Dendam Pilot Vietnam yang Bikin Hengkang Paman Sam
Kematian ayahnya membuat Thanh Trung bertekad membalas dendam pada AS dengan menjadi pilot dan membom simbol kekuasaan AS di negerinya.
ENTAH terpengaruh video penembakan massal yang ditontonnya beberapa hari sebelumnya atau bukan, Letnan dua udara Mohammed al-Shamrani, pilot Arab Saudi yang sedang menempuh pendidikan di Pangkalan AL Amerika Serikat (AS) Pensacola, melakukan aksi gila pada Jumat, 6 Desember 2019. Dia menembaki orang-orang di pangkalan itu.
“Mohammed al-Shamrani membunuh tiga orang dan melukai delapan lainnya ketika menyerang menggunakan pistol Glock 9mm Jumat (6/12/2019),” tulis kompas.com.
Sebelum melakukan aksi gilanya, Shamrani sempat menulis cuitan di akun Twitter-nya. “Saya melawan kejahatan, dan AS sudah sepenuhnya menjadi negara iblis. Saya membenci kalian karena setiap hari, kalian mendukung, mendanai, dan menyokong kejahatan tak hanya terhadap Muslim, tapi juga kemanusiaan,” ujarnya, dikutip kompas.com.
Shamrani akhirnya tewas oleh tembakan beberapa aparat yang merespon aksi gilanya. Buntut dari ulah Shamrani, otoritas militer AS menahan sedikitnya 10 siswa asal Saudi pada hari berikutnya.
Meski berbeda, apa yang dilakukan Shamrani mengingatkan kita pada pembelotan pilot AU Vietnam Selatan (Vietsel) Dinh Khac Chung, populer sebagai Nguyen Thanh Trung, di pengujung Perang Vietnam.
Pembelotan Trung disebabkan oleh dendam karena kematian Dinh Van Dau ayahnya. Van Dau merupakan gerilyawan Vietcong sekaligus sekretaris distrik partai komunis yang ditangkap dan dibunuh pasukan Vietnam Selatan (Army of the Republic of Vietnam/ARVN), negara boneka AS, pada 1963. Selain membunuh Van Dau, ARVN juga menangkap istri Van Dau dan membakar rumah mereka.
Baca juga: Pembantaian Paman Sam di Vietnam
“Hari itu, saya tidak bisa kembali ke rumah. Saya tidak punya tempat untuk pergi. Jadi saya duduk di perahu (yang saya gunakan tiap hari untuk ke sekolah) bolak-balik, bolak-balik di sungai sepanjang malam. Saya bertanya pada diri sendiri, siapa yang bertanggung jawab atas kematian ayah saya? Saya jawab sendiri. Saya berkata, Presiden Diem [pemimpin, pilihan orang Amerika], Anda bertanggung jawab atas kematian ayah saya. Dan saya katakan pada diri sendiri, kelak ketika dewasa, jika saya punya kesempatan, saya akan menjadi pilot. Dan saya akan membom istana pemimpin Vietnam Selatan,” kata Thrung sebagaimana dimuat laman pbs.org.
Dinh lalu mengganti namanya demi menyembunyikan identitas diri dan keluarganya. “Ia mengadopsi nama samaran Nguyen Thanh Trung. Perubahan itu dilakukan oleh ‘kawan dekat’ ayahnya yang juga mengatur pemalsuan kisah hidup mereka,” tulis Fox Butterfield dalam “Pilot for Saigon Called Red Agent”, dimuat The New York Times 19 September 1975.
Sebagaimana remaja lain di desanya yang miskin di Delta Sungai Mekong, Trung pun bergabung dengan Vietcong tak lama setelah itu. Militer lalu mengirimkannya ke Saigon Science University pada 1965.
Tekad kuat Trung untuk membalas dendam atas kematian ayahnya –sekaligus untuk mengusir AS guna mengakhiri perang– dimanfaatkan Vietcong dengan mendorongnya masuk AU Vietsel. “Dia ditanam ke AU oleh Vietnam Utara untuk tugas khusus membom istana dan kedutaan (AS, red.) kelak ketika diperintahkan,” tulis laman www.deseret.com.
Trung, tak melihat peluang lain untuk mewujudkan mimpinya kecuali bergabung dengan AU Vietsel. Setelah mendaftar masuk AU Vietsel dan diseleksi ketat latar belakangnya, Trung diterima pada 1969. Setahun kemudian, dia dikirim ke Texas untuk menjalani pendidikan penerbangan lanjutan. Dia lulus sebagai peringkat dua terbaik dari 500 siswa di angkatannya.
Sepulang dari pendidikan, Lettu Trung terpilih bertugas di skuadron elit 534 AU Vietsel. “Trung, seorang pilot F-5E yang ditempatkan di Pangkalan Udara Bien Hoa,” tulis George Veith dalam Black April: The Fall of South Vietnam, 1973-75. Sebagai salah satu pilot tempur terbaik, dia berhak memiloti pesawat tempur canggih F-5 Tiger. Trung dilibatkan dalam banyak misi. Ratusan misi bombardir udara dilakukannya terhadap basis-basis Vietcong.
Sambil terus menjalankan tugas resminya di AU Vietsel, Trung diam-diam terus menjalin kontak dengan Vietcong. Kontak rahasianya dengan Vietcong kian intens menjelang akhir 1974 sehubungan dengan akan digelarnya Ho Chi Minh Campaign atau The General Offensive and Uprising of the Spring 1975 (13 Desember 1974-30 April 1975). “Trung diberi perintah untuk membelot jika memungkinkan, karena ia diperlukan untuk melatih pilot AU Vietnam Utara mengoperasionalkan pesawat sitaan,” sambung Veith.
Baca juga: Pontang-Panting di Operasi Hastings
Untuk bisa menjalankan misi rahasia itu, ia bahkan sempat dipertemukan dengan PM Vietnam Utara Pham Van Dong. Selain itu, Trung terus berlatih mendaratkan F-5 Tiger, yang secara normal butuh landasan minimal 3000 meter, di runway yang hanya sepanjang 1000 meter. Yang tersulit baginya adalah mencari cara untuk melarikan pesawat tempur canggih itu.
Keberuntungan baru menghinggapi Trung kurang dari sejam menjelang dimulainya operasi bombardir udara AU Vietsel terhadap pasukan Vietnam Utara di dekat Nha Trang, 8 April 1975. Seorang pilot yang harusnya ikut misi, belum datang. “Trung saat itu tak punya jadwal terbang tapi mengajukan diri pada menit akhir untuk mengisi kursi pilot lain itu, yang biasanya datang terlambat karena rumahnya di Saigon dan skuadron berbasis di Bien Hoa, 40 menit berkendara,” tulis Fox.
Trung berada di pesawat nomor dua dari tiga pesawat yang dikerahkan dalam misi. Pikirannya terus mencoba menenangkan perasaannya yang berkecamuk. Menjelang pesawat membentuk formasi, Trung mencari cara untuk memisahkan diri. Dia mengacungkan dua jarinya kepada komandan misi sebagai isyarat pesawatnya mengalami electric problem. Sesuai prosedur militer, dia hanya punya waktu 10 detik untuk memutuskan apakah membatalkan misi atau melanjutkan misi dengan menyusul menggunakan pesawat lain. Trung memutuskan membatalkan misi. Kesempatan itulah yang dia gunakan untuk mengarahkan pesawatnya ke Saigon.
Baca juga: Kudeta Paman Sam di Vietnam
“Setelah lepas landas, saya terbang langsung ke Saigon. Hari itu, pesawat saya dimuati empat bom, dua untuk istana, dua untuk Kedutaan AS,” kata Trung, dikutip pbs.org.
Begitu mencapai istana presiden, Trung langsung menjatuhkan dua bom pertama. Tanpa diduganya, bom itu meleset dan mendarat di taman samping istana. “Saya lalu mengambil keputusan dengan amat cepat. Dengan dua bom terakhir saya akan membom istana dan melupakan kedutaan,” sambung Trung.
Dua bom terakhir itu jatuh tepat di atap istana. Trung langsung melarikan pesawatnya ke Pangkalan Udara Phuoc Binh di Provinsi Phuoc Long yang dikuasai Vietnam Utara. Selain dendamnya terbayarkan, pemboman Trung meruntuhkan moril pasukan Vietsel “Dia telah membawa perang ke pusat kota Saigon –dan memberi sinyal kepada para pemimpin Vietnam Selatan bahwa waktu mereka hampir habis. Ketika Trung mendaratkan F-5 Amerika di landasan terbang kecil di wilayah utara, ia disambut dengan sambutan pahlawan.”
Dua puluh dua hari kemudian, Saigon direbut pasukan Vietnam Utara. Amerika pun dipaksa hengkang dalam malu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar