Mula Rumah Sakit untuk Pribumi
Ketidakpedulian terhadap kesehatan pribumi membuat pemerintah kolonial hanya menyediakan layanan kesehatan untuk menangani sifilis dan epidemi. Cikal bakal rumah sakit pribumi.
Seorang dukun mengunyah prum dan sirih. Sejurus kemudian, kunyahannya dia semburkan ke tubuh pasiennya yang luka. Kandungan antiseptik pada daun sirih efektif untuk menyembuhkan luka. Demikianlah gambaran pengobatan di Nusantara pada masa pengobatan medis belum masuk ke kalangan pribumi.
Keahlian dukun menyembuhkan penyakit tak diragukan masyarakat. Penghormatan pada mereka pun tinggi. Ketika wabah cacar melanda, para dukun berkeliling rumah untuk membagikan jeruk sebagai usaha menangkal cacar kendati hasilnya tak sesuai harapan.
Data dari Almanak Nederlansch Indie pada 1850, di Jawa tercatat ada lebih dari seribu dukun, dua ratus-an sinse (tabib Tionghoa). Sementara, jumlah petugas medis Eropa tidak sampai seratus orang. Alhasil, layanan medis Barat pun terbatas meski pada tahun-tahun pertama setelah VOC runtuh layanan kesehatan sudah diambilalih pemerintah kolonial.
Baca juga: Dukun Beranak Ditelan Zaman
Sama seperti masa sebelumnya, layanan kesehatan di negeri jajahan mayoritas dikerjakan oleh ahli bedah dan dikhususkan untuk pasien Eropa. Ada tiga jenis layanan yang diberikan, yakni rumah sakit umum, rumah sakit kota yang kebanyakan tinggalan VOC, dan layanan kesehatan di pedalaman desa untuk pribumi.
Jenis layanan terakhir muncul setelah kemunculan dokter Djawa di pedalaman. Sebelum itu, pasien pribumi berobat ke dukun lantaran pemerintah kolonial tidak memberikan layanan medis untuk prbumi karena dianggap tidak menguntungkan. Pemerintah bahkan mengatakan tidak bertanggung jawab atas ketersediaan layanan medis untuk pribumi biasa.
Perhatian untuk menyediakan layanan kesehatan bagi pribumi baru muncul ketika wabah cacar menyerang Banyumas hingga menewaskan banyak buruh perkebunan. Pemerintah lalu mendirikan Sekolah Dokter Djawa pada Oktober 1847 atas usulan Kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer) Dr. William Bosch pada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen.
Baca juga: Dokter Indonesia Pertama Ahli Radiologi
Sekolah yang bertempat di Weltevreden, Batavia ini memberi masa studi dua tahun. Dalam Healers on the Colonial Market, Liesbeth Hesselink menyebut, sebagian besar guru hampir tidak memiliki pengalaman dengan pasien pribumi. Para lulusan dari sekolah inilah yang ditugaskan menangani pasien pribumi dengan pengawasan dokter Eropa.
Setelah lulus, siswa sekolah dokter Djawa dikirim sebagai mantri vaksin dalam epidemi yang menyerang buruh perkebunan. Selain mengatasi cacar, pemerintah juga memberikan layanan kesehatan untuk pekerja seks yang terkena sifilis. Pembentukan layanan kesehatan sifilis ini juga bermula dari alasan ekonomi, yakni Belanda tak ingin rugi karena buruh-buruhnya mati atau berkurang.
Di layanan kesehatan semacam inilah pasien pribumi biasanya ikut berobat. Bukan hanya sifilis atau cacar, tapi segala penyakit yang sulit disembuhkan dukun. Lambat laun, kepercayaan masyarakat pada layanan dokter Djawa membaik. Mereka akhirnya membuka ruang konsultasi yang kemudian berubah menjadi klinik yang menangani pribumi.
Baca juga: Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
Laporan Direktur Layanan Publik pada 1877 menyebut ada 35 rumah sakit untuk masyarakat sipil umum. Rumah sakit ini menerima layanan untuk pasien pribumi, termasuk merawat pasien sifilis. Karena layanan kesehatan ini makin ramai didatangi pasien pribumi, pemerintah kolonial memperbesar layanan dari yang mulanya hanya melayani satu jenis penyakit itu.
Koloniale Verslagen (KV) 1879 menyebut ada pembahasan mengenai status layanan kesehatan untuk pribumi di pedalaman. Para ahli medis dan para kepala Pemerintahan Daerah akhirnya sepakat meningkatkan status layanan kesehatan sifilis yang menerima pasien pribumi dan beberapa klinik yang dibuka oleh dokter menjadi rumah sakit pribumi. Rumah sakit pribumi ini pun menerima subsidi dari pemerintah.
Baca juga: Akar Historis Penyakit Sifilis
Pada 1879, pemerintah Hindia Belanda mendata ada empat rumah sakit untuk warga sekitar Pasuruan, Probolinggo, Wonosobo, dan Gombong. Rumah sakit ini diakui oleh penguasa setempat sehingga petugas kesehatan yang diterjunkan pun ditunjuk oleh pemerintah.
Bukti lain tentang keberadaan rumah sakit untuk pribumi tercatat dalam Koloniaal Verslag yang keluar tahun 1902. Laporan tersebut mencatat ada 88 rumah sakit pribumi di Jawa dan luar Jawa. Menurut Sjoerd Zondervan dalam Patients Of The Colonial State, ada sedikit kesimpangsiuran tentang jumlah rumah sakit pribumi dalam catatan. Petugas medis dan pegawai sipil setempat kadang tidak bisa membedakan antara rumah sakit pribumi, rumah sakit penanganan sifilis untuk perempuan (syphilitische vrouwen), atau kombinasi keduanya yang juga melayani penjara lokal. Hal ini tentu disebabkan oleh pembentukan rumah sakit pribumi yang tadinya pusat perawatan sifilis. Hingga 1900, ada 59 rumah sakit pribumi di Jawa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar