Empat Burung Besi yang Dikandangkan
Kecelakaan Ethiopian Airlines dan Lion Air bermuara pada keputusan di-grounded-nya Boeing 737 MAX 8. Bukan kali pertama.
KATA orang, naik pesawat adalah cara terbaik dalam berperjalanan. Beragam statistik membuktikan kebenaran ungkapan itu. Penerbangan lebih aman ketimbang aneka transportasi darat dan laut.
Namun, berbagai kecelakaan penerbangan mengerikan tetap bikin ngeri. Otoritas penerbangan berbagai negara bahkan sampai menyangkarkan pesawat-pesawat tertentu. Seperti yang terjadi pada pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 baru-baru ini.
Pesawat versi kedua varian 737 MAX dengan ciri khas split-tip winglet di kedua sayapnya itu jadi sorotan setelah dua kecelakaan fatal terjadi padanya di Indonesia dan Ethiopia. Dua tragedi tersebut menandakan ada masalah besar dalam pesawat yang terbang pertamakali pada 22 Mei 2017 itu.
Belum dua tahun sejak penerbangan perdananya, Boeing 737 MAX 8 sudah mengalami kecelakaan. Pada 29 Oktober 2018, pesawat bernomor penerbangan JT610 milik maskapai Lion Air dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang jatuh di perairan Karawang. Total 189 orang, kru maupun penumpang, kehilangan nyawa.
Pesawat sejenis milik Ethiopian Airlines bernomor penerbangan ET302 menambah catatan daftar hitam pada Minggu, 10 Maret 2019. Pesawat dengan rute Addis Ababa (Ethiopia)-Nairobi (Kenya) itu jatuh di sebuah desa di Bishoftu, Ethiopia dan menewaskan 157 orang, penumpang maupun kru.
Baca juga: Pesawat Jatuh di Tinombala
Sehari setelah kecelakaan Ethiopian Airlines itu, sejumlah negara dan maskapai penerbangan memutuskan mengandangkan Boeing 737 MAX 8 mereka hingga jangka waktu tertentu. China mempelopori aksi boikot itu dan diikuti Ethiopia, Maroko, Argentina, Brasil, Afrika Selatan, Australia, dan Indonesia.
Sepanjang sejarah, ini bukan kali pertama ada jenis pesawat yang disangkarkan alias dilarang terbang oleh otoritas penerbangan. Ada empat jenis pesawat yang pernah dikandangkan, baik karena tragedi maupun masalah teknis namun belum sampai terjadi kecelakaan, sebagaimana diuraikan di bawah ini:
McDonnell Douglas DC-10
McDonnell Douglas DC-10 milik maskapai American Airlines (Foto: Wikipedia)
Pesawat bermesin tiga ini pernah dikandangkan selama 10 bulan oleh Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (AS) FAA pada 1979. Keputusan FAA itu keluar setelah DC-10 milik American Airlines bernomor penerbangan N110AA jatuh di Des Plaines, Illinois, 25 Mei 1979.
Laporan investigasi Badan Keselamatan Transportasi Nasional AS bertajuk “Chicago DC-10 Accident Findings” tertanggal 21 Desember 1979 mengungkap, pesawat dengan rute Chicago-Los Angeles itu jatuh akibat kerusakan teknis. “DC-10 mengalami gagal mesin, terguling dan jatuh karena rangka sayap kiri rusak dan kehilangan sistem peringatan dua kokpit.”
Akibatnya, 271 orang yang di pesawat dan dua orang lain di darat tewas. Hasil investigasi NTSB menunjukkan, ada kelalaian pemeliharaan. American Airlines pun didenda 500 ribu dolar Amerika plus sertifikat DC-10 ditarik sementara pada 6 Juni 1979. Penarikan sertifikat itu otomatis meng-grounded total 138 DC-10 dari sejumlah maskapai di AS serta melarang 132 DC-10 lain dari maskapai asing masuk ke AS.
Larangan terbang yang ternyata hanya sampai 38 hari itu mengakibatkan kerugian jutaan dolar. “Kerugian (masing-masing maskapai) rata-rata lima juta dolar Amerika per harinya,” ungkap Gary R. Halford dalam Fatigue and Durability of Structural Materials.
McDonnell Douglas MD-80
Pada 2008, ratusan pesawat jenis MD-80 milik beberapa maskapai di AS terpaksa di-grounded FAA. Inspeksi dan audit keselamatan besar-besaran FAA dilakukan pada 26 Maret-12 April 2008 gegara temuan laporan tidak layak terbang dari 43 pesawat milik Southwest Airlines, yang akhirnya didenda FAA 10 juta dolar.
Larangan itu berimbas pada maskapai-maskapai lain yang armadanya bertulangpunggungkan MD-80. Antara lain, American Airlines dan Delta Airlines, yang ternyata juga kedapatan mengoperasikan beberapa pesawat tidak layak terbang.
“Semua 300 pesawat MD-80 American Airlines juga di-grounded oleh FAA sebagai hasil dari audit keselamatan (FAA) dan dinyatakan tidak layak terbang,” ungkap Ted dan Dan Reed dalam American Airlines: US Airways and the Creation of the World’s Largest Airline.
Akibat larangan itu, American Airlines terpaksa membatalkan 5.700 jadwal penerbangan dalam rentang Maret-April dan kena denda 24,2 juta dolar Amerika. Sementara, Delta Airlines urung menggulirkan 275 jadwal penerbangan namun tidak didenda lantaran lebih dulu berinisiatif menginspeksi armadanya tanpa harus ditegur FAA.
Airbus A380
Pesawat Airbus A380 milik maskapai Qantas Australia (Foto: qantas.com)
Setidaknya enam pesawat super-jumbo Airbus A380 milik Qantas Airways terpaksa dikandangkan pada akhir 2010 atas perintah otoritas transportasi Australia. Putusannya berhulu dari insiden pesawat Qantas QF32 (London-Sydney) pada 4 November, yang untungnya tak menyebabkan adanya korban jiwa.
Laporan Biro Keselamatan Transportasi Australia ATSB bernomor AO-2010-089 yang rilis 27 Juni 2013 mengungkap, pesawat A380 itu mengalami gagal mesin saat menembus 7.000 kaki selepas take off dari Bandara Changi, Singapura pasca-transit. Mesin nomor dua rusak, sementara tangki bahan bakar di mesin nomor satu terbakar. Beberapa puing bagian mesin yang rusak bahkan jatuh di perairan Batam, Kepulauan Riau.
Baca juga: Pesawat Delegasi KAA Jatuh di Perairan Natuna
Beruntung, pesawat yang membawa 469 (penumpang dan kru) orang itu bisa kembali untuk mendarat darurat di Changi. Akibatnya, tidak hanya enam pesawat Qantas yang harus di-grounded sampai April 2012, maskapai Lufthansa dan Singapore Airlines juga mengandangkan unit-unit A380 mereka selama beberapa waktu.
A380 yang bermasalah dan akhirnya di-grounded ternyata hanya yang memakai mesin Rolls-Royce Trent 900 sebagaimana milik Qantas. Pesawat A380 yang memakai mesin Engine Alliance GP7200 seperti milik Fly Emirates dan Air France tidak kena larangan. Alhasil, Rolls-Royce merugi dan mesti membayar kompensasi 95 juta dolar Australia kepada Qantas.
Boeing 787 Dreamliner
Rangkaian masalah yang terjadi pada Dreamliner milik beberapa maskapai pada 2013 memaksa FAA memerintahkan grounded total. Insiden pertama terjadi pada Dreamliner milik Japan Airlines (JAL), 8 Januari 2013. Pesawat itu mengalami problem elektronik pada baterainya sehingga mengakibatkan kebakaran pada tangki bahan bakar. Kendati tak ada korban dalam insiden itu, pesawat terpaksa batal takeoff dari Boston menuju Tokyo.
Pada 13 Januari 2013, problem pada Dreamliner milik JAL kembali ditemukan. Otoritas Bandara Narita, Tokyo menemukan kebocoran pada tangki bahan bakar kala menginspeksi pesawat itu.
Insiden-insiden itu memaksa FAA meng-grounded semua pesawat jenis Dreamliner. All Nippon Airlines (ANA) menjadi perusahaan paling banyak menderita kerugian akibat larangan itu lantaran jadi pemesan pertama dan bertulangpunggungkan 17 unit Dreamliner.
“Kerugian ANA setelah di-grounding mencapai 1,1 juta dolar Amerika per hari. FAA baru mencabut sanksi pada 19 April 2013. Dikalikan 50 Dreamliner di semua maskapai, total kerugiannya mencapai 270 juta dolar Amerika,” sebut Richard L. Nolan dalam Executive Team Leadership in the Global Economic and Competitive Environment.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar