Si Bung dan Para Burung
Sukarno tak akan membiarkan seekor burung terpenjara dalam sebuah sangkar.
PRESIDEN Sukarno dikenal sebagai penyayang binatang, terutama burung. Ia paling tidak suka melihat burung terkurung dalam sangkar. Soal ini diketahui kalangan terdekatnya saja. Namun, banyak orang menyangka Sukarno, sebagai keturunan Jawa, tidak lepas dari hobi memelihara burung.
Suatu hari datanglah dua lelaki Maluku ke Istana Negara. Mereka ayah dan anak. Kepada para pengawal presiden, mereka mengatakan ingin mempersembahkan seekor burung nuri raja yang indah kepada presiden.
Bagaimana respons Sukarno? Bambang Widjanarko, ajudan Sukarno, mengisahkannya dalam Sewindu Dekat Bung Karno.
Baca juga: Sukarno Melepaskan Burungnya
Alih-alih menolak, Sukarno menyambut tamunya dengan ramah. Ia menanyakan keluarga, perjalanan, dan kondisi daerah asal mereka. Diajaknya pula tamunya menikmati minum teh dengan kue. Setelah banyak bercerita, barulah Sukarno menanyakan soal burung nuri raja yang dibawa tamunya.
“Jadi Bapak mau menghadiahkan burung ini kepada saya? Jika ya, saya boleh berbuat apa saja terhadap burung ini, bukan?” ujar Sukarno.
“Ya Pak, tentu saja. Terserah Bapak mau diapakan burung ini,” jawab salah seorang tamu itu.
“Nah kalau begitu, ikutlah saya,” ujar Sukarno sambil menuruni tangga Istana dan berdiri di pinggir taman.
Sambil menoleh kepada si bapak itu, Sukarno lantas memerintahkan seorang pengawalnya untuk melepaskan burung yang indah itu ke alam bebas. Menyaksikan pemandangan tersebut, kedua tamu dari Maluku itu hanya bisa melongo.
“Pak, burung ini akan jauh lebih senang bila ia lepas bebas dapat terbang ke manapun. Biarkan ia merdeka, seperti kita pun ingin merdeka selama-lamanya,” kata Sukarno.
Baca juga: Sukarno dan Anjingnya
Masalah burung bagi Sukarno tak bisa dikompromikan. Siapapun yang memasung kebebasan burung, jika ia tahu, pasti akan ia suruh melepaskannya. Hal ini juga pernah dialami Letnan Satu C.H. Sriyono, anggota Detasemen Pengamanan Chusus (DPC) Tjakrabirawa dari Corps Polisi Militer (CPM).
Ceritanya, saat bertugas di Istana Tampaksiring, Sriyono membeli seekor jalak bali. Supaya tidak ketahuan Sukarno, ia memasukan jalak bali itu ke salah satu kantong celananya. Namun tetap saja ketahuan.
“Itu apa yang ada dalam saku celana kamu? Kok gerak-gerak?” tanya presiden.
“Siap! Burung, Pak!”
“Lepaskan!”
“Siap!”
Jalak bali pun bebas, terbang tinggi, meninggalkan pembelinya yang gondok luar biasa.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar