S.M. Amin, Gubernur Pertama Sumatra Utara
Mengabaikan kesempatan jadi pejabat kolonial, dia malah memilih merdeka sebagai orang Indonesia. Salah satu putra terbaik bangsa dari Sumatra Utara
Sutan Mohammad Amin Nasution menjadi salah satu dari enam pahlawan nasional yang ditetapkan tahun ini. Dia dikenal sebagai gubernur Sumatra Utara yang pertama. Penganugerahan gelar itu sendiri disematkan oleh Presiden Joko Widodo dalam upacara yang berlangsung di Istana Negara bertepatan pada Hari Pahlawan, 10 November 2020.
“Saat ini Sumatra Utara ada 11 pahlawan nasional yang pada pagi ini dianugerahkan oleh Presiden bertambah menjadi 12 pahlawan nasional,” kata Gubernur Sumatra Edy Rahmayadi dalam acara syukuran pemberian gelar pahlawan kepada S.M. Amin di rumah dinas gubernur, dikutip detik.com.
S.M. Amin menorehkan sejarah sebagai pemimpin daerah Sumatra Utara pada dua kali masa genting. Pertama, ketika masa perang kemerdekaan (1948-1949). Kedua, pada saat Aceh yang menjadi salah satu karesidenan Sumatra Utara mengalami pergolakan akibat pemberontakan (1953-1956).
Berasal dari Aceh
Kendati memiliki darah Mandailing, Amin sebenarnya berasal dari Aceh. Dia lahir pada 22 Februari 1904 di Lhok Ngah, tepatnya di tepi sungai kecil yang dalam bahasa Aceh disebut Krueng Raba, masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Sant ayah, Muhammad Taif adalah Kepala Sekolah Dasar Melayu pada masa kolonial Hindia Belanda.
Amin menempuh pendidikan dasarnya secara berpindah-pindah. Pada 1912, Amin sekolah di ELS Sabang, kemudian pada 1915 pindah ke ELS Solok. Setahun kemudian, Amin dipindahkan ke Sibolga dan menamatkannya di ELS Tanjung Pinang pada 1918.
Baca juga:
Memasuki sekolah tinggi, Amin sempat melanjutkan ke sekolah kedokteran Jawa (STOVIA) di Batavia. Amin tidak lama di STOVIA karena menjadi dokter memang bukan minatnya. Namun di sanalah justru Amin mulai berkenalan dengan gerakan nasionalis dan mulai bergabung dengan Jong Sumatrenen Bond atau Ikatan Pemuda Sumatra.
Pada 1921, Amin pindah ke MULO Batavia. Setamat MULO (setara SMP), dia lantas meneruskan lagi ke AMS (setara SMA) Yogyakarta. Di AMS Yogya, Amin berkenalan dengan Mohammad Yamin, seorang sahabat yang dianggapnya cerdas dan selalu mengajarkannya tentang ide kemerdekaan. Dari Yogya, Amin kembali lagi ke Batavia untuk melanjut ke Sekolah Tinggi Hukum pada 1927.
“Selama menjalani pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum inilah Amin benar mencapai titik tertinggi pergerakan nasionalisme sebagai pemuda,” tulis tim penyunting buku Memahami Sejarah Konflik Aceh.
Baca juga:
Amin tergabung dalam Komisi Besar Indonesia Muda (KBMI) yang berperan dalam menyatukan organisasi-organisasi pemuda kedaerahan. Puncak kesatuan ini terwujud dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Setelah menamatkan studinya, Amin pulang ke kampung halaman dengan membawa gelar Meester in Rechten (Mr.)
Amin sebenarnya berkempatan menjadi pegawai kolonial yang secara finansial lebih sejahtera. Akan tetapi, dia lebih memilih menjadi pengacara di Kutaradja (kini Banda Aceh). Selama tujuh tahun jadi pengacara, Amin lebih banyak membantu menangani persoalan rakyat Aceh, khususnya dalam menghadapi kasus-kasus hukum.
Gubernur Muda
Pada masa pendudukan Jepang, S.M. Amin diangkat menjadi hakim di Sigli. Di samping itu, dia juga berkedudukan sebagai direktur Sekolah Menengah Kutaradja. Disinilah Amin mulai mengkader pemuda-pemuda Aceh. Anak-anak didikannya tersebut nantinya tergabung dalam Tentara Pelajar Aceh yang turut berjuang berperang melawan Jepang.
Ketokohan Amin di tengah masyarakat bumiputra membawanya ke pentas kemerdekaan Indonesia di Sumatra. Pada 1945, Amin memangku jabatan kepala Kehakiman Daerah Aceh merangkap Wakil Ketua Dewan Perwakilan Karesidenan Aceh. Sementara itu, Teuku Mohammad Hasan menjadi pimpinan tertinggi daerah Sumatra selaku gubernur.
Sembari berjuang menghadapi Belanda, Gubernur Hasan agak kesulitan menjalankan pemerintahan. Untuk memudahkannya, muncul wacana membagi Sumatra menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Masing-masing provinsi dipimpin oleh seorang gubernur muda. Pilihan untuk Sumatra Utara jatuh kepada sosok Mr. S.M. Amin.
Baca juga:
Pada 14 April 1947, S.M. Amin dilantik di Pematang Siantar sebagai gubernur muda Sumatra Utara. Wilayah pemerintahannya meliputi Karesidenan Aceh, Tapanuli, dan Sumatra Timur. S.M. Amin kemudian memindahkan ibukota Sumatra Utara ke Kutaradja lantaran pasukan Belanda telah memasuki Pematang Siantar.
Semasa jadi gubernur muda, Amin pernah ditangkap Belanda saat agresi militer pertama. Ketika itu, Amin sedang mengunjungi rumah ibunya di Kampung Mandailing, Pematang Siantar. Saat itulah tentara Belanda mengepungnya dengan menggunakan kendataan lapis baja. Selama 40 hari lamanya Amin ditawan di kota Medan. Dalam penahanan, Amin sempat menyaksikan kegiatan pembentukan Negara Sumatra Timur oleh beberapa pribumi terkemuka.
“Untuk meloloskan diri dari cengkraman Belanda dan untuk memutar roda pemerintahan, Gubernur Muda Mr. S.M. Amin melarikan diri dari Medan, dengan menggunakan sebuah kapal beliau menuju Pulau Penang,” kata mantan wartawan senior kota Medan, Muhammad Tuk Wan Haria dalam Gubernur Sumatera dan para gubernur Sumatera Utara.
Baca juga: Langsa Diancam, Gubernur Hasan Bertindak Cepat
Pada 1948, secara resmi Sumatra Utara menjadi provinsi tersendiri. Di Pendopo Karesidenan Aceh, Presiden Sukarno melantik S.M. Amin sebagai gubernur Sumatra Utara Pelantikan ini dilakukan sebagai realisasi UU No. 10 tahun 1948 tentang Pemerintah Sumatra. Jabatan gubernur disandang Amin hingga tahun 1949.
“Boleh dikatakan bahwa di masa beliau memimpin Sumatra Utara inilah diletakannya dasar-dasar pemerintahan daerah yang baru dirintis,” tulis Waspada, 16 Desember 2012. (Bersambung)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar