Di Sekitar Nasionalisasi Bank Sentral
Menguak rumitnya negosiasi ekonomi dalam KMB hingga gebrakan nasionalisasi Bank Indonesia sebagai simbol kedaulatan ekonomi dan moneter.
HAL-hal bersifat seremonial dan risalah-risalah di akhir perundingan panjang Konferensi Meja Bundar (KMB) sudah disinggung banyak riset dan buku. Namun perihal alotnya negosiasi di sejumlah komisi, masih sangat jarang. Terlebih di komisi yang merundingkan bidang ekonomi dan moneter.
Agus Setiawan dkk. dalam buku Konferensi Meja Bundar: Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia (2023) mencoba menelusuri detailnya. Saat menghadapi negosiasi KMB yang berlangsung dari 23 Agustus-2 November 1949 hingga akhirnya diratifikasi pada 27 Desember 1949 oleh delegasi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda, delegasi Indonesia yang diketuai Moh. Hatta mengikutsertakan sembilan tokoh. Mereka memiliki misi di masing-masing bidang: Mr (meester in de rechten) Mohammad Roem, Prof. Dr. Soepomo, Dr. Johannes Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Soejono Hadinoto, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Dr. Moewardi, Kolonel TB Simatupang, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Setiap pembicaraan antarpihak untuk membuat draf perjanjiannya diadakan dalam ruangan tertutup tanpa bisa diliput media-media internasional.
Dalam bedah buku yang digelar Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (PPKB FIB UI) secara hibrid di Auditorium FIB UI dan secara daring via Zoom Meeting dan kanal Youtube PPKB FIB UI, Senin (20/5/2024), Agus mengungkapkan hanya ada beberapa dokumen atau arsip yang bisa membantu merekonstruksi rumitnya perundingan tiap komisi. Terlebih soal utang yang harus dibayar Indonesia kepada Belanda, di komisi bidang ekonomi yang diwakili ekonom Sumitro Djojohadikusumo.
“Versi Belanda menurut mereka hutangnya (yang harus dibayar) 5,6 miliar gulden. Itu yang akhirnya diminta (pihak mediator Amerika Serikat) dikurangi. Kalau kita lihat objektif, Agresi Militer I (Juli 1947) dan Agresi II (19 Desember 1948) menghabiskan jutaan dolar yang ironisnya separuhnya berasal dari (bantuan Amerika) Marshall Plan,” ujar Agus.
Baca juga: Harga untuk Pengakuan Kedaulatan Indonesia
Negosiasi soal persepsi utang, jumlah utang, hingga bagaimana utang itu dibayar jadi salah satu penyebab perundingan KMB itu berlangsung lebih lama dan bahkan sempat terjadi deadlock sebelum akhirnya disetujui pada 2 November 1949. Pasalnya, menurut Agus, KMB menjadi akumulasi berbagai permasalahan dari perjanjian-perjanjian sebelumnya yang belum menemukan solusinya, mulai dari Perjanjian Linggarjati (15 November 1946) hingga Perjanjian Roem-Roijen (7 Mei 1949).
“Prof. Sumitro melihat Marshall Plan yang mestinya digunakan untuk membangun (pasca-Perang Dunia II) tapi digunakan dalam Agresi I dan II, mestinya bukan kita yang membayar. Karena enggak masuk logika karena militer Belanda dibiayai Marshall Plan untuk menyerang kita sementara uang itu harus kita kembalikan. Makanya kalau kita baca biografinya Pak Sumitro, beliau itu kecewa dan sedikit iri dengan Pak Simatupang yang berhasil menggolkan misinya, padahal Pak Sumitro dengan hitung-hitungannya sudah tepat (perihal utang),” lanjutnya.
Meski harus membayar utang dengan mahal, KMB di sisi lain amat krusial karena jadi salah satu faktor pendorong yang membuka jalan kedaulatan secara ekonomi. Ini pula yang turut dikaji dalam buku tersebut melalui pengungkapan Perjanjian Finec antara pihak Indonesia dan Belanda di dalam KMB terkait konsesi perusahaan-perusahaan Belanda dan bank sentral, De Javasche Bank (DJB).
“Dalam KMB kita terpaksa menelah pil pahit memang, (dari) pengoperan kewajiban utang Belanda, seluruh perkebunan dan pertambangan yang pernah dirampas masyarakat luas saat revolusi (kemerdekaan) harus dikembalikan. DJB saat itu juga hanya fokus membantu kegiatan (konsesi) ‘The Big 5’ perusahaan-perusahaan Belanda sehingga praktis kita melihat dalam buku ini bagaimana tidak imbangnya pengambilan kekuasaan di bidang ekonomi dan keuangan,” timpal guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Prof. Dorojatun Kuntjoro-Jakti.
Baca juga: Peran Bank Indonesia di Masa Lalu
Oleh karenanya, ketika Presiden Sukarno memberanikan diri melakukan nasionalisasi DJB menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral republik pada 1953, itu menjadi langkah yang begitu berani. Terlebih di masa-masa awal republik, belum banyak ahli ekonomi sebagai sumber daya manusia (SDM) yang laik membangun moneter.
“Kita belum memiliki banyak ekonom saat nasionalisasi BI. Sebagian terbesar (tokoh) adalah insinyur atau meester in de rechten. Makanya di awal nasionalisasi dipenuhi peranan dari para meester in de rechten, para SH (sarjana hukum, red.). Jadi ada kesulitan ketika kita memulai perjalanan BI karena kondisi sarana dan prasarana pun dari (warisan) kolonial hanya 40 persen karena (hancur) pada pendudukan Jepang dan kita juga melakukan bumi hangus,” lanjut duta besar RI untuk Amerika periode 1998-2001 dan menko perekonomian periode 2001-2004 itu.
Kesulitan tersebut masih ditambah dengan masalah-masalah lain. Semisal aspek keamanan, yang diwarnai gerakan perlawanan bersenjata di berbagai daerah.
“Belum lagi situasi (faktor internal) kondisi keuangan yang kacau, konflik pemberontakan dan Cold War (Perang Dingin), di mana melihat lingkungan internasional saat menasionalisasi BI dengan berani ini penting diperhatikan. Karena pada saat terjadi Perang Korea (1950-1953) untuk pertamakalinya juga kita mengalami Indonesia (ekonomi) boom karena harga karet meningkat dengan cepatnya,” tambah Dorojatun.
Baca juga: Menghapus Warisan Kolonial
Guru besar Hubungan Internasional UI Prof. Evi Fitriani juga melihat bahwa buku tersebut cukup dalam dan lengkap dalam menyibak detail dan insight di sekitar KMB dan nasionalisasi BI yang bisa memperkuat argumentasi para akademisi untuk melihat peristiwa-peristiwa internasional. Apalagi nasionalisasi BI sebagai simbol kedaulatan ekonomi dan moneter secara langsung juga membuat Indonesia punya arah kebijakan luar negeri yang independen.
“Seperti negara-negara bekas jajahan lain yang masih masuk dalam commonwealth (Inggris) seperti India, Singapura, Australia, Malaysia memang sistem kebijakan kolonial (Inggris) lebih akomodatif ketimbang Belanda yang eksploitatif. Dengan nasionalisasi, kita memutus (sistem kolonial) dan itulah mengapa kita bisa lebih (berkebijakan luar negeri) bebas aktif ketimbang negara-negara commonwealth atau persemakmuran yang masih pro-Barat sampai hari ini. Sementara kita lebih independen menentukan kebijakan luar negeri kita,” ungkap Evi.
Insight lain yang dikemukakan buku itu, menurut Evi, adalah konsekuensi ekonomi dari berbagai peristiwa politik, baik dalam kondisi perang maupun damai. Kekuatan suatu negara saat ini tidak hanya bersandarkan hard power berupa kekuatan militer tapi juga ekonomi sebagai soft power-nya.
“Kedaulatan moneter sudah dilakukan dengan nasionalisasi BI, lalu dampaknya apa? Kalau kita masih bergantung pada negara-negara lain, berarti kita berada dalam kondisi yang sama pada saat KMB. Secara legal kita punya independensi ekonomi tapi secara de facto berapa besar ekonomi kita saat ini dikuasai kekuatan-kekuatan besar?” imbuhnya.
Baca juga: Berkaca pada Ekonomi Kerakyatan Bung Hatta
Pada akhirnya, menurut Prof. Evi, buku itu juga bisa jadi refleksi,. Lewat perjuangan KMB dan nasionalisasi BI, jangan sampai Indoensia secara militer dan teritorial berdaulat tapi secara ekonomi masih terpuruk dan masih tidak punya kontrol. Bukan menyalahkan investasi asing tapi ketidakmampuan men-challenge, membuat inovasi, dan memproduksi barang yang berkualitas.
“Sekarang ekspor Indonesia apa? Kita cuma ekspor garmen (selain) raw materials yang enggak diproduksi. Amerika sudah banyak membuat (ekspor) pesawat, China sudah membuat satelit, masak kita masih buat kaus kaki sama sepatu? Maka jangan salahkan juga negara-negara besar mengontrol ekonomi kita karena kita yang (penduduknya) 250 juta ini ternyata tidak cukup kuat punya inovasi dan teknologi advance. Masih sibuk sama diri kita sendiri gontok-gontokan di dalam negeri sementara kompetitif ekonomi kita masih lemah,” tandasnya.
Baca juga: Dua Abad Ekonomi Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar