Lama Wabah di Masa Lalu
Kisah akhir dari wabah-wabah yang pernah terjadi di masa lalu.
SETELAH menjalani karantina selama beberapa bulan, orang-orang mulai bertanya kapan pandemi Covid-19 berakhir. Para peneliti di berbagai negara seperti di Inggris, China, Rusia, dan Amerika Serikat terus berusaha mencari jalan keluar dengan pengembangan vaksin. Di Indonesia sendiri, pengembangan vaksin sudah mencapai tahap III (pengujian pada manusia dengan jumlah besar) per Juli 2020 dan ditargetkan selesai pada 2022. Meski jalan untuk vaksinasi massal masih amat jauh, beberapa negara seperti Indonesia memilih melonggarkan karantina lebih awal karena pertimbangan ekonomi.
Prediksi tentang berakhirnya wabah pun menjadi amat sulit dilakukan. "Saya pikir ada semacam masalah psikologis sosial seperti kelelahan dan frustrasi," kata sejarawan Universitas Yale Naomi Rogers pada The New York Times. Menurutnya, ketika kerugian ekonomi terus meningkat akibat pembatasan sosial, orang-orang memilih untuk kembali menjalankan aktivitas. Ada perbedaan pandangan antara masyarakat dan para ahli kesehatan. Yang pertama melihat masalah ekonomi dan sosial sementara para ahli kesehatan melihatnya sebagai krisis kesehatan yang membahayakan nyawa.
Menilik akhir wabah di masa lalu, sejarawan membedakannya menjadi dua. Berakhir secara medis, yakni ketika jumlah kasus baru dan tingkat kematian menurun drastis; dan berakhir secara sosial, yakni ketika ketakutan akan penyakit berkurang. Wabah cacar yang pernah menyerang dunia temasuk yang berakhir secara medis berkat temuan vaksin yang bisa menangkal virus seumur hidup.
Baca juga: Langkah Gencar Menanggulangi Cacar
Sejak muncul pertamakali tahun 1558 di Ternate dan Ambon, cacar menjadi penyakit mematikan karena ketiadaan obat dan vaksin. Pengendalian cacar baru dilakukan ketika ahli medis Inggris dokter Edward Jenner menemukan cara ampuh penanggulangan cacar pada 1796. Stefan Riedel dalam “Edward Jenner and the History of Smallpox and Vaccination”, menyebut pada Mei 1796, Jenner menemukan seorang pemerah susu bernama Sarah Nelms yang terserang cacar sapi. Ia kemudian meneliti cara penjinakan cacar sapi dan mengujicobanya pada anak salah seorang pelayannya. Keberhasilan penemuan Jenner menjadi titik terang pengendalian wabah cacar di seluruh dunia, temasuk di Hindia Belanda.
Dalam “Dari Mantri hingga Dokter Jawa” yang dimuat dalam Humaniora Oktober 2006, Baha’Udin menulis, pada 1818 ada 50420 pencacaran, tahun 1860 jumlahnya meningkat tajam jadi 479.768 pencacaran dengan 211.051 pencacaran ulang. Pada 1875 jumlah pencacaran makin naik hingga 930.853 orang yang menerima vaksin.
Mulanya, vaksin dikirim tiap 2-3 bulan sekali dari Amsterdam, Rotterdam, Utrech, dan Den Haag. Namun pada 1879, pemerintah kolonial mendirikan Parc Vaccinogene di Batu Tulis, Bogor untuk meningkatkan produksi vaksin. Pemerintah juga menambah jumlah tenaga medis yang bertugas mendistribusikan vaksin (mantri cacar) dan mendirikan Dokter Djawa School di Batavia. Meski penyakit ini berhasil dikendalikan sejak abad ke-19, dunia baru dinyatakan bebas dari cacar pada 1979.
Baca juga: Menanti Vaksin si Pembasmi Penyakit
Sementara, cerita lain datang dari wabah pes. Bermula di Malang pada 1910, pes lambat laun menjalar ke Semarang, Yogyakarta, dan wilayah lain. Menurut data pemerintah kolonial, sepanjang 1910-1939, korban pes di Jawa Timur sebanyak 39.254 orang, Jawa Tengah 76.354, dan Yogyakarta 4.535.
Pada 1920-an, wabah pes menyerang Cirebon, Priangan, dan Batavia dengan angka kematian yang terus meningkat. Hingga puncaknya di Jawa Barat tahun 1933-1935, pes mengakibatkan 69.775 orang tewas.
Di Jawa Timur, pes berhasil dikendalikan dengan vaksinasi, renovasi rumah, dan peningkatan kebersihan lingkungan. Bila pada 1910-1919 ada 37602 orang yang terjangkit pes, pada 1920-1929 angkanya turun menjadi 1521. Terence Hull dalam “Plague in Java” mencatat, pada dekade terakhir kekuasaan kolonial, angka kasus pes di Jawa Timur terus menurun hingga menjadi 131 sepanjang 1930-1939. Namun ketika angka kasus pes di Jawa Timur turun, wilayah Jawa Barat malah naik pesat. Sayangnya pada masa Jepang masalah kesehatan tak mendapat perhatian sehingga tak ada catatan tentang pes di masa tersebut.
Baca juga: Sudah Kena Pes Tertimpa Apes
Pada pendemi Flu Spanyol 1918, karantina wilayah juga dilakukan pemerintah kolonial. Pejabat kesehatan memberi aturan khusus pada kapal-kapal yang menepi di pelubahan-pelabuhan Hindia Belanda berupa larangan menurunkan penumpang. Bila ada yang melanggar, denda menanti.
Priyanto Wibowo dalam Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918 menyebut, wabah yang paling hebat berlangsung kira-kira tiga minggu. Namun puncaknya baru berakhir kira-kira dua bulan dan pandemi influenza 1918 memang tidak pernah dinyatakan secara resmi berakhir.
Baca juga: Seabad Flu Spanyol
Menurut Priyanto, pandemi itu menghilang dengan sendirinya. Para sejarawan menyebut Flu Spanyol sebagai pandemi yang terlupakan. Dalam ingatan kolektif masyarakat Amerika Serikat sendiri, Pandemi Flu 1918 tidak banyak diperbincangkan terutama ketika masa pandemi itu sendiri.
Namun karena beratnya kehidupan di masa Perang Dunia I, orang-orang memilih untuk kembali beraktivitas dengan beberapa penyesuaian untuk menghindari penularan virus. Menurut sejarawan Universitas Cambridge Mary Dobson, infeksi flu Spanyol kemudian menurun pada 1921 namun penularan Flu Spanyol terus terjadi hingga 1957.
Tidak ada catatan pasti kapan sebuah penyakit benar-benar hilang. Menurut Naomi Rogers, klaim tentang berakhirnya wabah bisa amat sulit didefinisikan. “Siapa yang bisa mengklaim akhirnya?"
Tambahkan komentar
Belum ada komentar