Sumitro Cemburu pada Simatupang
Meski sama-sama memperjuangkan kedaulatan Indonesia dalam perundingan KMB, Sumitro tidak seberuntung Simatupang. Namun, kiprah Sumitro dalam pemerintahan jauh lebih panjang daripada Simatupang.
SUMITRO Djojohadikusumo dan Kolonel Tahi Bonar Simatupang adalah dua anggota delegasi Indonesia paling muda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam konferensi yang digelar pada akhir 1949 di Den Haag, Belanda itu, Sumitro berusia 32 tahun sedangkan Simatupang 29 tahun. KMB menjadi puncak dari perundingan-perundingan sebelumnya antara Belanda dan Indonesia sekaligus akhir dari sengketa antara kedua negara.
Selain paling muda, Sumitro dan Simatupang juga merupakan anggota delegasi yang paling radikal. Sebagai seorang ekonom, Sumitro menjadi ketua komisi bidang ekonomi-keuangan. Sementara itu, Simatupang mengurusi soal-soal yang berkaitan dengan militer dan angkatan perang. Dalam perundingan KMB, Simatupang lebih gemilang memuluskan misinya ketika berhadapan dengan para anggota delegasi Belanda. Moncernya diplomasi Simatupang itu disaksikan Rosihan Anwar, wartawan yang turut meliput jalannya perundingan KMB.
“Suatu keputusan strategis berhasil diperjuangkan oleh anggota-anggota Delegasi RI, dr. J. Leimena dan Kol. T.B. Simatupang, di Komisi Militer KMB. Yakni, satu-satunya organisasi militer resmi di RIS adalah TNI. Tentara Belanda harus dipulangkan secepatnya dan KNIL dibubarkan dalam waktu enam bulan,” catat Rosihan dalam Sutan Sjarir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya.
Bila Simatupang mendulang sukses untuk kepentingan militer Indonesia dalam KMB, maka sebaliknya dengan apa yang dialami Sumitro. Dalam kesepakatan ekonomi dan keuangan, sebesar 4,3 miliar gulden dibebankan sebagai utang kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Utang tersebut berasal dari pengeluaran koloni Hindia Belanda, termasuk utang luar negeri sebelum perang.
Bagi ekonom kawakan seperti Sumitro, angka itu terbilang konyol. Lagipula, sebagian dari nominal tersebut digunakan untuk membiayai Agresi Militer Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, justru Belanda yang berutang kepada Indonesia. Perhitungan itu dirinci atas kerugian sebesar 2,2 miliar gulden yang ditimbulkan dari operasi militer Belanda di Indonesia. Sementara itu, pemerintah Indonesia berutang sebesar 1,7 miliar gulden kepada Belanda. Hasilnya, Belanda masih memiliki kelebihan utang sebesar 540 juta gulden.
Tapi, apa boleh buat. Perundingan terancam macet apabila kedua pihak sama-sama bersikukuh perkara utang-piutang ini. Bisa-bisa delegasi Indonesia pulang dengan tangan kosong dan perang dengan Belanda terus berlanjut. Toh, penyerahan kedaulatan sudah di depan mata. Di akhir perundingan, pihak Indonesia berkewajiban membayar utang kepada Belanda sebagai kesepakatan dalam klausul bidang ekonomi dan keuangan. Dibandingkan tentang kesepakatan politik, sosial, dan budaya, persoalan ekonomi-keuangan lebih banyak merugikan Indonesia.
Baca juga: Harga untuk Kemerdekaan Indonesia
Sumitro sempat terlibat silang pendapat dengan Mohammad Hatta, ketua delegasi Indonesia merangkap perdana menteri. Selain masalah utang, Sumitro juga keberatan dengan putusan penetapan De Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi untuk RIS. DJB telah menjadi bank sirkulasi sejak era Hindia Belanda untuk mencetak dan mengedarkan uang gulden di negeri koloni itu. Sumitro menekankan bahwa Bank Nasional Indonesia (BNI) lebih berhak menjadi bank sirkulasi karena bank tersebut didirikan untuk keperluan bank sirkulasi bagi Republik.
Penetapan DJB berkaitan dengan kesepakatan mengenai jumlah dan pembayaran utang RIS kepada Belanda yang mencapai Rp.4,765 miliar. Melalui DJB, pemerintah Belanda ingin memastikan utang tersebut dibayar lunas oleh pemerintah Indonesia. Sumitro menyimpulkan utang itu sebagai akal-akalan Belanda untuk mempertahankan pengaruhnya dalam banyak segi kebjakan ekonomi dan perdagangan. Satu-satunya alasan penerimaan keputusan itu dikemukan oleh Bung Hatta, bahwa DJB punya infrastuktur serta fasilitas yang lebih memadai daripada BNI.
“Mereka (Belanda) mau mempertahankan pertambangan timah sebagai agunan, dan mereka mau mengoperasikan Bank Sentral. Saya tidak melihat alasan kenapa kita harus menanggung utang tantara pendudukan,” ungkap Sumitro dalam Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an suntingan Thee Kian Wie.
Baca juga: Di Sekitar Nasionalisasi Bank Sentral
Seperti Sumitro, putusan KMB yang banyak merugikan di bidang ekonomi-keuangan ditolak oleh Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sutan Sjahrir. Dalam Sidang Badan Pekerja KNIP, PSI menyuakan kritiknya terhadap hasil-hasil kesepakatan KMB. Di luar persoalan utang piutang dan penetapan DJB sebagai bank sentral, Sumitro juga tak puas dengan penundaan penyelesaian status wilayah Irian Barat. Atas sejumlah hasil yang mengecewakan dalam keterlibatannya di KMB, Sumitro tampaknya cemburu dengan pencapaian Simatupang.
“Mengenai peran Bank Sentral, saya menginginkan BNI menjadi Bank Sentral, itu adalah bank kita sendiri. Seperti Simatupang menginginkan tantara Republik menjadi TNI, jadi bukan KNIL, begitulah saya menginginkan BNI menjadi Bank Sentral. Simatupang berhasil, sedangkan saya tidak! Betapapun primitifnya TNI, ia adalah tantara kita! Sama juga dengan BNI. Saya merasa, itu adalah bank kita,” tutur Sumitro masih dalam Pelaku Berkisah.
Ditinjau dari kesepakatan finansial dan ekonomi yang banyak merugikan, Indonesia seolah menjadi pihak yang kalah dalam KMB. Namun, menurut Agus Setiawan, dkk, dalam Konferensi Meja Bundar: Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia, KMB sesungghnya jadi batu loncatan yang membuka jalan bagi perjuangan selanjutnya untuk menasionalisasi DJB. Selepas KMB, pemerintah Indonesia menerima penyerahan kedaulatan dari Belanda. Pada saat yang sama, terjadi eskalasi politik yang menentukan di dalam negeri. RIS dibubarkan, massa berunjuk rasa dominasi Belanda di bidang ekonomi, dan Belanda menolak membicarakan masalah Irian Barat. Akumulasi semua masalah itu kian memperkuat sentimen anti-Belanda di Indonesia.
Baca juga: Menyoal Papua dan Utang Warisan Belanda
Sumitro yang menjabat sebagai menteri perdagangan dan industri dalam Kabinet Natsir mendapatkan momentum menebus kegagalannya dalam KMB. Bersama Jusuf Wibisono, anggota parlemen dari Masyumi, Sumitro konsisten mendukung gagasan nasionalisasi DJB. Namun, gagasan itu baru terwujud di masa Kabinet Sukiman pada 1952, ketika Jusuf Wibisono menjabat menteri keuangan. DJB dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Sumitro sempat diusulkan menjadi pemimpin Bank Indonesia. Namun, atas pertimbangan politis, Sjafruddin Prawira Negara yang diangkat menjadi gubernur Bank Indonesia pertama.
“Ketika ditanya wartawan mengapa tidak jadi mengangkat Sumitro dan justru mengangkat Sjafruddin sebagai Presiden DJB, Jusuf Wibisono menjawab dengan singkat bahwa dirinya taat pada putusan partai dan faktanya Partai Masyumi memang mengusulkan pencalonan Sjafruddin,” catat Agus Setiawan, dkk.
Sumitro kemudian menjabat menteri keuangan pada Kabinet Wilopo (1952—1953) dan Kabinet Burhanddin Harahap (1955—1956). Sementara itu, karier militer Simatupang meredup setelah Peristiwa 17 Oktober 1952. Seperti Simatupang, Sumitro juga bertentangan dengan Presiden Sukarno. Simatupang pensiun dini pada 1959, sedangkan Sumitro menjalani masa pelarian karena terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Di masa Orde Baru. Sumitro kembali menorehkan jejaknya dalam pemerintahan. Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai menteri perdagangan pada Kabinet Pembangunan I (1968—1973) dan kemudian menteri riset dan teknologi pada Kabinet Pembangunan II (1973—1978). Putra tertua Sumitro, Prabowo Subianto, kemudian melampaui jejak Sumitro. Jenderal (Hor.) Prabowo Subianto sebentar lagi akan dilantik menjadi presiden RI ke-8.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar