Sukarno dan Bantuan Beras Indonesia untuk India
Sutan Sjahrir menawarkan bantuan beras kepada India yang dilanda kelaparan. Sukarno menggalang dukungan rakyat untuk mewujudkannya.
Setidaknya ada dua pencapaian pemerintah Republik Indonesia di level internasional yang patut diperhitungkan pada paruh pertama tahun 1946. Pertama, pengakuan secara de facto kemerdekaan Indonesia oleh Mesir pada 23 Maret 1946, yang disusul negara-negara Arab lainnya. Kedua, bantuan beras Indonesia untuk India, negeri tetangga yang berjarak ribuan kilometer tapi punya ikatan sejarah dan kultural yang dalam dengan Indonesia.
Sejak akhir 1945 Belanda mengadakan blokade atas laut Indonesia, dengan tujuan mengadang masuknya senjata ke Indonesia dan keluarnya komoditas dari Indonesia. Dampak blokade sangat berat untuk ekonomi dan perjuangan Indonesia. Berbagai upaya untuk menembus blokade Belanda itu dilakukan, salah satunya dengan menawarkan bantuan 500.000 ton beras untuk India yang tengah dihantam kelaparan berat.
Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Sutan Sjahrir memainkan peranan sentral di sini, karena ialah yang menawarkan untuk membantu India dengan beras –komoditas yang diperebutkan banyak negara di Asia di era pasca-Perang Dunia Kedua– pada 12 April 1946. Tawaran itu diutarakan Sjahrir via wartawan India, P.R.S. Mani. Mani sempat bekerja untuk Sekutu, dan pada April 1946 merupakan jurnalis untuk surat kabar terbitan India, Free Press of India. Sjahrir juga senantiasa berusaha agar bantuan ini menjadi isu internasional, yang pada gilirannya akan melahirkan simpati pada Indonesia.
Baca juga: Nehru: Republik Indonesia Harus Diakui
Rosihan Anwar dalam Mengenang Sjahrir menyebut bahwa bantuan beras Indonesia, walau ditolak oleh Belanda, nyatanya diterima oleh India dan didukung oleh Inggris. Inggris, yang tahu benar buruknya kondisi kelaparan di India, bahkan menyediakan batu bara untuk kapal India yang akan datang ke Indonesia mengambil beras. Pada gilirannya, bantuan beras Indonesia ini membuat kedudukan diplomatik Indonesia kian kuat sehingga perundingan antara Indonesia dan Belanda kembali dapat dilanjutkan.
Walaupun Sjahrir adalah kunci, bila menilik berbagai sumber primer yang ada di pertengahan tahun 1946 dapat diketahui bahwa sebenarnya Sjahrir tidak berjuang sendiri. Ada beberapa pihak lain yang turut berkontribusi di sini, mulai dari Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Kementerian Penerangan, para pejabat lokal yang daerahnya adalah lumbung padi, dan tentu saja para petani, yang bersentuhan langsung dengan beras di sawah dan yang kerelaan serta tenaganya sangat diperlukan agar India bisa segera terbantu.
Sementara itu, Sjahrir fokus pada perjuangan meyakinkan dunia bahwa Indonesia membantu India dengan sungguh-sungguh, Sukarno dan Hatta fokus untuk memperkuat kesan itu sekaligus menggalang dukungan dari dalam negeri serta memastikan bahwa bantuan beras itu bukan sekadar tawaran kosong, melainkan dapat diwujudkan oleh pemerintah Indonesia yang usianya belum genap setahun –suatu usia yang sering membuat banyak pihak ragu dengan kemampuan pemerintah baru ini.
Sebagaimana diketahui dari buku terbitan Departemen Luar Negeri, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa, Periode 1945-1950, gagasan untuk mencari dukungan luar negeri bagi kemerdekaan Indonesia sudah disuarakan Sukarno sejak awal September 1945. Momentum perwujudan idenya ini muncul di tahun 1946 dalam bentuk tawaran beras kepada India. Setelah Sjahrir menyampaikan tawarannya pada India, maka tugas selanjutnya adalah memastikan tawaran itu dilaksanakan. Presiden Sukarno adalah salah seorang petinggi Indonesia yang berusaha meyakinkan India tentang komitmen Indonesia sekaligus mengajak masyarakat Indonesia agar berkenan membantu India.
Baca juga: Sukarno, Antara India dan Pakistan
Presiden Sukarno sangat mendukung tawaran beras dari Sjahrir. India menempati posisi tersendiri di dalam alam pikiran Sukarno. Ini dikemukakannya dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh wartawan Free Press of India. Pada akhir Mei 1946, sang wartawan bertandang ke berbagai tempat di pedalaman Jawa. Tujuannya untuk meninjau kesiapan pihak Indonesia dalam mengurus soal bantuan beras itu. Di dalam wawancara itu, yang kemudian muncul dalam sebuah berita bertajuk “Bright eagerness in Jawa to send rice to India” di Free Press of India akhir Mei 1946, Sukarno pertama-tama menyatakan sokongannya pada tawaran Sjahrir. Baginya, Indonesia dan India adalah dekat, dan keduanya dipertalikan oleh budaya dan ras.
Ada alasan yang menurut Sukarno lebih aktual, yakni bahwa gerakan nasional di Indonesia mendapatkan ilham perjuangan dari pergerakan bangsa India. Sukarno juga tak segan memuji India yang di era pascaperang itu mengambil posisi di depan secara global dalam perjuangan bangsa-bangsa terjajah.
Berbicara dengan Sukarno tampaknya merupakan salah satu cara penting bagi pihak India untuk mengukur sejauh mana komitmen dan kemampuan pemerintah Indonesia. Dari laporan surat kabar Free Press of India yang bertajuk “Indonesians keen to help us with food: Punjabi’s 1000-mile tour ends” yang terbit pada akhir Juni 1946 diketahui bahwa pada minggu terakhir Juni itu Indonesia kedatangan tamu penting: K.L. Punjabi. Ia adalah Sekretaris Bersama di Departemen Pangan pada Pemerintah India, yang dikirim ke Indonesia untuk memantau progres bantuan beras Indonesia. Punjabi melakukan tur keliling Jawa guna melihat persiapan pengangkutan padi dan berbicara dengan para pejabat Indonesia, termasuk Sjahrir, Sukarno, Hatta, para pejabat lokal dan orang India yang akan membantu pengurusan padi itu.
Dari turnya ke lumbung beras Jawa di Besuki, Jawa Timur, dan daerah lainnya serta pembicaraannya bersama para pejabat Indonesia itulah muncul kepercayaan dari pihak India bahwa Indonesia sangat serius dengan tawarannya. Bagi pihak Indonesia, kepuasan India berarti suntikan moral bagi perjuangan diplomasi Indonesia yang tengah buntu, salah satunya akibat kegagalan pembicaraan dengan Belanda di Hoge Veluwe pada April 1946.
Tapi Sukarno rupanya tidak hanya membicarakan soal beras ini dengan utusan dari India saja. Bagi sang presiden, rakyat Indonesia juga perlu tahu tentang latar belakang, progres dan makna dari bantuan beras untuk India itu, yang diajukan di masa Indonesia sebenarnya juga masih dalam kondisi kekurangan dalam berbagai hal. Dan, kapan lagi waktu yang paling tepat untuk mengungkapkannya selain dari saat ketika rakyat Indonesia merayakan hari nasionalnya: peringatan hari ulang tahun (HUT) pertama kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1946.
Di dalam acara peringatan HUT pertama RI, yang diselenggarakan dengan meriah di Alun-Alun Yogyakarta, nama India turut disebut-sebut Presiden Sukarno. HUT ini pada hakikatnya adalah momentum untuk memperkuat soliditas perjuangan pemerintah dan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada kesempatan itu para pemimpin Indonesia melihat kembali jalan panjang dan berliku yang mereka lalui dalam setahun terakhir, mengapresiasi sekecil apapun kemajuan yang mereka raih, dan meneguhkan komitmen untuk menyempurnakan kemerdekaan Indonesia di masa depan.
Selain diisi oleh pidato-pidato para pemimpin Republik (mulai dari Sardjono dari Konsentrasi Nasional, perwakilan kaum wanita, Raja Kesultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Presiden Sukarno), acara diisi pula oleh pertunjukan visual untuk meyakinkan masyarakat Yogyakarta tentang ketangguhan pertahanan Indonesia, yakni dengan suatu parade militer.
Ceramah para pemimpin Republik diselenggarakan pada sore hari, dan dihadiri oleh banyak rakyat. Dalam pidatonya, Presiden Sukarno secara spesifik berbicara perihal India. Dalam suatu pidato yang merangkum satu tahun perjuangan Indonesia, yang pada hakikatnya adalah perjuangan di dalam negeri Indonesia, pemberian ruang pada India ini memperlihatkan pentingnya relasi Indonesia-India di mata sang presiden.
Sebagaimana dilaporkan oleh Antara pada 18 Agustus 1946, Presiden Sukarno dalam pidato peringatan HUT RI itu menyebut bahwa Indonesia telah memiliki banyak sahabat di dunia internasional, dan salah satunya adalah India. Ia menyampaikan kepada massa rakyat di hadapannya suatu informasi yang dengan segera memberi kesan kepada mereka bahwa India juga merasa amat dekat dan bersahabat dengan Indonesia. Sukarno menerangkan, ia baru saja mendapatkan kawat yang berisi keterangan bahwa pemimpin nasionalis terkemuka India, Jawaharlal Nehru (kolega Hatta; pada 1927 Nehru dan Hatta bergabung dalam Liga Antikolonial untuk Kemerdekaan Bangsa-bangsa di Brussels), melakukan kunjungan ke Bombay. Tujuannya ke sana tak lain ialah untuk ambil bagian dalam perayaan HUT kemerdekaan RI yang diselenggarakan di kota itu.
Baca juga: Tamu Pertama dari India
Bila itu belum cukup, ada satu lagi informasi dari India yang disampaikan Sukarno, yang bertujuan untuk meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa bersahabat dengan India tidak hanya berdampak positif pada perjuangan diplomasi Indonesia di luar negeri, tetapi juga memberikan manfaat secara praktis pada Indonesia yang sedang membangun negerinya. Presiden Sukarno menyebut bahwa kawat itu juga membawa kabar bahagia lainnya: India telah mempersiapkan 5 juta yard bahan sandang, yang rencananya akan dikapalkan ke Indonesia. Bahan pakaian yang sangat banyak ini merupakan bentuk balasan India atas beras dari Indonesia.
Untuk sebuah negara muda yang baru berusia setahun, bahan pakaian itu bukan sekadar bentuk barter atau pertukaran barang di antara dua pihak yang membutuhkan. Itu adalah suatu pengakuan pada eksistensi Indonesia, dan yang lebih penting lagi, pada efektivitas pemerintah Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan yang mempunyai otoritas ke dalam dan daya tawar secara diplomatik di luar negeri.
Tapi, pertanyaannya, mengapa pemerintah dan rakyat Indonesia merasa senang dengan tekstil India? Bukankah Indonesia lebih membutuhkan senjata dalam konfliknya yang makin keras dengan Belanda?
Baca juga: Sesama Islam Dilarang Berperang
Pada paruh pertama tahun 1946 itu rakyat Indonesia pada umumnya tidak mengalami kekurangan bahan pangan. Jawa dikaruniai panen padi yang melimpah. Jepang, yang selama 3,5 tahun memaksa para petani menyerahkan padi kepada mereka –yang kemudian memicu kelaparan di tengah masyarakat Indonesia– sudah pergi dari Indonesia sehingga produksi padi bisa kembali dikonsumsi orang Indonesia. Lagi pula, ada banyak substitusi bahan makanan di Indonesia. Walau Belanda menolak klaim-klaim Indonesia bahwa Indonesia mempunyai surplus beras –salah satunya bertujuan agar beras Indonesia tidak jadi dikirim ke India, karena Belanda tahu konsekuensi diplomatiknya yang positif bagi Indonesia; lagi pula, daerah yang diduduki Belanda juga tengah mengalami kesukaran bahan pangan –jelaslah bahwa ada cukup banyak beras di Jawa kala itu.
Hanya saja, sementara masyarakat Indonesia, setidaknya di Jawa, tidak kekurangan beras pada bulan-bulan pertama tahun 1946 itu, ada satu kebutuhan pokok lain yang tidak mereka punyai, yakni bahan pakaian. Seorang wartawan asing yang berkunjung ke pelosok Jawa pada April 1946 mengindikasikan bahwa masyarakat di pedalaman Jawa tidaklah kelaparan, dan bahkan mereka makan terlampau banyak. Yang jadi masalah, ungkap dia, adalah bahwa mereka bepergian dengan pakaian yang kurang layak lantaran ketiadaan bahan tekstil. Demikianlah keterangan yang dapat dibaca dalam artikel bertajuk “British won’t talk–even if India starves: Why Indonesian offer has not materialised” di Free Press of India, pada April 1946.
Situasi ini memperlihatkan ketidakseimbangan antara bahan pangan yang memadai dengan bahan sandang yang mengalami kelangkaan. Maka, tak heran bila barang tekstil dari India sangat dinanti-nantikan di Indonesia. Massa rakyat yang menyemut di Alun-Alun Yogyakarta menyambut dengan sukacita pidato Presiden Sukarno pada sore hari 17 Agustus 1946 itu, termasuk pada respons baik dari India pada inisiatif Indonesia.
Baca juga: Jasa Patnaik untuk Republik
Sementara di dalam berbagai rapat umum yang diadakan di Indonesia pada bulan-bulan pascaproklamasi kemerdekaan seruan yang selalu disuarakan bersama-sama dengan penuh semangat adalah seruan “Merdeka”, maka ada sesuatu yang berbeda dalam pidato Presiden Sukarno kali ini. Untuk mengajak rakyat Indonesia mengapresiasi India, Sukarno meminta mereka yang hadir di hadapannya untuk menyerukan “Jai Hind”, slogan yang sering dipakai sebagai salam kebangsaan oleh kaum nasionalis India. Tidak cukup sekali, Sukarno menyerukan agar “Jai Hind” diserukan tiga kali berturut-turut. Frasa ini, yang berarti “Hidup India”, dari segi makna serupa dengan seruan “Merdeka” yang lazim dipakai di antara para pejuang kemerdekaan Indonesia guna memperkuat semangat perlawanan menghadapi Belanda dan mengukuhkan sentimen nasionalisme di antara sesama orang Indonesia.
Pidato Sukarno di atas tidak hanya menyentuh bagi para audiensnya, tapi juga bagi orang India sendiri. Di antara massa yang hadir di Alun-Alun Yogyakarta, ada wartawan India, P.R.S. Mani, kepada siapa Perdana Menteri Sjahrir beberapa bulan sebelumnya menyampaikan tawaran beras Indonesia. Sang jurnalis berdiri tak jauh dari Sukarno yang sedang berpidato; jadi, ia mendengar langsung dari dekat sekali pidato sang presiden.
“Kata-kata Sukarno”, tulis Mani dalam autobiografinya, The Story of Indonesian Revolution, 1945-1950 (1986), “sungguh menggetarkan jiwa dan memberi saya kepuasan bahwa sebuah peranan yang sepenuhnya bercorak jurnalistik di awal urusan ini berujung pada keberhasilan sebuah upaya yang memberi manfaat kepada beberapa negara dan pada jalannya perdamaian dan kemajuan.”
Penulis adalah staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar