Orang Tionghoa Indonesia di Tengah Pandemi Flu Spanyol
Beragam respon yang dilakukan orang Tionghoa di Indonesia ketika wabah menyerang. Dari mengarak toapekong hingga meracik ramuan obat tradisional.
1918. Pandemi influenza membuat gempar dunia. Jutaan orang meninggal dunia setelah diserang flu tersebut. Belum diketahui secara pasti dari mana wabah ini bermula. Ada yang menyebut berasal dari Amerika, ada yang menyebut dari Swedia dan Rusia, ada pula yang menduga virus dibawa buruh Tiongkok dan Vietnam. Media Spanyol yang secara besar-besaran memberitakan wabah ini kemudian membuat wabah ini dikenal sebagai Flu Spanyol.
Flu Spanyol menyerang hampir ke seluruh pelosok dunia. Hindia Belanda tak luput darinya. Menurut Priyanto Wibowo dkk dalam Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, wabah di Hindia Belanda menyebar dari Cina melalui Hongkong dan Singapura lewat kapal-kapal dari Cina yang diduga membawa orang-orang yang sudah terpapar virus. Meski telah mendapat peringatan-peringatan, pemerintah Hindia Belanda ternyata abai. Pada Juli 1918, rumah sakit di Batavia mulai melaporkan adanya pasien-pasien influenza.
“Pada akhir November 1918, Pemerintah Hindia Belanda telah menerima laporan bahwa penyakit itu telah melanda Jawa Tengah dan memasuki wilayah Jawa Barat,” tulis Priyanto dkk.
Dalam waktu singkat, wabah tersebut kemudian dilaporkan telah menjangkiti Surabaya, Banjarmasin, hingga Buleleng. Wabah terus menyebar, korban terus berjatuhan.
Arakan-arakan
Sementara sistem kesehatan tak memadahi, orang-orang dirundung bingung. Penduduk Tionghoa di beberapa daerah, menurut Ravando Lie dalam Perang Melwan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial, 1918-1919, memilih melakukan ritual tolak bala dengan mengarak toapekong. Di Karawang, misalnya, penduduk Tionghoa mengarak barongsai, liong, dan patung dewa-dewa dengan diiringi tetabuhan selama beberapa hari.
“Tampaknya perarakan ini adalah yang pertama kali diadakan di wilayah Indonesia kolonial dengan tujuan spesifik untuk mengusir Flu Spanyol,” tulis Ravando.
Sepenelusuran Ravando, ritual-ritual lain juga dilakukan penduduk Tionghoa di berbagai kota. Di Bandung, penduduk mengadakan upacara meminta keselamatan (Ping An) disertai arak-arakan toapekong. Sementara, di Sukabumi seorang Tionghoa menyerukan ke perkampungan Tionghoa agar melaksanakan sembahyang hioto serentak.
Baca juga: Duka Warga Tionghoa
Arak-arakan toapekong juga dilakukan di Tulungagung dan Medan. Di Medan, pertunjukan wayang tiotjiee bahkan digelar tiga hari tiga malam. Namun, arak-arakan tersebut hampir diwarnai bentrokan dengan penduduk Bumiputera.
Jika di Medan bentrokan dapat dihindari, tidak demikian dengan arak-arakan toapekong di Kudus. Menurut Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, saat itu penduduk Tionghoa Kudus khawatir wabah semakin menjadi-jadi. Mereka lalu mengadakan arak-arakan toapekong yang justru berakhir dengan kerusuhan.
“Peristiwa kerusuhan ini diawali dengan perkelahian antara sejumlah pemuda Tionghoa yang sedang melakukan prosesi arak-arakan gotong Tepekong dengan sekelompok pemuda SI (Sarekat Islam –red.),” tulis Benny.
Sentimen anti-Tionghoa meluas. Puncak kerusuhan pun terjadi pada Kamis malam, 31 Oktober 1918. Permukiman dan toko milik Tionghoa dijarah dan dibakar. Ribuan orang Tionghoa mengungsi ke Semarang. Peristiwa ini dikenal sebagai “Peristiwa Peroesoehan di Koedoes.”
Peranan Sin Po
Dalam kekacauan karena pandemi itu, pers memiliki peranan penting. Suratkabar Tionghoa Sin Po menjadi salah satu media yang banyak berontribusi. Menurut Ravando, Sin Po merupakan suratkabar modern yang mengedepankan rasionalitas. Sin Po seringkali menepis kabar bohong maupun menanggapi tindakan-tindakan takhayul yang tak berpengaruh pada ganasnya pandemi.
Menanggapi arak-arakan toapekong yang disebut dapat mengusir pandemi, misalnya, seperti dikutip Ravando, Sin Po, 11 November 1918 menulis, “Orang jang bisa berpikir sedikit pandjang tentoe aken mengarti bagimana tida bergoenanja diboewang oeang boeat itoe oeroesan.”
Baca juga: Pemuda Tionghoa Pun Berjuang
Sin Po juga mengkritik tindakan-tindakan yang memperburuk pandemi. Di Surabaya, pemerintah daerah malah mengadakan pesta Oranjedag paling meriah sejak puluhan tahun sebelumnya. Ada pula pertandingan sepakbola di Petak Sinkian, Batavia dan di Surabaya yang dapat mempercepat penularan virus. Sin Po juga memperingatkan Keraton Solo untuk tidak mengadakan Sekaten demi menekan angka penularan.
Kabar bohong tumbuh subur di masa pandemi. Di Purwokerto, seorang bernama Prawadrana mengaku didatangi Nyi Loro Kidul lalu mempromosikan siapa yang ingin ditolong harus datang ke rumahnya dengan memberi sedekah 50 sen. Orang Tionghoa di Tasikmalaya mengatakan bahwa mereka dilindungi oleh Kwan Sing Tee Koen (Kwan Kong) sehingga terbebas dari Flu Spanyol. Sementara di Tulungagung, potret Tan Tik Soe yang diklaim sebagai titisan dewa dan bisa menyebuhkan penyakit, dijual. Semua dibantah Sin Po.
“Menurut Sin Po tidakan tersebut merupakan sebuah lelucon yang menunjukan kebodohan dan ketidakrasionalan manusia. Satu-satunya cara untuk bisa sembuh dari suatu penyakit adalah dengan berobat ke dokter dan mengkonsumsi obat-obatan Tionghoa maupun Eropa,” jelas Ravando.
Obat Tradisional
Pergi ke dokter dan mengkonsumsi obat-obatan Eropa menjadi pilihan paling masuk akal. Namun, Kirsty Walker dalam “The Influenza Pandemic of 1918 in Southeast Asia” yang termuat dalam Histories of Health in Southeast Asia, menyebut bahwa sebagian besar penduduk Hindia Belanda tidak bisa mendapat akses obat-obatan Barat. Mereka kemudian datang ke dukun atau mengkonsumsi ramuan tradisional.
Selain tidak bisa diakses rakyat miskin, rumahsakit dan obat-obatan Barat juga kurang dipercaya oleh masyarakat. Orang justru lebih memilih pengobatan tradisional Tionghoa sebagai alternatif. Pengobatan tradisional Tionghoa telah dikenal sejak 2000 tahun silam. Menurut Peter Boomgaard dalam “The Development of Colonial Health Care in Java; An exploratory Introduction” yang termuat dalam Health Care in Java, pengobatan tradisional Tionghoa juga telah memberi pengaruh pada pengobatan tradisional di Nusantara.
Baca juga: Kala Musim Semi Tiba
Sementara dokter-dokter Bumiputera juga membuat racikan obat influenza, sinshe-sinshe di berbagai kota tak mau ketinggalan. Ravando mencatat, Phoa Tjong Kwan, shinse terkemuka di Wonogiri, mempublikasikan resep dan bagaimana cara mengobati pasien Flu Spanyol. Di Madiun, obat racikan Tan Bing In dianggap manjur menurunkan panas Flu Spanyol yang semakin mengganas menjangkiti ratusan orang Tionghoa dan Bumiputera.
Di Batavia dan Bogor, resep Tan Tik Sio dari Tulungagung tersebar luas untuk para penderita Flu Spanyol. Sementara sinshe ternama, Yap Goan Thay, membuat racikan obat influenza dari daun-daun berkhasiat yang direbus dengan campuran gula atau gula batu.
“Di tengah kekalutan masyarakat akibat pandemi Flu Spanyol, tidak bisa dipungkiri bahwa obat-obatan tradisional tersebut menjadi jalan keluar khususnya bagi masayarakat yang kurang mampu atau yang masih asing dengan metode pengobatan Barat,” tulis Ravando.
Ravando melanjutkan, ramuan tradisonal menjadi jalan keluar dari diskriminasi yang sering diterima ketika mereka mencoba berobat ke rumahsakit atau poliklinik yang dikelola orang Belanda. Namun, obat-obat tersebut tentu tidak lagi ampuh jika gejala Flu Spanyol yang ganas itu sudah menunjukkan beragam komplikasi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar