Silent Majority, Richard Nixon, dan Perang Vietnam
Silent majority muncul setiap pemilu. Istilah politik ini semakin populer usai disebut dalam pidato Presiden AS Richard Nixon terkait Perang Vietnam.
ISTILAH silent majority menjadi sorotan warganet setelah pelaksanaan Pemilu 2024. Istilah ini dapat diartikan sebagai bagian terbesar dari populasi suatu negara yang terdiri dari orang-orang yang tidak terlibat secara aktif dalam politik atau tidak mengekspresikan pendapat politik mereka secara terbuka. Sejak kapan istilah ini populer?
Istilah silent majority mencuri perhatian publik saat Presiden Amerika Serikat Richard Nixon menyampaikan pidato terkait Perang Vietnam pada 3 November 1969. Pidato itu kini dikenal dengan sebutan “Silent Majority Speech”. Dinamakan demikian karena Nixon meminta dukungan dari “mayoritas penduduk Amerika yang tidak secara terbuka mengekspresikan pendapat mereka” untuk upaya Vietnamisasi yang akan dilakukan oleh pemerintahannya.
Dalam otobiografinya, The Memoirs of Richard Nixon, mantan wakil presiden era pemerintahan Dwight D. Eisenhower itu menyatakan bahwa AS akan terus berjuang hingga pihak komunis setuju untuk menegosiasikan perdamaian yang adil dan terhormat di Vietnam, atau sampai Vietnam Selatan dapat mempertahankan diri mereka sendiri yang juga dikenal sebagai upaya Vietnamisasi.
“Pada saat yang sama, pemerintah juga akan melanjutkan penarikan pasukan berdasarkan prinsip-prinsip Doktrin Nixon: kecepatan penarikan pasukan akan dikaitkan dengan kemajuan Vietnamisasi, pertimbangan aktivitas musuh, dan perkembangan di meja perundingan. Saya menekankan bahwa kebijakan pemerintah tidak akan terpengaruh oleh demonstrasi di jalanan,” kata Nixon.
Kala itu, Perang Vietnam menjadi isu yang paling disorot oleh penduduk Negeri Paman Sam dan dunia internasional. Demonstrasi anti-Perang Vietnam pun kerap digelar. Ketika Nixon berhasil mengalahkan wakil Partai Demokrat Hubert Humphrey dalam pemilihan presiden tahun 1968, ia langsung dihadapkan pada persoalan Perang Vietnam.
Menurut Pete Woodcock dalam “The Oratory of Richard Nixon” yang termuat di Republican Orators from Eisenhower to Trump, pria kelahiran 9 Januari 1913 itu sesungguhnya bukan orang yang menciptakan frasa “silent majority”, tetapi penggunannya dalam pidato yang dibacakan sang presiden pada 1969 untuk membedakan warga Amerika moderat dan cenderung tidak banyak bersuara yang setuju dengan tindakannya atas Vietnam dengan kaum muda yang gencar memprotes, membuat istilah itu populer di kalangan publik. Dalam pidato “Silent Majority”, yang dilatari oleh protes terhadap kebijakannya, Nixon menyatakan bahwa nilai-nilai yang dipegang oleh para pemrotes yang gencar mengkritiknya secara terbuka dan mendapat perhatian media bukanlah nilai-nilai yang diyakini oleh sebagian besar orang Amerika.
Mengutip apa yang diuraikan Nixon dalam pidatonya, “di San Fransisco beberapa minggu yang lalu, saya melihat para demonstran membawa papan-papan bertuliskan: ‘Kalah di Vietnam, bawa pulang para prajurit’ sebagai salah satu wujud dari masyarakat bebas, setiap orang Amerika berhak untuk berpendapat dan mendukung sudut pandang tersebut. Tetapi sebagai presiden Amerika Serikat, saya telah melanggar sumpah jabatan saya jika membiarkan kebijakan negara ini didikte oleh sekelompok kecil yang memegang sudut pandang itu dan mencoba memaksakannya kepada bangsa ini dengan melakukan demonstrasi di jalan,” tulis Woodcock.
Menurut Anna von der Goltz dan Britta Waldscmidt-Nelson dalam “Silent Majorities and Conservative Mobilization in the 1960s and 1970s in Transatlantic Perspective” yang termuat di Inventing the Silent Majority in Western Europe and the United States: Conservatism in the 1960s and 1970s., meski seruan kepada orang-orang Amerika Serikat yang “terlupakan” bukan sesuatu hal yang baru, ada sesuatu tentang gagasan untuk menjadi bagian dari silent majority yang tampaknya berhasil menjangkau pemikiran sebagian besar masyarakat Amerika pada masa pergolakan politik dan budaya tersebut.
“Diperkirakan tujuh puluh juta pemirsa televisi menyaksikan pidato yang dibuat dengan sangat cermat itu, dan puluhan ribu surat dari orang-orang yang mendeklarasikan diri sebagai silent majority mengalir ke Gedung Putih pada minggu-minggu berikutnya. Bahkan, lawan-lawan presiden pun mengakui bahwa frasa tersebut merupakan ‘salah satu penemuan politik paling brilian dalam beberapa tahun terakhir’,” jelas Anna dan Britta.
Besarnya dukungan masyarakat terhadap Nixon usai pidatonya disiarkan secara nasional di televisi berdampak langsung pada opini Kongres. Pada 12 November 1969, 300 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (119 anggota Demokrat dan 181 anggota Republik) setuju untuk mendukung resolusi yang menyokong kebijakan Nixon terkait Perang Vietnam. Lima puluh delapan senator, di antaranya 21 anggota Demokrat dan 37 Republik, juga telah menandatangani surat yang mengungkapkan sentimen serupa.
Tak hanya itu, selama beberapa minggu setelah pidato terkenalnya disiarkan pada 3 November 1969, Gallup melaporkan bahwa approval rating keseluruhan Nixon mengalami lonjakan menjadi 68 persen. Angka ini bahkan disebut sebagai yang tertinggi sejak ia menjabat sebagai presiden.
Gagasan tentang silent majority tak hanya menarik perhatian warga AS yang merasa terasingkan oleh para pengunjuk rasa antiperang. Segera setelah pers Eropa meliput pidato Nixon, istilah ini dengan cepat digunakan di sisi lain Atlantik untuk menggambarkan penataan ulang politik yang saat itu sedang berlangsung di beberapa negara Eropa Barat.
Di Prancis misalnya, Presiden Georges Pompidou mengimbau silent majority dalam pidatonya setelah Gaullist Comites de Defense de la Republique melakukan demonstrasi pada Mei 1968 untuk mempertahankan republik dari pemberontakan sayap kiri.
“Daya tarik yang luar biasa dari label silent majority di kedua sisi Atlantik pada akhir 1960-an dan 1970-an menunjukkan bahwa label ini berhasil membentuk dan mengkristalkan persepsi umum tentang marjinalisasi di ranah publik,” sebut Anna dan Britta.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar