Orang Utan dalam Catatan Masa Silam
Kisah primata tropis khas Nusantara yang menarik perhatian para pengelana. Keunikannya mendorong manusia untuk memburunya.
Kapal Eagle Galley berlayar dari Inggris ke Pulau Borneo (Kalimantan). Kapten Daniel Beeckman memimpin ekspedisi yang ditugaskan oleh Serikat Dagang Inggris (EIC). Tujuan perjalanan itu membuka kembali perdagangan Inggris dengan Kesultanan Banjarmasin untuk komoditas lada maupun produk tropis lainnya
Pada 29 Juni 1714, rombongan Beeckman berlabuh di Banjarmasin di pesisir selatan Kalimantan. Selain lada, Beeckman juga menyaksikan banyak hewan khas wilayah tropis. Monyet, kera, dan babon ditemukan dalam berbagai jenis dan bentuk. Tetapi yang paling luar biasa adalah primata yang disebut “Oran-ootan” alias orang utan yang dalam bahasa penduduk lokal berarti manusia hutan.
Dalam amatan Beeckman, panjang tubuh orang utan bisa mencapai enam kaki. Mereka berjalan tegak lurus, memiliki lengan yang lebih panjang ketimbang manusia. Giginya besar, tidak memiliki ekor maupun rambut, kecuali yang tumbuh di daerah tertentu.
Baca juga: Sarimin (Tak) Pergi Ke Pasar
“Mereka sangat gesit dan kuat. Mereka akan melempar batu besar, tongkat dan kayu besar ke arah orang yang mengganggunya,” tutur Beeckman sebagaimana ditulis sejarawan University of Malaya Chin Yoong Fong dalam A Voyage to and from the Island of Borneo, in the East Indies.
Penduduk setempat mengisahkan banyak cerita mengenai orang utan. Mereka percaya jika orang utan adalah keturunan manusia tetapi berubah menjadi binatang karena menghina Tuhan. Karena penasaran, Beeckman membeli seekor orang utan seharga enam dolar Spanyol. Orang utan itulah yang menemani Beeckman selama setahun ekspedisi dagangnya di Borneo.
Penemuan Orang Utan
Jauh sebelum kedatangan Beeckman, seorang dokter Belanda bernama Jacobus Bontius memberi nama “orang utan” pada hewan yang secara anatomi ini mirip manusia ini. Nama latinnya adalah Pongo pygmaeus. Sejak ditemukan tahun 1630 itulah orang utan jadi incaran. Bontius sendiri kemudian dikenal sebagai pelopor pengobatan tropis.
Bobot tubuh orang utan pun hampir menyerupai manusia. Orang utan jantan bisa mencapai bobot 65 kg sedangkan betina 35 kg. Bagi orang utan jantan dewasa di Borneo, di wajahnya tampak berkelepak seperti sayap. Kelepak ini sebagai tonjolan ke samping kulit muka yang berisi jaringan lemak. Jadi dengan kelepak di pipi, wajah orang utan jadi tampak seram.
Kapten Beeckman dalam laporan perjalanannya menuturkan rupa-rupa kecerdasan orang utan piaraannya. Meski tergolong masih kanak-kanak, orang utan itu sering membuka lemari berisi minuman keras, mengeluarkan sebotol lalu meminumnya banyak-banyak. Setelah puas meneguknya, ia kembali memasukannya ke tempat semula dengan sangat hati-hati. Ketika tidur, si orang utan berbaring seperti manusia dengan satu tangan di bawah kepalanya. Ia juga bisa mempelihatkan emosi dan bertingkah jenaka. Jika marah, ia akan mendesah, merajuk, dan menangis sampai mau dibujuk untuk berdamai.
Pada 1776, seekor orang utan betina dibawa ke Belanda untuk dipelihara di kebun binatang pribadi Pangeran Oranye (Willem V). Penanganannya yang masih amatiran menyebabkan hewan itu mati. Beruntung orang utan ini sempat dianalisis oleh ahli anatomi bernama Petrus Camper.
Catatan lebih lengkap mengenai orang utan ditelaah oleh naturalis asal Inggris Alfred Russel Wallace. Pada Maret 1855, Wallace mengadakan penelitian ke tambang Batubara di Simunjan, Sarawak, Borneo Utara. Ketika menengadah, Wallace melihat seekor hewan besar berbulu merah, bergantung dari dahan ke dahan dengan tangannya. Ia bergerak dari pohon ke pohon dan menghilang di hutan yang penuh rawa-rawa. Bersama orang suku Dayak pengiringnya, Wallace mulai memburu orang utan –yang bagi orang pribumi disebut “mias”- untuk diawetkan kemudian diteliti.
Dalam karya monumentalnya The Malay Archipelago (Kepulauan Nusantara) Wallace mencatat, orang utan betina punya kebiasaan melempar dahan dan ranting untuk bertahan dari ancaman. Sementara itu, orang utan jantan lebih percaya diri dengan kekuatan tubuh ataupun taringnya. Selain di Borneo, Wallace juga mencatat bahwa habitat orang utan terdapat pula di Pulau Sumatra tetapi populasi paling besar ada di Borneo.
“Agaknya suatu hutan perawan dan luas menjadi habitat yang cocok bagi mias (orang utan). Hutan sejenis membuat mereka bebas berkelana ke berbagai jurusan dengan aman,” tulis Wallace.
Jadi Buruan
Dengan keunikan anatomi maupun perilakunya, kehadiran orang utan semakin memikat perhatian manusia. Banyak dari para ilmuwan maupun zoologi yang menghubungkan anatomi orang utan dengan teori evolusi Charles Darwin. Orang utan maupun kawanan primata lainnya menjadi kajian untuk menguak teori asal-usul manusia. Hal ini menjadi celaka bagi populasi orang utan karena mereka menjadi buruan manusia.
“Dengan penemuan yang agak kontroversial itu, berbagai kebun binatang di segala penjuru dunia minta agar koleksi hewannya bertambah dengan tamu yang lain dari yang lain ini,” tulis majalah Warnasari, No. 144, Januari 1991.
Sejak tahun 1931, orang utan masuk kategori satwa yang dilindungi. Namun dari waktu ke waktu, perburuan orang utan meliputi banyak kepentingan. Mulai dari bahan penelitian, koleksi kebun binatang, hingga menjadi dagangan berharga tinggi di pasar gelap. Selain itu, bagi masyarakat tertentu yang menganggapnya berkhasiat, daging orang utan dicari sebagai konsumsi. Belum lagi kasus pembalakan hutan yang menyebabkan habitat asli orang hutan menjadi terancam.
“Musuh terbesar mereka ialah manusia,” tulis Wildan Yatim dalam Mengenal Orang Utan.
Baca juga:
Indonesia tercatat sebagai negara dengan populasi orang utan terbesar. Akan tetapi, populasi orang utan di hutan-hutan Indonesia kian susut. Di Sumatra, habitat orang utan Sumatra menghilang dengan sangat cepat. Sementara itu pada 2016, status orang utan Kalimantan telah berpindah dari klasifikasi “terancam punah” menjadi spesies “kritis terancam punah”. Peralihan status ini memperlihatkan bahwa populasi orang utan menuju ambang kepunahan sudah diambang pintu. (Bersambung).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar