Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno
Bagaimana mengobati penyakit pada zaman kuno? Sembarangan mengobati bisa dihukum mati.
Sanjaya dalam waktu yang lama menderita karena sakit panas. Badannya lemah, lemas, dan kehabisan tenaga. Guru atau pembimbing raja tak dapat menyembuhkannya. Maka setelah penderitaan itu dan kesedihannya selama delapan hari, dia pun masuk surga.
Anaknya, Śaṅkara, setelah ayahnya meninggal lagi-lagi dia tak sadarkan diri. Dia yang karena takut kepada guru ayahnya yang dianggapnya tidak benar dan mengingat janjinya kepada mendiang ayahnya, lalu meninggalkan kebaktian kepada Dewa Siwa dan yang lain-lain. Dia pun menjadi penganut Buddha Mahayana.
Demikian kisah dalam Prasasti Śaṅkara yang menurut Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, sangat mungkin berasal dari pertengahan abad ke-8. Raja Sanjaya wafat karena sakit panas yang dideritanya tak mampu disembuhkan.
Penanganan penyakit pada zaman kuno cukup banyak petunjuknya. Misalnya, adegan-adegan praktik pengobatan dimunculkan, di antaranya dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur.
Baca juga: Penyakit yang Ditakuti pada Zaman Majapahit
Dalam salah satu relief, seorang lelaki nampaknya sakit cukup parah sampai harus ditangani beberapa orang. Ada yang memegang kepalanya, mungkin sedang memijat. Beberapa yang lain memegang lengan dan kakinya. Sementara orang-orang di sekitarnya nampak sedih.
Di panil lainnya, seorang laki-laki lainnya juga sedang diberi pertolongan. Kepalanya dipijat. Perut dan dadanya digosok. Seorang perempuan memegangi obat untuknya.
Ada lagi dalam panil lainnya, dua lelaki yang sepertinya sakit kepala. Kepalanya tengah dipijat. Laki-laki lainnya yang juga terlihat sakit sedang dirawat seorang perempuan yang memegang lengannya.
Beberapa jenis penyakit disebutkan dalam prasasti. Prasasti Wiharu II (851 Saka atau 929) menyebutkan ada orang yang meninggal dunia karena perutnya membengkak (matya busunga) dan adanya penderita ayan (ayana).
Kendati dalam prasasti tak jelas bagaimana proses mengobati penyakit itu, paling tidak bisa diketahui kepada siapa orang Jawa Kuno mengadu ketika merasa tak enak badan. Berbagai profesi yang dihubungkan dengan dunia kesehatan disebutkan dalam beberapa prasasti.
Dalam Prasasti Balawi (1305) muncul istilah tuha nambi, yang artinya tukang obat. Kemudian terdapat istilah kdi (dukun wanita) dan walyan (tabib).
Profesi tuha nambi juga muncul dalam Prasasti Sidoteka (1323). Prasasti ini juga menyebut wli tamba atau orang yang mengobati penyakit.
Sedangkan dalam Prasasti Bendosari (1360) disebutkan keberadaan tabib desa atau disebut janggan.
Adapun padadah atau pemijatan mungkin merujuk pada tukang pijat, yang menurut Prasasti Biluluk dari masa Hayam Wuruk adalah salah satu pekerjaan yang dibebaskan dari segala macam bea cukai. Dari masa Majapahit lainnya, ada Prasasti Madhawapura, yang menyebut profesi penjual jamu (acaraki).
Penanganan penyakit disebutkan singkat di Pararaton. Jayanagara menderita penyakit, yang oleh Sejarawan Kanada, Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni, diartikan sebagai tumor yang membuat sang raja sulit bergerak. Tanca diantar ke kamar tidur raja untuk menyembuhkannya. Setelah beberapa kali mencoba membedah raja tetapi gagal terus. Akhirnya operasi berhasil setelah sang prabu menanggalkan pelindungnya.
Selain lewat operasi, penyakit pada masa itu salah satunya disembuhkan dengan obat. Dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU, epigraf Riboet Darmosoetopo mencatat kalau pada masa Jawa Kuno, obat-obatan dan kosmetika sudah diperhatikan. Mereka terutama memanfaatkan beberapa tumbuhan, di antaranya buah jana, buah maja, buah jujube, pulai, dan buah mengkudu. Di antara itu ada obat yang bentuknya berupa bedak.
“Orang sakit influenza cukup dibedaki hidungnya,” jelas Riboet.
Baca juga: Bersin dan Penyakit Pes
Rupanya kewenangan mengobati orang sakit pada masa lalu pun tak sembarangan. Dalam Kitab Agama diatur jika ada orang yang mengobati tanpa memiliki pengetahuan tentang obat-obatan, tanpa banyak mengetahui mantra, tanpa mengetahui soal penyakit, tetapi hanya menghendaki hadiah dari orang yang sakit, orang itu akan diperlakukan bagai seorang pencuri.
“Pengobatan semacam itu tak akan berhasil,” sebut undang-undang dari masa Majapahit itu.
Hukuman berat justru menantinya. Jika dia mengobati binatang, dan binantangnya mati, pelakunya mesti didenda empat kali tiga atak. Sementara jika manusia yang dia obati, dan malah tak sembuh tetapi kemudian mati, dendanya selaksa. Lalu jika yang diobati seorang brahmana yang kemudian mati, dia bakal diganjar hukuman mati oleh raja yang berkuasa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar