Duka Warga Tionghoa
Dalam sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Mulai Chinezenmoord 1740 sampai Mei 1998.
Sejak abad ke-17, imigrasi warga Tionghoa ke Batavia cukup deras. Sebagai pendatang, tingkah laku mereka cukup baik. Hubungan antara etnis Tionghoa dan penduduk setempat berlangsung harmonis. Kemampuan warga etnis Tionghoa dalam berdagang maupun berbaur dengan warga pribumi membuat VOC cemas. Mereka khawatir niatnya menguasai Nusantara tidak tercapai karena penduduk pribumi lebih bersimpati terhadap warga etnis Tionghoa dibandingkan kepada orang Belanda.
Akhir tahun 1739, sampai hari raya Imlek bulan Februari 1740, VOC mengadakan penangkapan besar-besaran. Kurang lebih seratus warga Tionghoa yang ditangkap, mulai dari Bekasi hingga Tanjung Priok. Warga Tionghoa pun segera menyusun rencana dan strategi menghadapi VOC.
Mencium gelagat itu, Kepala Personalia setempat, de Roy, menulis surat kepada Gubernur Jenderal Valckenier, pada 4 Februari 1740. Dia melaporkan, warga Tionghoa sedang menghimpun kekuatan untuk menyerang penjara untuk membebaskan warga Tionghoa yang ditahan. Valckenier pun memberlakukan resolusi berupa penangkapan kepada warga Tionghoa yang dianggap mencurigakan.
Penangkapan dan penindasan dilakukan Belanda terhadap warga Tionghoa. Pembantaian yang dimulai 9 Oktober 1740 itu telah memakan korban jiwa lebih dari 10.000 jiwa. Mula-mula 500 orang Tionghoa yang ditahan dibantai. Kemudian di rumah sakit, dan setelah itu meluas ke seantero kota. Tragis.
Menurut Hembing Wijayakusuma, dalam Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, kekalahan VOC dalam persaingan dagang dengan EIC, Inggris, serta kekeliruan-kekeliruan VOC dalam menentukan harga dan pangsa pasar, telah menjadi alasan tambahan VOC untuk menindas warga Tionghoa.
Setelah kota Batavia dibakar dan diluluhlantakkan, orang-orang Tionghoa melarikan diri ke Tangerang. Mereka berbenteng di sana. Dalam beberapa tahun setelah mereka menetap, membumi, dan mengolah tanah di situ, mereka pun menjadi pribumi di situ. Sebutan bagi mereka yang lazim sampai sekarang “Cina Benteng”.
Asvi Warman Adam dalam Tionghoa di Kanvas Raksasa, menulis, suatu peristiwa mempunyai mata rantai panjang. Selain melarikan diri, sejumlah orang Tionghoa dengan berbagai dukungan dari etnis Jawa melakukan perlawanan, khususnya di Jawa Tengah. Peristiwa itu dikenal dengan istilah Perang Kuning.
“Sejak saat itu, orang-orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat. Mereka dikerangkeng dalam gettho-gettho. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau Pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda,” tulis Asvi.
Target pemerintah kolonial mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan Passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata ada hikmahnya. Itu menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa inilah yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek, dan transportasi.
Baca juga: Perang Jawa libur selama Ramadan
Pembantaian etnis Tionghoa juga terjadi pada masa Perang Jawa (1825-1830). Menurut Benny G Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, pada 23 September 1825, pasukan berkuda yang dipimpin putri Sultan Hamengku Buwono I, Raden Ayu Yudakusuma, menyerbu Ngawi, kota kecil di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur yang terletak di tepi Bengawan Solo. Ngawi merupakan daerah perdagangan yang dihuni oleh banyak etnis Tionghoa yang terdiri dari bandar beras, pedagang kecil, kuli, dan tukang.
Walaupun mereka telah membangun pertahanan di rumah-rumah para pedagang dan pemimpin Tionghoa setempat, semua itu tidak menahan serbuan Raden Ayu. “Tanpa memedulikan jerit dan tangisan para perempuan dan anak-anak Tionghoa, seluruh anggota masyarakat yang terdapat di Ngawi, habis dibantai. Tubuh-tubuh yang telah terpotong-potong dibiarkan bergelimpangan di muka pintu, jalanan, dan rumah-rumah yang penuh lumuran darah,” tulis Benny.
Apa penyebabnya? Padahal sebelumnya, etnis Tionghoa hidup damai dan saling membantu dengan penduduk setempat. Bahkan, Raden Ayu suka meminjam uang kepada warga Tionghoa Jawa Timur.
Penyebabnya adalah kebencian orang-orang Jawa kepada orang-orang Tionghoa yang menjadi bandar-bandar pemungut pajak. Orang-orang Tionghoa oleh para Sultan Jawa dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan di sungai-sungai dan pasar. Melihat efektifnya orang-orang Tionghoa memungut pajak, Belanda dan Inggris melakukan hal yang sama di daerah-daerah yang telah dikuasainya.
Hal ini menimbulkan ekses negatif yang berpotensi besar timbulnya konflik di antara penduduk Jawa dengan orang-orang Tionghoa, para bandar pemungut pajak tersebut. Menjelang Perang Jawa terjadilah penjarahan dan pembakaran gerbang-gerbang tempat pemungutan pajak di berbagai tempat, yang dilakukan para bandit setempat. Bahkan banyak petugas gerbang yang dibunuh.
Sentimen anti Tionghoa semakin memuncak setelah para bandar pemungut pajak membentuk pasukan pengawal yang terdiri dari orang-orang Jawa. Dari sinilah muncul rasa benci orang-orang Jawa. Orang-orang Jawa Tengah di pedalaman menganggap orang-orang Tionghoa sebagai pemeras dan pembawa sial. “Padahal mereka hanya menjadi alat dari kekuasaan yang ada. Baik para Sultan Jawa maupun pemerintah Belanda dan Inggris,” tulis Benny.
Pembantaian orang-orang Tionghoa menimbulkan kekecewaan dan prasangka yang mendalam pada diri orang-orang Tionghoa terhadap orang-orang Jawa. Sikap takut dan curiga orang-orang Tionghoa dibalas dengan sikap yang sama oleh orang-orang Jawa. Pangeran Diponegoro juga menaruh sikap yang sama dengan melarang prajuritnya berhubungan dengan orang-orang Tionghoa. Dia juga melarang mengambil gadis-gadis peranakan Tionghoa menjadi gundiknya, karena akan membawa sial.
Baca juga: Memenuhi ramalan Pangeran Diponegoro
Sikap Diponegoro ini disebabkan oleh pengalaman pribadinya ketika mengalami kekalahan dalam perang di Gowok, di luar Surakarta pada 15 Oktober 1826. Sesuai dengan yang ditulisnya sendiri dalam Babad Diponegoro, dia telah terjebak dan “dihancurkan” oleh kecantikan seorang gadis Tionghoa yang tertangkap di daerah Panjang yang kemudian dijadikan tukang pijatnya. Demikian juga, dia menyalahkan kekalahan iparnya, Sasradilaga dalam pertempuran di daerah Lasem karena menggauli seorang perempuan Tionghoa di Lasem.
Pada awal abad ke-20, kembali tercatat peristiwa rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu kerusuhan di Solo pada 1912 dan kerusuhan di Kudus pada 1918. Pada masa revolusi, kembali terjadi gerakan anti etnis Tionghoa, seperti yang terjadi di Tangerang pada Mei-Juli 1946, Bagan Siapi-api pada September 1946, dan Palembang pada Januari 1947.
Kebencian warga bumiputra terhadap warga etnis Tionghoa yang dirasa sangat kuat, karena mereka menganggap etnis Tionghoa bekerja sama dengan penjajah. Bahkan pada 1965, rasialisme terhadap etnis Tionghoa semakin menguat, karena Republik Rakyat China dianggap sebagai sponsor utama Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Sejak meletusnya peristiwa tersebut, segala sesuatu yang berbau Tiongkok diberantas dan muncul berbagai sikap yang selalu mendikotomikan: pribumi dan non pribumi. Berbagai pembatasan diberlakukan. Misalnya pembatasan masuk perguruan tinggi, menjadi tentara, menjadi pergawai negeri sipil, dan sebagainya.
Menurut Hembing, aksi anti etnis Tionghoa yang pertama setelah peristiwa G30S, terjadi pada 10 November 1965 di Makasar. Berikutnya pada 10 Desember 1966, terjadi kerusuhan massal di Medan. Pada peristiwa itu, warga etnis Tionghoa dikejar dan dibantai dengan tuduhan bekerjasama dengan komunis.
Setahun kemudian, aksi kekerasan anti etnis Tionghoa terjadi di Kalimantan Barat pada November 1967. Korban tewas mencapai ratusan. Puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi ke kota-kota pesisir seperti Singkawang dan Pontianak. Karena itu, mereka mayoritas di Singkawang, dibandingkan etnis Dayak dan Melayu.
“Kerusuhan ini terjadi karena etnis Tionghoa yang bermigrasi ke situ pada 1745, membangun kongsi-kongsi tersendiri dan mempunyai kekuatan politik sendiri. Mereka pun berani melawan kepala-kepala adat Dayak dan Melayu. Akibatnya pertikaian antaretnis Tionghoa dengan Dayak dan Melayu tak terhindarkan,” tulis Hembing.
Baca juga: Kesaksian kerusuhan Mei 1998
Peristiwa kelabu terhadap warga etnis Tionghoa seakan tak pernah berhenti. Peristiwa kembali terjadi pada 13-15 Mei 1998. Dikenal dengan Peristiwa Mei Kelabu. Dari laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), menunjukkan bahwa etnis Tionghoa menjadi target utama dalam kerusuhan tersebut. Kerusuhan itu telah mendorong eksodus besar-besaran warga Tionghoa ke luar negeri. Karena dalam negeri tidak aman, luar negeri jadi pilihan.
Peristiwa Mei Kelabu telah berlalu. Namun, kita masih bisa menyaksikan saksi bisunya: berjalanlah di Jalan Kramat Raya, yang dekat dengan jalan layang, di deretan toko penjual cat, kita masih dapat menyaksikan ruko-ruko bekas terbakar berwarna hitam. Bangkai ruko-ruko lainnya masih dapat ditemukan di Cempaka Putih, Daan Mogot, juga di Glodok. Mereka tegak berdiri seolah ingin mengingatkan apa yang terjadi 12 tahun silam. Ruko-ruko itu dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya, yang mungkin sudah pergi, mungkin juga sudah mati.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar