Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional
Usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Sultan Hamid II menimbulkan kontroversi. Bukan hanya soal sejarah, tapi juga urusan politik.
Nama Sultan Hamid II atau Sultan Syarif Hamid Alkadrie dari Kesultanan Pontianak kini tengah ramai diperbincangkan. Musababnya, muncul perseteruan antara Kesultanan Pontianak dengan A.M. Hendropriyono yang bermula dari komentar Hendropriyono tentang Sultan Hamid II.
Dalam sebuah video yang diunggah di saluran Youtube Agama Akal TV, Hendropriyono menyebut bahwa Sultan Hamid II adalah seorang pengkhianat, alih-alih seorang pahlawan. Ia juga menyebut bahwa Sultan Hamid bukanlah perancang lambang negara Garuda Pancasila.
Sementara itu, pihak Kesultanan Pontianak yang kini tengah mengusahakan gelar Pahlawan Nasional bagi Sultan Hamid II geram. Kesultanan Pontianak kemudian melaporkan Hendropriyono ke Polda Kalimantan Barat terkait dugaan pencemaran nama baik.
Polemik Sejarah
Sultan Hamid II adalah sultan ke-7 (1945–1978) dari Kesultanan Qadriyah Pontianak. Lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913 dari pasangan sultan ke-6 Syarif Muhammad Al-Qadrie dan Syecha Jamilah Syarwani.
Hamid mendapat pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Lalu melanjutkan ke Hogeere Burger School (HBS) di Bandung dan HBS V di Malang. Kemudian sempat ke Technische Hooge School (THS) –sekarang Institut Teknologi Bandung– namun kemudian lebih memilih Akademi Militer Belanda (Koninklijke Militaire Academie) di Breda, Belanda.
Lulus pada 1938, Hamid bergabung dengan Koninklijke Nederlandsche Indische Leger (KNIL) dan bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya. Ia pernah ditahan Jepang selama 3,5 tahun di Jakarta.
Pasca kemerdekaan, Hamid dilantik menjadi sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak pada 29 Oktober 1945. Kemudian pada 1946, ia naik pangkat menjadi mayor jenderal dan menjadi ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina.
Baca juga: Akrobat Gagal Sultan Hamid II
Anshari Dimyati, Direktur Eksekutif Yayasan Sultan Hamid II dalam webinar nasional “Sultan Hamid II, Pengkhianat atau Pahlawan?” pada 21 Juni 2020 menyebut Sultan Hamid II memiliki banyak peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah perundingan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun, ia menyayangkan, peran itu justru dinafikan karena Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk sejak penyerahan kedaulatan pada KMB itu tidak dilihat secara utuh sebagai mata rantai sejarah bentuk negara Indonesia.
“Pertanyaannya kemudian hari ini, sejarawan-sejarawan yang menolak bahwa Sultan Hamid II itu berperan terhadap kedaulatan tersebut, apakah RIS ini, Republik Indonesia Serikat ini merupakan negara ilegal? Kan tidak,” kata Anshari.
Jasa lain Hamid yang memunculkan kontroversi adalah rancangan logo elang rajawali Garuda Pancasila. Dalam sayembara merancang lambang negara, karyanya dipilih dan ditetapkan sebagai lambang negara RIS pada 11 Februari 1950. Gambarnya kemudian mengalami beberapa kali perbaikan dan jadilah Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara Republik Indonesia sekarang.
Baca juga: Garuda Sebelum Jadi Lambang Negara
“Beliau sebagai perancang lambang negara itu tidak bisa dinafikan. Tidak dapat dibantah. Bertahun-tahun kami melakukan penelitian dan sudah diuji oleh banyak guru besar dan kemudian sudah diakui sebagai benda cagar budaya peringkat nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2015,” ujar Anshari.
Hamid ditangkap pada 5 April 1950 atas tuduhan berniat menyuruh Westerling dan Frans Najoan menyerbu Dewan Menteri RIS dan menembak mati tiga pejabat pemerintah. Hamid diadili dan pada 8 April 1953 Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun.
Hamid dibebaskan pada 1958 dan tak lagi berpolitik. Namun, pada Maret 1962, ia kembali ditangkap dan dipenjara di Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur atas tuduhan makar dan membentuk VOC (Vrijwillige Ondergrondsche Corps). Hamid baru bebas pada 1966 setelah Sukarno lengser.
Baca juga: Aksi Westerling, Ratu Adil dari Istanbul
Narasi terkait Westerling itu dibantah Anshari. Menurutnya, ada sentimen sejarah dari para peneliti dan pengkaji gelar pahlawan di tingkat pusat. Ia menjelaskan bahwa dakwaan primer Jaksa Agung Suprapto pada 1953 tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa Hamid terlibat Westerling.
“Sultan Hamid II tidak terlibat Westerling. Apa buktinya? Kita lihat putusan Mahkamah Agung, baca betul-betul. Saya kira ini sentimen sejarah yang tidak bijak dibaca oleh orang-orang yang ada di tim peneliti dan pengkaji gelar di tingkat pusat atau TP2GP,” sebut Anshari.
Politik Kepahlawanan
Sejarawan J.J. Rizal lebih menyoroti mengenai kontroversi gelar Pahlawan Nasional yang sering terjadi Indonesia. Di mana persoalan gelar Pahlawan Nasional bukan hanya perihal sejarah, melainkan juga politik. Ia mencontohkan misalnya, pada 2004 muncul kontroversi kepahlawanan Sultan Hasanuddin setelah terbit buku biografi The Heritage of Arung Palaka yang ditulis oleh Leonard Y. Andaya.
Dalam buku itu, digambarkan bahwa kejatuhan Sultan Hasanuddin dirayakan besar-besaran oleh masyarakat Bone karena dianggap sebagai kejatuhan seorang diktator. Padahal Sultan Hasanuddin telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada era Sukarno. Wacana kepahlawanan Sultan Hasanuddin pun menjadi polemik.
Kemudian polemik terjadi pula pada 2007 tentang kepahlawanan Imam Bonjol setelah terbit cetak ulang buku Tuanku Rao yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan dan Greget Tuanku Rao dari Basyral Hamidy Harahap. Dari situ, muncul kritik keras terhadap kepahlawanan Imam Bonjol karena dianggap menggunakan kekerasan secara masif di Minangkabau dan Batak.
Baca juga: Coreng Moreng Anugerah Pahlawan Nasional
Menurut Rizal, kekritisan terhadap sejarah itu muncul dan menimbulkan kontroversi terkait kepahlawanan tidak terlepas dari semangat Reformasi.
“Saya pikir harus ditarik ke periode tahun 1998 di mana ada semangat besar untuk mengkritisi sejarah dari periode Orde Baru dan juga ada dorongan dari Pak Habibie sendiri untuk berdamai dengan sejarah,” kata Rizal.
Ketika Orde Baru lengser, B.J. Habibie sebagai presiden baru memberikan Bintang Mahaputra kepada Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir. Padahal, dua tokoh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) itu pada era Sukarno dan Soeharto dianggap sebagai pemberontak.
Baca juga: Sjafruddin Prawiranegara: Sebenarnya Saya Seorang Presiden
Pasca Reformasi, narasi sejarah kedua tokoh tersebut memang berubah. Ada usaha-usaha untuk membersihkan nama baik dua tokoh tersebut. Hingga pada 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Sementara Sjafruddin ditunda karena ada kemungkinan kontroversi akan membesar. Sjafruddin baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2011.
“Tapi yang paling menarik menurut saya bagaimanapun ada semangat lebih serius terkait pemberian gelar pahlawan. Ada peninjauan ulang terhadap latar belakang historis dari tokoh yang diajukan sebagai pahlawan,” kata Rizal.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kemudian juga menghapus Undang-Undang No. 33 Prps Tahun 1964 yang mencantumkan kriteria “karet” bahwa calon Pahlawan Nasional tidak boleh melakukan perbuatan yang mencederai perjuangannya. Yang pada masa Orde Baru ditafsirkan sesuai dengan kepentingan penguasa.
“Dan di masa Orde Baru juga dengan pasal kriteria karet itu, tokoh seperti Tan Malaka, Alimin yang kiri itu dimakzulkan. Jadi dihilangkan di dalam peta universe dari para pahlawan,” terang Rizal.
Berubahnya narasi sejarah Natsir dan Sjafruddin, menurut Rizal, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yang pertama, citra sejarah seperti apa yang ingin dihadirkan dan tengah menghadapi persoalan apa pemerintah saat itu. Lalu ada semangat berdamai dengan sejarah dan politik literasi dari para intelektual dan politisi.
Kemudian, ada riset sejarah besar-besaran mengenai penjernihan narasi sejarah. Dan terakhir, ada penerbitan ulang karya-karya tokoh terkait secara stimulan dan orang bisa membaca kembali tentang tokoh tersebut.
“Jadi kesimpulan saya adalah proses pemilihan pahlawan ini peristiwa politik. Lebih banyak urusan politik daripada urusan sejarah tapi bukan menafikan sama sekali urusan sejarah,” pungkas Rizal.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar