Gatotkaca Terbang, Mendarat di Museum
Merenungi mahakarya anak bangsa N-250 “Gatotkaca” di Hari Penerbangan Nasional. Dimuseumkan ketimbang ditelantarkan.
HARI Penerbangan Nasional tahun ini, Selasa (27/10/2020), patut dijadikan cermin untuk merenungkan sudah sejauh mana Indonesia melangkah dalam dunia kedirgantaraan. Persaingan ketat di bidang kedirgantaraan internasional yang telah diikuti negara seperti RRC, India, bahkan Brazil, boleh dibilang belum “mengikutsertakan” Indonesia secara penuh di dalamnya. Kondisi tersebut seakan mundur dari masa ketika Indonesia masih bayi.
Menurut Kepala Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala (Muspusdirla) Yogyakarta Kolonel Sus. Dede Nasrudin dalam webinar “Gatotkaca Mengguncang Dunia”, Selasa (27/10/2020), republik yang walaupun masih bayi sudah berusaha menelurkan pembuktian kompetensinya dalam hal dirgantara berkat penerbangan yang dilakukan Komodor Udara Agustinus Adisutjipto pada 27 Oktober 1945. Saat itu yang digunakan adalah pesawat bekas Jepang, Yokosuka K5Y alias “Cureng”.
“Hari ini ditetapkan sebagai Hari Penerbangan Nasional sejak 27 Oktober 1945 Pak Adisutjipto menggunakan pesawat Cureng dengan identitas roundel merah putih pertamakali terbang di atas Maguwo (kini Lanud Adisutjipto) dan kota Yogyakarta. Ini bukti kepada dunia internasional bahwa kita sudah bisa menerbangkan pesawat dengan pilot asli orang Indonesia berlogo merah putih,” ujarnya.
Sejak saat itu, hasrat untuk “menaklukkan” angkasa terus disemai para anak bangsa di bawah komando KSAU Komodor Suryadarma. Para bawahannya yang juga berhasrat tinggi di bidang dirgantara lalu maju dengan konsep dan usaha masing-masing.
“Sejak TNI AU didirikan 9 April 1946 dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia) Udara, dibentuk juga salah satunya Biro Rencana dan Konstruksi yang berada di Maospati (Lanud Iswahyudi). Inilah cikal bakal industri penerbangan yang dipelopori Wiweko dan Nurtanio,” lanjut Dede.
Dari sanalah embrio industri dirgantara Indonesia lahir. Lewat Opsir Udara III Wiweko Soepono dan Opsir Muda Udara Nurtanio Pringgoadisuryo, swaproduksi pesawat Indonesia dirintis. Dimulai dari modifikasi pesawat-pesawat peninggalan Jepang di Perang Kemerdekaan, Indonesia melangkah ke produksi sendiri lewat pesawat-pesawat NWG-1 (glider) pada 1946, Gelatik atau Capung di era Sukarno (1965) hingga N-250 “Gatotkaca” di era selanjutnya.
Pesawat-pesawat tersebut lahir di bawah naungan institusi yang silih berganti datang dan pergi. Dari Biro Perencanaan dan Konstruksi (1946), Depot Penyelidikan Percobaan dan Pembuatan AURI (1950), Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat atau Kopelapip (1964), Lembaga Persiapan Industri Penerbangan Nurtanio atau Lapipnur (1971), PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (1976), PT Industri Pesawat Terbang Nusantara alias IPTN (1985) hingga PT DI (2000).
Berawal dari Akhir dan Berakhir dari Awal
Kelahiran pesawat N250 “Gatotkaca” tak lepas dari kisah pemanggilan Bacharuddin Jusuf Habibie oleh Presiden Soeharto agar pulang dari Jerman ke tanah air. Dalam pertemuan keduanya di Jalan Cendana pada 28 Januari 1974, Soeharto mengutarakan keinginannya membangan industri dirgantara.
Menurut A. Makmur Makka dalam Inspirasi Habibie, dalam pertemuan itu Soeharto mengungkapkan istilah “tinggal landas” dalam hal pengembangan teknologi untuk pembangunan ekonomi.
Habibie menginterpretasikan istilah itu sebagai perintah membangun pesawat yang bisa digunakan dalam strategi pembangunan. Habibie pun menjelaskan panjang lebar tentang industri penerbangan dan tentunya tugas-tugas Habibie sebelum memimpin IPTN.
“Jadi kapan saya bisa melihat pesawat yang kamu ceritakan tadi?” tanya Soeharto, dikutip Makmur. Habibie, lanjut Makka, pun menjanjikan tempo satu dekade dari pertemuan mereka malam itu.
Baca juga: Habibie Kecil dan Soeharto Muda
Djoko Sartono Sastrodihardjo, kepala program N250 IPTN, masih ingat betul ketika Habibie mulai memimpin IPTN sejak 1976. Prinsipnya, sebelum bisa memproduksi pesawat sendiri, akan sangat bijak untuk belajar dari negara yang sudah maju.
“Pada waktu Pak Habibie diperintahkan untuk membangun kemampuan dirgantara, moto beliau adalah: ‘Kita berawal dari akhir dan berakhir pada awal.’ Artinya kita mengenal dulu teknologi kedirgantaraan, baik itu dari segi memproduksi, kemudian utamanya mengembangkan sendiri kemampuan teknologi dirgantara,” kata Djoko dalam webinar.
“Berawal dari akhir artinya, waktu itu IPTN mengirimkan tim ke Spanyol untuk mempelajari instalasi dan produksi (pesawat) NC-212 yang kemudian kerjasamanya (dengan Construcciones Aeronáuticas SA/CASA) dibikin dengan lisensi di IPTN. Dari situ kita belajar lebih dalam, terkait pengembangan produksinya,” sambung pria yang turut dalam tim yang dikirim ke markas CASA di Madrid itu.
Baca juga: Nurtanio, Patriot Udara Indonesia
Lantas berikutnya adalah pengembangan kemampuan integrasi pesawat terkait desain maupun manufacturing. IPTN kemudian melakoni joint-development CN-235, pesawat angkut komersial medium. CASA dan IPTN masing-masing mengerjakan 50 persen.
“Pada 1980 kita memulai conceptual design-nya dan hampir setahun mengembangkan bersama, akhir 1980 kita pulang untuk mengerjakan paket kita sendiri. Desain yang kita dapatkan utamanya adalah soal center wing. Juga dengan pengembangan konfigurasinya,” tambah Djoko.
Pesawat CN-235 yang dinamai “Tetuko” pun kemudian sukses diuji terbang perdananya pada 11 November 1983.
Tepat 10 tahun dari percakapan awal dengan Presiden Soeharto, Habibie kembali menghadap ke Cendana. “Di ruangan yang sama di Jalan Cendana, Habibie melapor: ‘Pak CN-235 Tetuko sudah terbang. Begitu pula dengan Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Serpong’,” tulis Makmur.
Gatotkaca Pesawat Anak Bangsa
Dari semua yang dipelajari Djoko dkk., mulai dari konsep desain hingga sisi pemasaran, pada 1989 Habibie akhirnya memutuskan untuk membangun pesawat yang 100 persen karya anak bangsa. Untuk bisa mengguncang dunia, dilahirkanlah proyek N250 yang dikembangkan dengan teknologi fly-by-wire. N250 jadi satu-satunya pesawat komuter yang mengaplikasikan teknologi yang di masa itu baru diaplikasikan dalam pesawat jet berbadan besar Airbus A340 dan Boeing 767.
“Kita langsung mengaplikasikan sistem fly-by-wire untuk tiga axis (poros). Boeing maupun Airbus sempat menyarankan kita mengumpulkan pengalaman dulu di satu axis. Tapi Pak Habibie menetapkan kita langsung tiga axis. Waktu itu (kompetitornya) ada Saab 340 dan ATR 42 yang masih mengembangkan satu axis tapi kita satu-satunya yang langsung tiga axis,” kata Djoko.
Baca juga: Empat Burung Besi yang Dikandangkan
Teknologi fly-by-wire diklaim membuat N250 lebih aman. Selain itu, tambahnya, “Lebih efektif, lebih murah, lebih safety, dan lebih bisa diandalkan karena biasanya kita tidak hanya tergantung pada satu komputer. Kalau perlu tiga komputer ditambah back up-nya. Dari segi bobot juga jadi lebih ringan.”
Guna mendukung konsep tersebut, IPTN membangun beragam instalasi pengujiannya. Desain dan konstruksinya diaudit oleh utusan-utusan dari pabrikan Boeing, Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), maupun Federal Aviation Administrasion (FAA/Lembaga Penerbangan Amerika).
Untuk manajemen pemasarannya, IPTN bekerjasama dengan Amerika dengan membentuk joint-corporation American Regional Aircraft Industry (AMRAI) dan European Regional Aircraft Industry (ERAI).
Purwarupa PA1 yang kemudian dinamai N250 “Gatotkaca”. Untuk menerbangkan pesawat berbobot kosong 13 ton itu digunakan mesin turboprop Allison AE2100 C. Mesin tersebut bisa memacu Gatotkaca dengan kecepatan maksimal 610 km/jam serta melejit ke ketinggian maksimal 25 ribu kaki (7.620 meter).
N-250 kemudian melahirkan empat varian: PA1 , PA2, PA3, dan PA4. PA1 alias “Gatotkaca” punya kapasitas 50 penumpang, sementara PA2 yang dinamai “Krincing Wesi” bisa membawa penumpang 68 orang. Saat proyeknya di hentikan, PA3 baru 70 persen rampung dan PA4 masih dalam bentuk cetak biru.
Menyelamatkan Gatotkaca
N-250 PA1 “Gatotkaca” dengan nomor registrasi PK-XNG akhirnya melakoni debut terbangnya pada 10 Agustus 1995. Take off dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung pada pukul 10.15 pagi, maiden flight Gatotkaca tidak hanya disaksikan Presiden Soeharto namun juga jutaan pasang mata rakyat lantaran disiarkan via televisi.
“Banyak yang terharu dan meneteskan air mata, tak terkecuali Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto, serta Wapres Try Sutrisno. Beberapakali terlihat Presiden mengusap wajahnya dengan sapu tangan putih. Bahkan Ibu Tien spontan memeluk dan menjabat tangan memberi selamat kepada Habibie, seraya menahan haru yang bercampur bangga,” tulis Makmur di buku lainnya, The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan.
Kebanggaan akan N250 “Gatotkaca” kian memenuhi dada kala pesawat itu sukses ferry flight melintasi Asia-Afrika-Eropa. Ferry flight itu dilakukan untuk menghadiri Paris AirShow 1997.
Baca juga: Pesawat Pemburu dari Masa Lalu
Namun, semua berubah kala krisis moneter menerpa Indonesia pada 1998. Pemerintahan Soeharto memilih manut pada International Monetary Fund (IMF) demi mendapatkan bantuan untuk menghadapi krisis. Soeharto menerima persyaratan IMF agar subsidi pemerintah untuk IPTN disetop.
Habibie, Djoko, dan semua rekannya di IPTN pun terpukul.
“Jadi hal itu sangat memukul kita juga. Terus terang, sebagian besar SDM kita yang sudah terlatih dengan program itu, akhirnya pergi ke (pabrikan) Embraer di Brasil, ke Boeing, ke Airbus di Hamburg. Kita waktu itu (1998) sudah punya hampir 900 jam terbang. Untuk mendapatkan sertifikasi kita butuh 700 jam terbang lagi. Diharapkan waktu itu sebetulnya tahun 1999 kita sudah bisa mendapat sertifikasinya,” kata Djoko menyesali.
Gatotkaca pun telantar bak rongsokan. Tak diurus PT DI hingga 25 tahun kemudian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memutuskan “menyelamatkan” Gatotkaca dengan memindahkannya dari Bandung ke Jogja. Pada 26 Agustus 2020, pesawat canggih nan nahas itu dipugar dan disarangkan ke Muspusdirla.
“Agar jangan salah persepsi. Kok katanya tragis ditempatkan di museum. Padahal justru di museum ini bisa dilihat oleh semua kalangan. Karena kita (TNI AU) juga punya kaitannya sejak 1946 yang saya ceritakan tadi. Sekarang ini kita rawat agar generasi muda bisa melihat bahwa kita sudah melangkah lebih jauh dalam perkembangan kedirgantaraan,” ujar Dede.
“Kalau di sana (PT DI) mungkin telantar. Kondisi body-nya sudah enggak putih lagi, sudah hitam. Beberapa bagian juga karatan dan jamuran. Sebelum dikirim ke sini, dicat kembali agar kemudian jadi wahana edukasi buat masyarakat. Terlebih sebenarnya kecanggihan N250 ini sampai berapa tahun ke depan enggak akan ketinggalan teknologinya,” imbuhnya.
Keputusan Marsekal Hadi didukung Djoko sebagai salah satu “bidan” yang melahirkan Gatotkaca. Baginya, amat sakit mengenang kenyataan proyek pesawat itu dipaksa terhenti.
“Saya sendiri kalau lewat dekat PT DI, karena saya tinggal di Cimahi, kok merana karena posisinya di luar. Kena panas dan kena hujan. Tapi ya itu faktanya. Jadi dengan dimuseumkan mungkin lebih terawat dan harus bisa dilihat generasi penerus bahwa 25 tahun lalu kita pernah bikin pesawat yang mengguncang dunia,” tandasnya.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris
Tambahkan komentar
Belum ada komentar