Mencegah Pes Mewabah
Pencegahan pes sempat mendapat penolakan penduduk karena kenaifan mereka tentang pengobatan modern.
MENGERIKANNYA wabah pes di Jawa pada awal abad ke-20 membuat pemerintah kolonial melakukan berbagai cara untuk mencegah penyebarannya. Cara-cara pencegahan yang dilakukan pemerintah tak jarang mengundang reaksi naif dari warga bumiputra.
Ketika wabah pertama merebak tahun 1910, tahun berikutnya pemerintah kolonial melakukan disinfeksi di Malang dengan mengasapi rumah penduduk. Namun, kampanye berskala besar itu menimbulkan kecurigaan besar penduduk. Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market menyebut, warga bumiputra mengira prosedur disinfeksi sebagai sihir jahat yang dilakukan Belanda. Alhasil, usaha pencegahan itu acap menemui penolakan.
“Ada yang rumahnya diasapi, dikurung pakai kain besar, dan warganya disuruh menyingkir dulu sementara,” kata Martina Safitry, dosen sejarah IAIN Surakarta yang pernah meneliti sejarah wabah pes di Jawa untuk tesisnya, pada Historia.
Penolakan juga terjadi kala petugas kesehatan hendak mendeteksi penyebab kematian penduduk. Biasanya mantri akan melakukan pengambilan jaringan limfa pada jasad korban. Selepas itu, jaringan limfa diteliti untuk menentukan penyebab kematian, pes atau bukan. Namun, ketidaktahuan warga seringkali menyulitkan mantri yang bertugas. Mereka menolak prosedur itu, mengusir petugas kesehatan dan melemparinya dengan batu.
Baca juga: Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
Namun, sebenarnya penduduk takut pada wabah pes sehingga di beberapa daerah melakukan usaha pencegahan sendiri. Di Jawa Barat, penduduk memagari desa dengan bambu setinggi atap rumah. Tujuannya, mencegah warga desa tetangga yang terjangkit pes pindah ke desa mereka. Tapi, upaya mengurung seluruh desa ini agak muskil karena beberapa tempat tidak bisa dipagari, misalnya sungai, kebun, atau semak. Lalu, tidak semua warga patuh pada ide ini. Mereka yang tetap ingin bekerja dan lalu-lalang ke desa tetangga terpaksa menyelinap lewat tempat-tempat yang tidak bisa dikurung bambu dan tidak dijaga.
Upaya pencegahan pes juga dilakukan lewat rekomendasi perbaikan rumah agar tidak jadi sarang tikus. Program ini diatur dengan rinci dalam Besluit 25 April No. 4064/52 bahwa pekarangan rumah harus bersih dan rapi agar terhindar dari sarang tikus. Segala barang, baik di dalam atau di luar rumah, harus diletakkan pada tempat yang luas dan mudah dibersihkan agar tidak ada tikus yang sembunyi. Bambu bulat dan bambu yang masih kotor tidak boleh digunakan untuk membuat perkakas dan perabot rumah. Baik di dalam rumah maupun di pekarangan tidak diperbolehkan meletakkan barang secara tidak beraturan.
Untuk melancarkan program ini, pemerintah mengirim petugas kesehatan untuk mengawasi jalannya perbaikan rumah. Hadjiwibowo, serdadu Royal Dutch Marine, seperti ditulis Liesbeth dalam bukunya, menceritakan bagaimana ayahnya bekerja sebagai pengawas perbaikan perumahan di Departemen Kesehatan Hindia-Belanda. Ayah Hadjiwibowo harus memastikan warga mengganti tiang bambu dengan balok jati, karena tikus cenderung bersarang di bambu berongga. Ayahnya sering dipindahtugaskan untuk berbicara tentang penyebaran wabah dari Jawa Timur ke Jawa Barat.
Baca juga: Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa
Dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, Martina menyebut pemerintah juga memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar aturan perbaikan rumah. Aturan ini dicatat dalam pasal 2 Staatsblad No. 484 tahun 1916. Orang kulit putih ataupun pribumi yang melanggar akan dikenakan denda 100 gulden atau bila tidak sanggup membayar akan dipenjara selama satu hingga enam hari.
Karantina juga dilakukan agar penyakit pes tidak menular. Bila satu orang terkena pes, satu keluarga akan diungsikan. Dalam praktiknya, seringkali bukan satu keluarga yang diungsikan, melainkan satu desa. Ini dilakukan lantaran kebiasaan penduduk untuk mengunjungi orang yang sakit. Padahal, ketika berkunjung belum tentu kutu tikusnya sudah mati tapi malah menular ke penjenguknya.
Ketika dikarantina, tiap desa biasanya dijaga dua-tiga petugas atau polisi desa. Hal itu menyebabkan penduduk sering kucing-kucingan dengan menyelinap keluar kamp karantina pada sore hari. Mereka menjaga rumah masing-masing pada malam hari agar tak kemalingan. Paginya, penduduk akan kembali ke kamp karantina.
Baca juga: Sudah Kena Pes Tertimpa Apes
Selain alasan keamanan, penduduk menolak dikarantina karena perlakuan tidak layak. Mereka harus tidur berdesakan sementara pemberian makan seringkali dilempar dari luar lantaran petugas takut tertular. “Perlakuan semacam itu kan tidak menghargai, jadi ada yang menolak dikarantina,” kata Martina.
Untuk menghindari diungsikan, banyak warga yang akhirnya menutup-nutupi bila ada keluarga atau tetangganya yang terjangkit pes. Beberapa orang berusaha berobat ke dukun dan diobati dengan dioleskan minyak kelapa panas ke seluruh tubuh. Pengobatan dukun nyatanya tak berhasil sehingga ujung-ujungnya tetap diobati oleh para mantri yang diterjunkan ke desa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar