Mobil Biru yang Ditunggu
Lantaran kabel telepon belum bisa menjangkau sampai pelosok, Telkom mengeluarkan Wartel Keliling.
MUNIAR, seorang transmigran di Tempuling, Riau, tinggal terpisah dengan anaknya yang kuliah di Yogyakarta. Untuk sekadar berkomunikasi dengan anaknya menggunakan surat, Muniar seringkali harus pergi ke Kantor Pos yang jaraknya cukup jauh. Kala itu warung telekomunikasi (wartel) belum masuk ke daerahnya. Jumlah wartel pada 1991 pun masih 181 unit yang didirikan Telkom dan 176 wartel didirikan swasta.
Namun, kesulitan Muniar hilang sejak kehadiran Jasa Telekomunikasi Mobil (Jastel Mobil). Dia tak lagi pakai surat untuk berkirim kabar. Rute keliling Jastel diumumkan di koran maupun radio sehingga masyarakat yang hendak memakai bisa dengan mudah menemukannya.
Muniar selalu menanti kehadiran mobil berwarna biru itu. Di bagian pintu depan mobil terpampang logo Telkom. Di dalamnya, seorang petugas layanan akan membantu tiap pelanggan mengoperasikan telepon atau telegram. “Dalam kota max. 3 jam, luar kota max. 5 jam,” demikian peringatan di Warteling itu tertulis. Dari warteling itulah Muniar menelepon anaknya di Yogyakarta.
Jastel Mobil merupakan –istilah resmi yang dikeluarkan Telkom namun kurang dikenal masyarakat yang lebih suka menyebut Telegrap Keliling atau Wartel Keliling (Warteling)– satu terobosan baru di masanya. Rute yang dilewati merupakan daerah pelosok yang belum terjangkau telepon umum dan wartel. Pasalnya, kabel Telkom baru bisa menjangkau daerah yang berjarak lebih dari 60km dari sentral telepon otomat. Bila ingin menjangkau daerah tersebut, Telkom harus membangun stasiun repeater yang memakan biaya besar. “Kalau wartel keliling itu nggak pakai kabel dan harganya berusaha kita murahkan. Tapi kita nggak punya banyak, seperti wartel atau telepon umum,” kata Direktur Utama Telkom 1992-1996, Setyanto P Santosa, pada Historia.
Layanan ini sebenarnya sudah direncanakan sejak akhir 1980-an. Namun, urung dilaksanakan lantaran Telkom belum memiliki teknologinya. Baru setelah Telkom berhasil membeli ultaphone, unit-unit warteling bisa dibuat. Biaya pembuatan dan operasional warteling mencapai 35 juta rupiah per unit. Angka ini jauh lebih efektif dibanding membangun stasiun repeater tiap radius 60km dari sentral telepon otomat di tiap daerah.
Baca juga: Masa Jaya Telepon Umum Kartu
“Pelayanan ini untuk sementara dikhususkan pada wilayah pinggiran kota Jakarta yang tak terjangkau oleh jaringan kabel,” kata Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Soesilo Soedarman seperti diberitakan Kompas, 11 Oktober 1991. Dengan demikian, kebutuhan percakapan lokal, interlokal, maupun pengiriman telegram dapat dilakukan.
Warteling menjadi proyek perintis untuk mendekatkan teknologi komunikasi pada pelanggan yang ada di wilayah pelosok. Selain beroprasi di Riau sejak pertengahan tahun 1991, Warteling juga beroperasi di pinggiran Kota Jakarta pada akhir 1991. Operasi di pinggiran Jakarta lebih ditujukan untuk mencari segmen pasar baru yang belum kenal layanan telepon umum. Kala itu baru lima unit warteling yang dioperasikan untuk berkeliling di sekitar Depok, Tangerang, Bekasi.
Dengan adanya Warteling, masyarakat tidak perlu bersusah-payah pergi ke layanan komunikasi yang ada di kota besar. Warteling juga mengurangi antrian telepon umum. “Daripada menunggu antrian telepon umum yang memakan waktu lama,” tulis Gema Telekomunikasi April 1988.
Baca juga: Sebelum Ponsel Merajalela
Warteling berkeliling ke daerah yang telah ditentukan dan ada beberapa titik pemberhentian, seperti lapangan, dekat pasar, Balai Desa, atau tempat-tempat yang mudah dijangkau masyarakat di pelosok. Tiap mobil warteling dilengkapi telepon dan telegraf. Pengiriman informasi tidak dilakukan melalui kabel seperti cara kerja telepon pada umumnya di tahun 1990-an, melainkan melalui teknologi radio ultraphone. Di warteling inilah, komunikasi nirkabel mulai digunakan.
“Selama ini hanya bisa dilakukan lewat surat yang dikirim via pos. Tetapi, sejak dua bulan lalu kami mendapat kemudahan dengan adanya pelayanan baru berupa telegram keliling," kata Muniar seperti dimuat dalam Kompas, 8 September 1991.
Baca juga: Dari Batu sampai Ponsel
Tambahkan komentar
Belum ada komentar