Prostitusi di Perkebunan Deli
Cerita suram perempuan Jawa yang mengadu nasib di perkebunan Deli.
BAGAIMANA caranya seorang perempuan Jawa di Deli bisa membeli sarung? Mereka harus susah payah mengumpulkan uang sen demi sen. Lima sen adalah harga sekali kencan melayani kuli seorang pria Tionghoa. Maka untuk bisa memperoleh sehelai sarung yang harganya 100 sen, mereka harus mampu melakukan persetubuhan dengan kuli pria Tionghoa sebanyak dua puluh kali.
Demikianlah kisah perjuangan buruh perempuan yang berprofesi sebagai pelacur di perkebunan Deli, Sumatera Timur. Kondisi miris itu digambarkan ahli hukum Belanda Mr. J. van den Brand dalam buku ringkasnya bertajuk Milioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Brand yang seorang pengacara di kota Medan dan pemimpin redaksi De Sumatera Post menerbitkan brosurnya pada 1902.
Dalam brosurnya, Brand menyingkap penderitaan yang dialami para kuli terlebih kuli perempuan yang terpaksa menjadi sundal demi bertahan hidup. “Jangan heran bahwa wanita sebagai itu (pelacur) untuk memiliki sehelai sarung sebagai penutup badannya, harus menjual diri,” kata Brand.
Baca juga: Penjaja Diri di Kebun Deli
Tulisannya membuat publik di Deli geger. Para pejabat kolonial di Hindia hingga negeri Belanda tersentak. Namun setelah itu, praktik prostitusi di perkebunan Deli masih saja tetap jalan.
Homoseksual Marajelala
Homoseksual merupakan gejala yang terjadi di kalangan buruh perkebunan pada tahun-tahun pertama lahan di Deli dibuka. Menurut sejarawan Jan Breman, buruh Tionghoa merupakan pelopor kebiasaan praktik seksual menyimpang seperti ini. Selain tak begitu menghiraukan perempuan, mereka bahkan cenderung menjadi pedofil. Anak-anak di bawah umur dari kalangan buruh Jawa kerap menjadi objek seksual buruh Tionghoa.
“Anak-anak itu mereka namakan anak jawi, dan para pengawas punya hak pertama atas diri mereka,” tulis Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20.
Praktik tersebut tidak jarang menyebabkan terjadinya pembunuhan di antara sesama kuli Tionghoa. Perkaranya biasanya menyangkut persaingan cinta. Untuk memenuhi hasrat seksual mereka, lantas dilazimkanlah keberadaan pelacur lelaki. Di dalam barak, pelacur lelaki memiliki tempat tidur sendiri, lengkap dengan gorden yang dihias dengan aksesorisnya.
Baca juga: Dari Tiongkok ke Deli
Praktik homoseksual ini terjadi secara terang-terangan dan di depan kuli-kuli lain. Praktik homoseksual ini juga disaksikan oleh kuli-kuli lain yang tinggal di barak. Aktivitas seksual yang buka-bukaan ini sebagaimana disebut Wahyu Putra Kelana, karena di dalam barak tidak ada pembatas ataupun kamar-kamar sebagai tempat tidur.
“Kepuasan yang dirasakan oleh salah seorang kuli pada saat berhubungan seksual, meski terhadap sesama jenis menjadi penarik perhatian kuli-kuli lain. Hal inilah yang menyebabkan praktik homoseksual meluas di kalangan kuli Cina,” tulis Wahyu Putra Kelana dalam skripsinya di Universitas Sumatera Utara, “Pelacuran pada Wilayah Perkebunan Deli 1870-1930”.
Pada awalnya, pihak perkebunan tidak mengetahui hal ini. Praktik homoseksual baru terendus ketika ada kuli yang terserang penyakit. Setelah diperiksa, kemudian diketahui bahwa penyakit tersebut berasal dari bakteri yang berasal dari kelamin pria. Homoseksual berangsur-angsur berkurang setelah kuli perempuan mengisi hari-hari di perkebunan.
Pemikat Kuli Lelaki
Jika buruh Tionghoa bisa melampiaskan hasrat seksual lewat hubungan sesama jenis, buruh Jawa tidak seperti itu. Tanpa perempuan, mereka susah bertahan hidup. Karena itulah sejak 1873 ratusan perempuan dari Jawa didatangkan ke Deli setiap tahunnya.
“Laki-laki Jawa tidak begitu pilih-pilih dalam soal perempuan. Tidak begitu memperhatikan kehidupan masa lalu atau kecantikan lahiriah bahkan usianya,” tulis Breman mengutip keterangan residen Sumatera Timur P.J. Kooreman pada 1903.
Sebelum dipekerjakan, pihak perkebunan menetapkan kriteria untuk kuli perempuan: muda, (sebisa mungkin) cantik, dan berfisik baik. Mereka dipersiapkan sebagai pengambil hama ulat tembakau, pencuci, dan penjemur daun tembakau. Selain pekerjaan ringan tadi, mereka memang dipersiapkan untuk menjadi pelacur guna memikat kuli laki-laki memperpanjang ikatan kontraknya di perkebunan.
Kegiatan prostitusi biasanya marak saat hari gajian. Pada malam hari, kuli-kuli perempuan akan berdandan dengan cantik untuk menjadi penari ronggeng di pasar malam. Bisnis esek-esek ini dijalankan oleh germo. Mereka yang menjadi germo adalah para mandor besar dari suku Jawa yang berperan juga sebagai pemimpin kelompok penari ronggeng.
Ketika perempuan meliukkan tarian ronggeng, kuli lelaki akan ikut menari dan menyodorkan saweran duit. Maka dari sinilah tanda transaksi pelacuran dimulai. Penari kemudian menarik kuli laki-laki yang menyawernya dengan selendang. Keduanya lantas menjauh dari keramaian mencari tempat memadu hasrat. Mereka biasanya menuju barak atau ke tempat sepi sekitar perkebunan. Bayaran sekali melacur seperti ini, menurut Liesbeth Hesselink dalam Prostitution and Gambling in Deli, sebesar setengah gulden.
Hidup di perkebunan Deli memang teramat keras, khususnya bagi buruh perempuan Jawa. Untuk bertahan hidup, pilihan kerja sampingan menjadi pelacur terpaksa dilakoni. Meski demikian, tak semua dari mereka sudi menggadaikan harga diri dengan perbuatan asusila itu.
“Beberapa di antaranya melarikan diri, bunuh diri atau menjadi gila karena merasa dipermalukan,” tulis arsiparis Iyos Rosidah dalam tesisnya di Universitas Diponegoro berjudul “Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Deli Sumatera Timur 1870-1930”.
Kumpul Kebo
Tak hanya prostitusi, kehidupan bergonta-ganti pasangan mewarnai kehidupan di barak-barak kuli. Perempuan Jawa yang tak bersuami di perkebunan mudah menemukan lelaki yang mau hidup bersamanya tanpa nikah. Percumbuan dapat diikat dan diputuskan seketika. Pasangan yang hidup bersama sedapat mungkin memisahkan diri dengan menyekat petak barak mereka dengan karung tua. Kehidupan di balik barak kuli memperlihatkan degradasi moral. Kesetiaan merupakan barang langka.
“Di antara pasangan-pasangan itu tak dikenal apa yang dinamakan kesetiaan perkawinan. Persaingan sangatlah ketat, dan karena jumlahnya kecil, maka perempuan di perkebunan itu pun berpindah dari tangan ke tangan,” tulis Breman.
Keberadaan kuli perempuan sekilas dapat menanggulangi masalah sosial dan medis akibat homoseksual. Namun liarnya perilaku seksual di kalangan mereka menyebabkan maraknya penyebaran penyakit kelamin. Laki-laki, terutama dari kalangan Tionghoa, banyak yang terkena sifilis.
Baca juga: Yang Terbuai di Perkebunan Deli
Menurut H.H. van Kol, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis, dalam risalahnya Uit Onze Kolonien (Dari Koloni Kita) yang terbit pada 1903, merajalelanya pelacuran mengakibatkan timbulnya penyakit sifilis yang berjangkit. Sementara perempuan mesti menanggung beban dengan lahirnya anak-anak hasil prostitusi atau hubungan gelap. Tak sanggup membesarkan, mereka terpaksa menjual bayinya. Inilah cikal bakal perdagangan anak di Deli.
“Dan dalam keadaan sedemikian setiap ibu dari anak-anak haram zadahnya bersedia saja menjual anak tersebut kepada siapa yang bersedia membeli dengan harga teratas,” kata Kol sebagaima dikutip Mohammad Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe: Dengan Derita dan Kemarahannya. Orang-orang Tioghoa kayalah yang biasanya menjadi orang tua adopsi "anak-anak kebon" yang dijual ibunya ini.
Prostistusi di perkebunan mulai surut dan berakhir seiring dengan banyaknya perusahaan perkebunan yang bangkrut akibat resesi ekonomi global memasuki tahun 1930.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar