Dokter Jerman Populerkan Pengobatan Tradisional Negeri Jajahan
Sempat kehilangan kepercayaan diri saat tiba di Hindia, dokter Eropa ini sukses meneliti pengobatan tradisional. Berperan penting mempopulerkan jamu.
TAK lama setelah tiba di Hindia-Belanda pada 1823 untuk menjalani tugas di Semarang, Friedrich August Carl Waitz baru menyadari ketiadaan bahan-bahan obat yang biasa dia gunakan di Eropa. Dokter asal Jerman itu pun baru menyadari ada penyakit yang baru ia temui di negeri tropis, seperti disentri dan frambusia. Alhasil, ia kelimpungan dan kehilangan kepercayaan diri pada kemampuan medisnya.
Menurut Profesor Hans Pols dari Universitas Sydney dalam artikelnya “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation”, di tahun itu banyak ahli kesehatan Eropa yang mengeluh tentang kondisi medis di Hindia-Belanda. Para dokter kulit putih itu meragukan kemampuan medis mereka karena temuan lapangan berbeda dari yang biasa mereka temui di Eropa. Obat-obatan yang sudah dikirimkan dari Eropa pun tak bisa maksimal lantaran kehilangan khasiat akibat menempuh perjalanan jauh dan penyimpanan yang kurang apik. Para dokter kulit putih, termasuk Waitz, sendiri memprotes penggunaan zat penenang yang berlebihan.
Baca juga: Mevrouw Jans Ahli Jamu Asal Semarang
Akibatnya, banyak penduduk kulit putih terbiasa mengobati sendiri gangguan kesehatan mereka dan cenderung kurang mengandalkan dokter Eropa. Banyak penduduk kulit putih yang tinggal di pedalaman dan jauh dari akses medis modern memilih berobat ke dukun dan belajar tentang jejamuan.
Kala itu, Hindia-Belanda belum punya cukup dokter untuk menjangkau wilayah pedalaman. Untuk mengatasinya, pemerintah mendatangkan banyak dokter dari Eropa. Namun, kenyataan di lapangan justru membuat banyak dokter Eropa mengalami kendala sebagaimana Waitz.
Waitz sendiri kemudian mencari cara untuk mengatasi keresahannya dengan meneliti khasiat tanaman obat untuk dijadikan bahan alternatif yang punya efektivitas setara bahan obat yang dikirim dari Eropa. Lantaran sumber yang mudah dijangkau, Waitz tak perlu meninggalkan Semarang untuk mengumpulkan informasi seputar jamu.
Baca juga: Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno
Mula-mula, ia mengumpulkan informasi dari orang yang biasa ditemuinya sehari-hari, mulai jongos di rumah, tukang jamu, orang di pasar, Tionghoa pemilik toko herbal, sampai ke istri yang dinikahinya dua tahun setelah tiba di Hindia. Pengetahuan umum yang didapat dari mereka itu kemudian diteliti lebih lanjut oleh Waitz menggunakan banyak metode dan ujicoba langsung untuk menemukan tumbuhan mana yang berpotensi manjur. Waitz lalu menjajal pengobatan herbal yang biasa digunakan di Jawa kepada pasiennya maupun dirinya sendiri.
Percobaannya menggunakan jamu sebagai obat modern yang mahal itu kemudian dia bukukan dengan judul Practische Waarnemingen Over Eenige Javaansche Geneesmiddelen (Observasi praktis pada pengobatan Jawa). Dalam penyusunan buku itu, menurut Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market menjelaskan, Waitz juga meneliti cara para dukun menyembuhkan, baik dengan menyaksikan langsung atau mendengarkan dari orang lain. Waitz mencatat, dukun mula-mula menebak penyakit pasien berdasar gejala. Bila penyakit sudah ketemu, dukun itu akan membalurkan obat herbal sambil mengucap mantra dan meresepkan jamu untuk diminum.
Baca juga: Melacak Jejak Dukun Beranak
Meski Waitz punya kritik pada keahlian para dukun, ia tetap menghargai kemampuan mereka. Waitz memilih kata dokter untuk menyebut dukun dan memberi gambaran yang amat hati-hati tentang metode penyembuhan tradisional. Waitz tidak memasukkan unsur magis dalam bukunya sehingga para dokter di Hindia-Belanda menjadikannya pegangan ilmiah tentang tanaman obat lokal. Prestasi ini membuat Waitz jadi dokter ternama pada abad ke-19.
Sebelum Waitz, beberapa ahli botani juga sudah meneliti tentang tanaman obat. Misalnya, dokter pribadi JP Coen bernama Jacobus Bontius. Ia merupakan dokter lulusan Leiden yang datang ke Batavia pada 1627. Bontius selalu menyarankan Coen untuk rajin minum ramuan obat. Contoh lain ialah Georgius Everhardus Rumphius, yang menyusun enam volume Herbarium Amboinense. Karya Rumphius yang memperkenalkan tanaman obat dan jamu pada dunia medis Barat itu jadi buku babon bagi peneliti Eropa hingga abad ke-20.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar