Mengapa Wallace Kalah Populer Dibandingkan Darwin?
Dia tak mencari ketenaran lewat karyanya tentang Kepulauan Nusantara. Bahkan, laporan pertamanya dia kirimkan kepada Darwin.
SETELAH 90 tahun sebelas bulan, naturalis Inggris Alfred Russel Wallace meninggalkan warisan besar selama ekspedisi di Kepulauan Nusantara. Namanya membekas pada Wallacea dan dunia sains. Jejaknya muncul dalam berbagai artikel, buku dan surat, spesimen dan catatan sejarah alam yang besar, dan tentu saja teori evolusi melalui seleksi alam.
Meski begitu, kata sejarawan JJ Rizal, Wallace dan karyanya hampir tidak banyak dibicarakan di Indonesia. "Hampir sama seperti sejarah perempuan, sejarah ilmu pengetahuan itu tidak dibicarakan," kata Rizal dalam diskusi buku The Malay Archipelago karya Wallace di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Jumat (12/10) sore.
Padahal, ada nama penanda di kota sebagai tempat yang berhubungan dengan kegiatan para ilmuwan pada masa lalu. Misalnya di Jakarta, Rizal menjelaskan, ada satu gang di wilayah Pecinan, Glodok, bernama Gang Torong, cara pengucapan masyarakat setempat terhadap toren.
Lokasi itu berhubungan dengan seorang pendeta kelahiran Jerman, Johan Maurits Mohr yang punya perhatian pada bidang astronomi. Di sana dia mendirikan observatorium pertama di Batavia pada 1765. Observatorium itu menjulang tinggi bagaikan menara. Ketika observatorium Mohr masih serupa menara (toren), kawasan ini disebut Torenlaan.
"Kalau nggak salah Eijkman juga jadi nama jalan di Bandung. Banyak, tapi perkembangan waktu jadi hilang. Sekarang Wallace nggak ada dalam historiografi Indonesia," kata Rizal.
Baca juga: Peran Ali, Pemandu Ekspedisi Wallace
Hal serupa diutarakan Sangkot Marzuki, direktur Lembaga Eijkman (1992-2014). Dia ragu apakah saat ini masih banyak yang mengetahui cerita di balik garis Wallace yang memisahkan geografi hewan Asia dan Australia. Pun soal teori evolusi yang dikemukakan Wallace.
"Sekarang kalau ditanya teori evolusi siapa? Darwin di Galapagos. Paling jawaban anak-anak sekarang begini," kata peneliti yang menekuni biogenesis dan kelainan genetik manusia itu.
Padahal karya Wallace sangat populer pada masanya. Bukunya, The Malay Archipelago, pertama kali terbit pada 1869. Catatan perjalanannya itu dicetak seribu eksemplar dan langsung ludes. Edisi kedua terbit pada tahun itu juga. Setelahnya edisi Amerika diterbitkan pada tahun yang sama. Tahun berikutnya giliran edisi Jerman, kemudian Belanda.
"Berpuluh bahasa sudah dipakai menerjemahkan buku ini. Di Indonesia di mana lokasi yang dipakai jadi bahan buku ini malah baru saja," ujarnya.
Baca juga: Manusia Jawa, Bukti Teori Evolusi Darwin
Sementara itu, pencetus teori evolusi lainnya, Charles Darwin lebih banyak dikenal dibanding Wallace. Namun, tak heran kalau kata John van Wyhe, sejarawan National University of Singapore, buku Darwin, On the Origin of Species, ketika diterbitkan pada 1859 telah mengguncang dunia. Karyanya begitu kontroversial.
"Wallace setelah paper-nya tinggal empat tahun lagi di Indonesia, pulang-pulang Darwin sudah terkenal," kata Sangkot.
Seorang jurnalis yang mengagumi Wallace, Aristides Katoppo pun bilang kalau Wallace memang sama sekali tak mencari ketenaran lewat karyanya. Dia hanya mencatat apa yang dia lihat dan dapatkan selama di lapangan. Bahkan hasil laporan pertamanya justru dia kirimkan kepada Darwin.
Baca juga: Wallace Menuntun Dubois Menemukan Manusia Jawa
"Menurut kesaksian, Darwin terperanjat dengan laporan Wallace. Jadi Wallace ini polos. Dia laporkan semua pada Darwin. Mungkin merasa bukan saingan. Lalu Darwin terbitkan karyanya lebih cepat," ungkap Aristides.
Terlepas dari itu, Sangkot menekankan pentingnya mengingat penemuan-penemuan ilmiah yang pernah dilakukan di Indonesia. Bagaimana caranya mengembalikan ingatan soal sejarah ilmu pengetahuan, khususnya Wallace? Dia mengusulkan melalui pariwisata.
"Kalau kita tahu penemuan Darwin di Pulau Galapagos, kan jadi daya tarik di sana. Lalu di Serawak, lokasi Wallace, pernah juga jadi wisata," ujarnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar