Masa Jaya Telepon Umum Kartu
Muncul sebagai varian telepon umum dan berjaya di tahun 1990-an.
YURI Arief Waspodo, kolektor kartu telepon, masih duduk di bangku SMPN 2 Depok ketika telepon umum kartu pertamakali terpasang di Depok, paruh kedua 1990-an. Yuri ingat betul telepon umum pertama itu dipasang di dekat rumahnya, Perumahan Nasional Depok 1.
Seperti remaja dan orang dewasa pada umumnya, Yuri memanfaatkan betul alat komunikasi jarak jauh itu. Ketika mengabari keluarganya karena akan telat pulang akibat kegiatan sekolah, Yuri biasa menggunakan telepon umum yang terpasang di sekolah. “Zaman dulu telepon umum jadi andalan karena belum ada HP,” kata Yuri.
Beroperasi pertamakali pada 1988, telepon umum kartu mengalami masa uji coba sejak November-Mei di 12 titik di Jakarta, sebelum dioperasikan di kota besar lain. Gema Telekomunikasi edisi Desember 1988 menyebut, 12 titik strategis yang dipilih Telkom antara lain Gedung Depparpostel di Jalan Merdeka Barat, Bandara Soekarno Hatta, Stasiun Gambir, Dunia Fantasi Ancol, toko buku Gramedia Matraman, Sarinah Thamrin, Pasaraya Sarinah (kini Pasaraya Blok M), Wisma Nusantara, BCA Jalan Sudirman, Ratu Plaza, Hotel Indonesia, dan Hotel Hilton.
Baca juga: Media Komunikasi dalam Lagu
Pemasangan telepon umum sistem baru tersebut tidak menghilangkan telepon umum koin, melainkan menambah jenis layanan serta mempermudah para pemakai jasa telepon umum. Dengan sistem kartu, penggunanya tidak lagi direpotkan menukar uang koin. Mereka cukup membeli kartu yang dijual di toserba, kantor pos, atau gerai Telkom. Harga satu lembar kartu telepon paling murah 1500 rupiah, sementara yang termahal berisi pulsa 1000 dengan harga 75000 rupiah. Tak heran bila pengguna telepon umum kartu kebanyakan kalangan menengah ke atas karena harga beras di tahun 1989 berkisar 500 rupiah per kilogram.
Sama seperti koin, kartu dimasukkan ke lubang di pesawat telepon sebelum pemakainya bisa ber-“halo-halo” ria. Kelebihan lain telepon umum kartu, adanya panduan yang tertera dalam layar kecil telepon umum yang memudahkan pemakainya. Misal, keterangan pesawat rusak, silakan tunggu, jumlah pulsa yang digunakan, ambil kartu, masukkan kartu, dan terima kasih. Telepon umum kartu juga punya fungsi baru dibanding pendahulunya, yakni kartu telepon bisa digunakan untuk menyimpan nomor telepon.
Kartu juga bisa digunakan berulang kali, tapi tak bisa diisi ulang. Awet-tidaknya jumlah pulsa di kartu bergantung pada pemakaian yang didasarkan pada jarak dan durasi telepon. Hal ini pula yang mengundang “tangan-tangan” nakal untuk mengakali kartu telepon. Di masyarakat, banyak orang mengakali kartu telepon sehingga bisa diisi kembali. Mereka menarik laba dengan menjual murah kartu isi ulang itu secara sembunyi-sembunyi.
Keunggulan lain telepon umum kartu adalah, bila jumlah pulsa dalam kartu habis sedangkan obrolan di telepon belum selesai, akan keluar petunjuk untuk memasukkan kartu baru. Sementara, kartu lama yang habis otomatis keluar otomatis dan panggilan telepon tak terputus. Sisa pulsa terpakai juga tertera pada layar telepon telepon. Dengan begitu, pemakai tahu jumlah pulsanya.
Baca juga: Telepon Merah Presiden Soeharto
Tidak seperti kartu ATM yang terbuat dari plastik, kartu telepon generasi pertama terbuat dari kertas tebal yang dihiasi gambar-gambar seperti pada perangko. Dalam Dari Monopoli Menuju Kompetisi, Ramadhan KH menulis ada edisi Bobo, flora, fauna, partai politik, dan rumah adat. Keberagaman gambar ini menarik minat pengoleksi kartu telepon umum.
Popularitas telepon umum kartu terus meningkat, khususnya pada dekade 1990-an. Penggunaannya yang praktis dan terhitung teknologi baru di masanya membuatnya jadi andalan hingga ramai peminat. Jumlah telepon umum kartu pun meningkat. Dari 12 titik pemasangan telepon umum kartu yang ada ketika masa uji coba, jumlah telepon umum kartu sudah mencapai 95 buah pada awal 1990. Jumlah itu naik berkali lipat menjadi 7835 pada 1993.
Namun, masa jaya itu memudar seiring kemunculan HP pada awal tahun 2000 menenggelamkan popularitas telepon umum. Meski telepon umum kartu masih tersedia di beberapa sudut kota, seperti Bentara Budaya, Kampus UI Salemba, dan Halte Sarinah, pesawatnya sudah tidak befungsi. Telepon-telepon itu hanya tergantung tapi tak tersentuh dan tak berfungsi meski fisiknya masih bagus. Kini orang tak lagi pakai telepon umum untuk mendengar suara orang terkasih di seberang sana.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar