunan Helvetia memberikan hasil yang menjanjikan.
Pada 1878, produksi tembakau mencapai 69.750 kilogram dengan jumlah kuli sebanyak 208 orang. Pada 1880, seperti disebut dalam dokumen Bijlagen van het verslag der handelingen 1882, pendapatan perkebunan Helvetia mencapai 209.461 gulden dan jumlah kuli yang dipekerjakan sebanyak 295 orang.
Baca juga: Eksploitasi Anak di Kebun Tembakau Deli
Perkebunan Helvetia kemudian dibeli Baron von Horn von der Horck, pemilik perkebunan asal Jerman, pada 1891 dengan administratornya A.J. Rose. Hasil yang diperoleh saat itu mencapai 822.400 gulden. Periode ini merupakan puncak impor kuli kontrak. Kuli kontrak yang dipekerjakan di Helvetia didatangkan dari berbagai tempat. Kuli Cina sebanyak 585 orang, Jawa 169 orang, Keling (Benggali) 1 orang, dan Bawean 90 orang. Konflik antara para kuli maupun tuan kebun kerap terjadi di perkebunan Helvetia. Harian De Sumatra Post, 19 Agustus 1899, memberitakan peristiwa menggemparkan di perkebunan Helvetia yang melibatkan kuli perkebunan.
“Pagi ini tiga kuli dari perkebunan Helvetia ditahan, dua karena desersi dan satu karena percobaan pembunuhan,” demikian dilansir De Sumatra Post.
Baron tidak lama menjalankan perkebunan Helvetia. Pada 1899, Baron mengadakan perjanjian rahasia dengan Raja Siantar. Dalam mufakat keduanya, Raja Siantar meminta Baron untuk mendatangkan pasukan Jerman untuk mengusir Belanda dari Siantar. Imbal baliknya, Raja Siantar akan memberikan tanahnya kepada Baron untuk dijadikan perkebunan.
Baca juga: Prostitusi di Perkebunan Deli
“Tapi sayang, hal itu cepat tercium oleh Belanda, akhirnya Baron pun diusir dari Sumatra Timur,” catat Reza Nasution, peminat sejarah perkebunan Deli dalam blognya.
Memasuki abad 20, kepemilikan perkebunan Helvetia berpindah tangan kepada kongsi antara Deli Maatschappij dan Hendels en Cultuur Maatschappij Helvetia. De Sumatra Post, 26 Maret 1900 mengumumkan bahwa Tuan F. de Fremery telah ditunjuk Deli Maskapai sebagai administratur perkebunan Helvetia. Perkebunan Helvetia terus memproduksi tembakau hingga tentara Jepang datang.
Perang di masa pendudukan Jepang menyebabkan perkebunan Helvetia terlantar. Memasuki masa revolusi kemerdekaan Indonesia, Belanda datang kembali membangun aset ekonominya yang hancur setelah perang. Perkebunan tembakau Helvetia, seperti diberitakan Arnhemsche Courant, 17 Oktober 1947 adalah perusahaan perkebunan Belanda di Indonesia pertama yang memulai lagi aktivitasnya setelah perang.
Baca juga: Yang Terbuai di Perkebunan Deli
Menurut warta Zutphensch Dagblad, 20 Oktober 1948, perkebunan tembakau di Helvetia dijalankan oleh empat perusahaan tembakau terkemuka, seperti Deli-Batavia Maskapai, Deli Maskapai, Senembah, dan Arendsburg. Meskipun ditanam dalam kondisi sulit, namun tembakau dari perkebunan ini dipanen dengan kualitas tinggi. Sebanyak 633 pikul tembakau dari Helvetia ini ditawarkan pada pasar lelang di Amsterdam, Belanda.
“Tembakau Helvetia, meskipun kondisinya sangat sulit ditanam, kualitasnya sangat bagus. Tampaknya harga yang cukup memuaskan akan dibuat. Harga biaya telah meningkat sangat tinggi, dan di perkebunan Helvetia biayanya lebih dari sepuluh kali lipat sebelum perang, sebagai akibat dari kenaikan upah dan gaji, pungutan sosial, dan lebih jauh lagi, harga bahan yang meningkat tajam, serta pungutan pajak yang sangat berat,” tulis Zutphensch Dagblad.
Pada 1950, Belanda angkat kaki dari Indonesia. Kota Medan berbenah menjadi pusat pemerintahan Indonesia di Sumatra. Cerita tembakau Helvetia pun tinggal kenangan setelahnya. Helvetia tetap dipertahankan sebagai nama wilayah pecahan dari Kecamatan Medan Sunggal seluas 13 km persegi ini.
Baca juga: S.M. Amin, Gubernur Pertama Sumatra Utara
Sebagaimana Medan yang masyarakatnya beragam, Helvetia kemudian menjadi tempat permukiman berbagai kalangan. Entah itu Melayu, Batak, Tionghoa, Jawa, termasuk suku pendatang seperti Minang dan Nias. Namun, alih-alih terdengar Eropa, orang Medan lebih suka melafalkan Helvetia menjadi “Helpet” yang lebih mirip nama kudapan khas Batak “lapet”. Tanah-tanah sisa perkebunan digarap warga setempat menjadi pertanian dan persawahan.
Paruh kedua 1970, berdirilah Perumnas Helvetia. Baru pada 31 Oktober 1991, Helvetia dimekarkan menjadi kecamatan, meliputi tujuh kelurahan: Helvetia, Helvetia Tengah, Helvetia Timur, Dwikora, Cinta Damai, Tanjung Gusta, dan Sei Sikambing. Setelahnya, semakin banyak sarana kota yang berdiri di Helvetia. Mulai dari Pasar Sei Sikambing, Lapas Tanjung Gusta, Plaza Millenium yang pernah menjadi sentra penjualan ponsel di Medan dekade 2000-an, hingga rumah mewah AKBP Achiruddin Hasibuan yang baru-baru ini menghebohkan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar