Peran Bank Indonesia di Masa Lalu
Bank Indonesia tersebar di banyak daerah. Perlu strategi baru untuk menghadapi tantangan di masa depan dengan masih adanya perbedaan harga di berbagai daerah yang membutuhkan cara berbeda-beda.
Seminar nasional “Sejarah Bank Indonesia: Peran Bank Indonesia di Daerah: Dulu dan Kini” digelar di Museum Bank Indonesia, Rabu, 26 Juli 2023. Hadir dalam seminar ini mantan Gubernur Bank Indonesia (periode 2003-2008) Burhanuddin Abdullah.
“Peran bank sentral yang sangat mudah dikenal orang adalah penciptaan/pencetakan uang dan tugas untuk menjaga nilainya, mengatur jumlah uang beredar dalam perekonomian agar inflasi/deflasi tetap dalam batas yang dapat diterima,” kata Burhanuddin dalam paparannya.
Kendati merupakan bank sentral di Indonesia, Bank Indonesia (BI) tentu bukan benda mati yang tidak berubah. Berubahnya peran dan fungsi BI, kata Burhanuddin melanjutkan, adalah cerminan perubahan lingkungan ekonomi, politik, dan keuangan di negara ini.
Peran itu telah dimainkan BI sejak kehadirannya. Sejarah Bank Indonesia berakar dari De Javasche Bank (DJB) yang muncul hampir dua abad silam di Hindia Belanda.
“Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia yang merupakan kelanjutan dari pada De Javasche Bank,” catat Susatyo Reksodiprodjo dalam Pengantar Ekonomi Bank dan Kredit.
DJB punya banyak cabang di berbagai daerah di Hindia Belanda. Hal itu disebabkan karena selain sebagai bank sirkulasi, DJB juga sebagai bank umum. Cabang-cabang itu mendistribusikan uang kertas dan menyediakan layanan perbankan kepada masyarakat dan perusahaan.
“Peran cabang-cabangnya sangat penting dalam mendukung fungsi dan aktivitas perbankan di wilayah Hindia Belanda,” sambung Burhanuddin.
Saat Perang Kemerdekaan Indonesia pecah, fungsi bank sentral DJB diambilalih Bank Negara Indonesia 1946. Namun, itu hanya berlangsung selama sekitar tiga tahun.
“Peranan sebagai bank sentral itu dilakukan oleh BNI 1946 sampai tahun 1949. Kemudian, dalam pertemuan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda 1949, De Javasche Bank disepakati sebagai bank sentral oleh pemerintah Indonesia dan Belanda pada saat itu, sedangkan BNI 1946 berubah menjadi bank pembangunan,” tulis Jimly Asshiddiqie dalam Konstitusi Ekonomi.
Penunjukan DJB sebagai bank sentral erat kaitannya dengan politik-ekonomi yang dimainkan Belanda di Indonesia. DJB menjadi satu wahana Belanda untuk campur tangan dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, ia seperti “duri dalam daging” bagi Indonesia.
“Keputusan penunjukan De Javasche Bank sebagai bank sentral adalah sebagai salah satu upaya Belanda untuk campur tangan urusan keuangan Indonesia. Apalagi bank dimaksud sangat bergantung pada pemerintah Belanda. Dengan begitu, ia dapat menjadi alat campur tangan pemerintah Belanda dalam perekonomian Indonesia. Itulah antara lain yang kemudian mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan nasionalisasi De Javasche Bank dengan segera. Pada waktu itu nasionalisasi memang sudah merupakan kecenderungan umum kebijakan pemerintah Indonesia. Kehendak pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank tersebut disampaikan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo pada tanggal 28 Mei 1951 kepada Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat),” tulis Rachmadi Usman, dosen di FH Universitas Lambung Mangkurat, dalam Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia.
Dimulai dari pembentukan Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank dengan berdasar pada Keputusan Pemerintah No. 118 Tahun 1951, proses nasionalisasi DJB akhirnya berhasil dengan lancar. DJB lalu diganti namanya menjadi Bank Indonesia yang difungsikan sebagai bank sentral (sirkulasi) berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia.
Di masa depan, Bank Indonesia punya tantangan di daerah. Menurut Aditya Wardhana, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, konsentrasi ekonomi Indonesia masih berfokus di Jawa dan masih berbasis Sumber Daya Alam (SDA), bukan Sumber Daya Manusia (SDM). Itu rentan terhadap shock external (gangguan dari luar). Perbedaan harga antara daerah satu dengan daerah yang lain memerlukan strategi stabilitas harga yang berbada-beda pula.
Bersamaan dengan seminar ini, diadakan pula peluncuran buku Menangkap Peluang di Tanah Wenang: Perkembangan Sosial-Ekonomi dan Bank Indonesia di Sulawesi Utara (2023). Buku ini merupakan satu dari beberapa buku serial sejarah dan heritage yang dirilis Bank Indonesia Institute.
Buku ini memang menggambarkan kondisi ekonomi Sulawesi Utara (Sulut) di masa lalu, mulai dari zaman perdagangan rempah saat Sulut dikenal sebagai penghasil kopra, masa “boom” cengkeh, hingga sekarang. Apa yang menarik tentang cengkeh adalah munculnya cengkeh sebagai komoditas baru di Sulawesi Utara, menurut buku ini, “secara perlahan mulai membebaskan petani Sulawesi Utara dari jeratan kemiskinan.”
Harga cengkeh yang bagus bagi petani membuat banyak orang Minahasa atau orang Manado punya mobil. Multiplier effect yang ditimbulkannya dinikmati berbagai pihak, tak terkecuali pengusaha non-pertanian. Pengusaha otomotif Soebronto Laras, salah satunya. Dalam biografinya yang berjudul Meretas Dunia Automotif Indonesia, Soebronto menyebut harga cengkeh yang tinggi membuat penjualan Suzuki Carry meningkat di Sulawesi Utara.
Di Sulawesi Utara juga terdapat cabang Bank Indonesia. Semasa DJB, kantornya terdapat di pusat kota lama Manado dekat pelabuhan yang menghadap ke Teluk Manado. Gedung kantornya, seperti disebut buku Menangkap Peluang di Tanah Wenang, dibangun oleh arsitek Eduard HGH Cuypers dan MJ Hulswit. Gedung yang mulai dibangun sejak Januari 1910 itu resmi dipakai sejak 9 September 1910. Pernah dijadikan kantor oleh Nanpo Kaihatsu semasa pendudukan Jepang, gedung itu dijadikan kantor perwakilan BI Sulut setelah zaman Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar