Setelah Serangan Umum 1 Maret
Janji manis Belanda menyerahkan kedaulatan lebih cepat lewat KMB pada Maret 1949 musnah gara-gara ditolak mentah-mentah Sukarno.
MELALUI Serangan Umum, selama enam jam kota Yogyakarta direbut oleh TNI dan rakyat yang bergerak serentak sejak pukul enam pagi 1 Maret 1949. Itu membuktikan bahwa Republik Indonesia belum habis, dan tersiar hingga seantero dunia. Meski pada siang hari serdadu Belanda berhasil menguasai kembali Yogya, pukulan telak pada Belanda datang dari medan diplomasi.
Di medan pertempuran, Belanda memang mampu mendatangkan bala bantuan dari Magelang pada tengah hari. Mengutip Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro, Komandan Batalyon Infantri V KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) “Andjing NICA” Kolonel Adrianus van Zanten yang mendengar Yogya diserang, segera minta bantuan ke Semarang. Maka datanglah Yonif X “Gadjah Merah” dengan satuan lapis bajanya. Konvoi mereka berangkat dari Magelang ke Yogya pukul 11 siang.
“Jam 12 berkobar pertempuran sengit. Pasukan-pasukan kita diperintahkan mundur mengingat perhitungan-perhitungan taktis dan pertimbangan terhadap keselamatan rakyat. Pasukan Andjing Nica ini bila masuk kampung tidak pandang bulu. Siapa saja yang tampak tentu dibunuh walaupun anak kecil yang masih berumur 11-12 tahun,” tulis tim sejarah militer Kodam Diponegoro itu.
Berbekal informasi dari pengintaian oleh sebuah pesawat Auster Belanda yang melayang di atas langit Yogya sejak pukul sembilan pagi, dua batalyon Belanda dengan satuan lapis bajanya itu segera mengamankan sejumlah area strategis setelah pertempuran. Sejumlah akses keluar-masuk kota Yogya juga diamankan hingga mengakibatkan sejumlah pasukan dari Sub-Wehrkreise (SWK) 105 terjebak di dalam kota.
“Masih banyak prajurit yang berkeliaran dan terpaksa menempuh jalan keluar melalui saluran-saluran air bawah tanah atau sembunyi dan bermalam di tengah-tengah penduduk kota, untuk keluar esok harinya. Pasukan-pasukan SWK 105 baru mengundurkan diri dari Maguwo dan Tanjungtirto keesokan harinya, tanggal 2 Maret. Tetapi toh ternyata SO (Serangan Oemoem, red.) ini membawa hasil yang lebih daripada yang diharapkan. Hasilnya mempunyai keuntungan berganda baik dalam bidang psikologis, militer, maupun politik,” tulis tim sejarah itu.
KMB Zonder PBB
Beredarnya kabar Serangan Umum 1 Maret berdampak kian terpojoknya Belanda di meja diplomasi. Pemerintah Belanda yang sejak Agresi Militer II (19 Desember 1948) acap mengabaikan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB), mulai kepayahan mempertahankan propagandanya di dunia internasional bahwa RI sudah musnah.
Padahal, pada 24 Desember 1948 DK-PBB mengeluarkan Resolusi 63. DK-PBB memberi tekanan lagi lewat Resolusi 67 tertanggal 28 Januari 1949. Inti dua resolusi itu adalah Belanda mesti menarik pasukannya dari Yogya, mengembalikan para pemimpin RI, dan menarik garis demarkasi sebagaimana Perjanjian Renville (17 Januari 1948).
Saking kesalnya dengan kebebalan Belanda yang enggan mematuhi resolusi DK-PBB, Parlemen Amerika Serikat sampai menggugat bantuan “Marshall Plan” pemerintah Amerika kepada Belanda. Pada 7 Februari 1949, Senator Negara Bagian Maine Ralph Owen Brewster bersama sembilan senator lain mengajukan resolusi ke hadapan Senat Amerika, agar pemerintah Amerika menyetop bantuan apapun kepada Belanda untuk sementara waktu.
“Aksi Belanda (Agresi II, red.) ibarat serangan diam-diam sebagaimana Jepang membokong Pearl Harbor, seperti serangan Jerman Nazi ke Belanda sendiri…apakah kita berniat mendukung imperialisme Belanda-Inggris-Prancis di Asia yang justru akan menciptakan iklim sempurna untuk komunisme? Atau kita berniat mendukung para nasionalis republik yang moderat di seantero Asia?” kata Brewster dalam pidatonya di hadapan Senat Amerika, dikutip Paul F. Gardner dalam Shared Hopes, Separate Fears: Fifty Years of US-Indonesian Relations.
Baca juga: Agar Perlawanan Yogya Didengar Dunia
Tekanan juga datang dari negara-negara boneka bentukan Belanda (BFO/Bijeenkomst voor Federaal Overleg). Lewat sebuah komunike pada 15 Februari 1949, lima fraksi BFO menuntut Perdana Menteri (PM) Belanda Willem Drees agar pemerintah Belanda mau tunduk pada Resolusi 67 DK-PBB. Mereka juga menuntut pemindahan Presiden Sukarno dan para pimpinan republik lain dari Prapat ke Pulau Bangka dan tak lagi distatuskan sebagai tawanan. Tekanan itu membat PM Drees memanggil Wakil Tinggi Mahkota Louis Beel pada pertengahan Februari.
“Di Belanda, Dr. Beel mengadakan sejumlah pertemuan, tidak hanya dengan pemerintah, tetapi juga dengan Parlemen Belanda. Beel dikritik atas sikapnya terhadap seorang petinggi UNCI yang menyalahi etika diplomasi,” ungkap Batara R. Hutagalung dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Namun, PM Drees dibantu Beel masih memutar otak mencari cara agar Indonesia tak lepas begitu saja namun di sisi lain Belanda terlihat tetap mematuhi resolusi DK-PBB. Drees lantas mengeluarkan beleid (kebijakan) dalam empat poin: Pertama, Sukarno dkk. akan diberi kebebasan sesuai yang diperlukan untuk bisa berunding. Kedua, Belanda tetap takkan mengembalikan wilayah RI sesuai Perjanjian Renville. Ketiga, Beel diperintahkan membentuk sebuah pemerintahan interim tanpa keterlibatan para pemimpin RI. Keempat, kedaulatan akan diserahkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kepada Negara Indonesia Serikat (NIS).
Pada 23 Februari, skenario Belanda untuk menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) pun disusun Beel. KMB “versi Belanda” itu rencananya akan dihelat pada 12 Maret 1949 dengan mengundang Sukarno namun zonder campur tangan Komisi PBB. Pemerintah Belanda sekadar memberi notifikasi terkait KMB itu. Setibanya kembali Beel ke Jakarta pada 26 Februari, datang komunike dari Den Haag.
“Keputusan penting mengenai sikap mengenai masalah Indonesia. Pemerintah yakin penyelesaian memuaskan semua masalah bergantung pada jalan yang setepat-tepatnya, yaitu mempercepat penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia kepada suatu pemerintahan federal yang representatif. Agar penyerahan kedaulatan tersebut, yang menurut resolusi dewan keamanan (PBB) tertanggal 28 Januari, harus terlaksana selambat-lambatnya 1 Juni 1950, akan dilakukan jauh lebih cepat dari tanggal ini,” demikian komunike itu, dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan, Jilid 3: Diplomasi Sambil Bertempur.
Maksud dari penyerahan kedaulatan lebih cepat dari tuntutan DK-PBB dalam Resolusi 67 adalah Belanda hendak mengoper kedaulatan kepada NIS yang direncanakan pada 15 Juni 1949. Namun, KMB versi Belanda itu kuncinya terletak pada kesediaan Sukarno.
“Beel mengisyaratkan mengalah dan akan melaksanakan resolusi DK PBB tanggal 28 Januari 1949, namun dengan cara Belanda dan tanpa melibatkan UNCI. Upaya mengulur waktu terus dilakukan, yakni menunda pengembalian presiden, wakil presiden, dan pembesar Indonesia lainnya ke Yogyakarta,” sambung Batara.
Baca juga: Tentara Kolonial Belanda dalam Pusaran Masa
Untuk membujuk Sukarno, Beel melakukannya lewat suratnya kepada Sukarno. Di surat itu alamat penerimanya dituliskan: “Presiden Republik Indonesia”. Surat itu lantas ia titipkan pada Dr. Peter John Koets untuk disampaikan langsung pada Sukarno. “Niat baik” Beel itu diharapkannya akan disambut hangat Sukarno.
Dr. Koets tiba di Bangka pada 28 Februari dan menyerahkan surat dari Beel sekaligus undangan KMB di Den Haag. Surat Beel untuk Sukarno itu membicarakan soal penyerahan kedaulatan kepada NIS pada 15 Juni 1949, rencana penarikan pasukan Belanda, dan sisanya akan distatuskan sebagai pasukan asing yang hanya akan bergerak sesuai permintaan pemerintahan NIS. Juga dibicarakan rencana pembentukan Uni Belanda-Indonesia sebagai badan kerjasama terkait kepentingan NIS dan Belanda.
Rencana licik Beel itu kandas. Sukarno menolak. Pasalnya, tuntutan agar ibukota RI di Yogyakarta dan pemulangan dirinya dan para pembesar RI kembali ke Yogyakarta enggan dituruti Beel. Sukarno lalu memberikan alasannya lewat surat balasan kepada Beel.
“Mengingat kedudukan saya dan anggota-anggota pemerintah Indonesia di Bangka sekarang, yaitu terputus dari negara dan rakyatnya dan terpisah dari dasar kekuasaannya selaku pemerintah, saya secara resmi tidak dapat memutuskan untuk menghadiri konferensi itu atau untuk mengirim delegasi atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia. Andaikata kami menerima, kami hanya akan dapat menghadiri konferensi itu selaku orang-orang partikulir. Tanggung jawab seperti itu hanya dapat dipikul oleh pemerintah RI yang dapat menjalankan kekuasaan sepenuhnya di daerahnya dan berkedudukan di Yogyakarta,” kata Sukarno, dikutip Batara.
Baca juga: Negara Indonesia Timur
Dengan berlangsungnya Serangan Umum 1 Maret 1949, para delegasi BFO mulai insyaf bahwa perlawanan RI masih terus bergulir dan fakta itu kontradiktif dengan propaganda Belanda selama ini. Sebelum tersiarnya Serangan Umum, para anggota BFO di luar Jawa minim informasi tentang situasi dan perkembangan perjuangan yang terjadi di Jawa. Mereka baru mendengar penguasaan Yogya selama enam jam dari siaran-siaran luar negeri pada 1 Maret 1949.
BFO menggelar sidang pada 3 Maret 1949 dan mengasilkan resolusi yang mendesak Beel memulangkan para pimpinan RI ke Yogyakarta. Mereka juga menentang Beel yang bersikeras akan menghelat KMB pada 12 Maret 1949 tanpa keikutsertaan delegasi RI.
“Ini tidak berarti bahwa wakil-wakil negara federal tersebut tidak lagi mengharapkan dibentuknya negara federasi yang dengan dukungan Belanda mereka akan menjadi dominan. Tetapi mereka merasa bahwa hal ini tidak akan tercapai kecuali jika pihak (republik) Indonesia diikutsertakan sebagai peserta minoritas (KMB),” ungkap George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia.
Baca juga: Panglima Tentara Belanda dari Surakarta (Bagian II–Habis)
Rencana KMB skenario Beel itu kian runyam setelah dia tahu BFO kembali bersidang pada 10 Maret 1949. Otomatis, KMB pada 12 Maret batal digelar. Selain BFO menolak turut serta karena tuntutan mereka untuk memulangkan Sukarno dkk. ke Yogya masih ditolak, Belanda mustahil membawa seluruh delegasi BFO dari Jakarta ke Den Haag dalam waktu semepet itu.
“Dengan jawaban Presiden Sukarno kepada Beel, sirna sudah harapan Beel mengajak Sukarno-Hatta menghadiri KMB tersebut. Rencana Belanda untuk tetap menggelar KMB ‘versi Belanda’ (12 Maret) juga gagal total setelah Suriname dan Curaçao, salah satu bagian dari Kerajaan Belanda, menolak mengirim delegasi. Ini adalah pukulan terbesar bagi Belanda,” tandas Batara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar