Setelah Pesta Usai
Digunakan untuk menghabisi orang-orang komunis, nasib Islam politik di awal Orde Baru tak menentu.
AWAL 1966. Malam belum sepenuhnya selesai, ketika lima anggota Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tigapuluh (KAP Gestapu) mendatangi rumah S. Herman di bilangan Sukabumi. Sebagai bekas serdadu yang memilih aktif di NU (Nahdlatul Ulama), dini hari itu, Herman “terpilih” untuk pergi ke Jampang Kulon, suatu wilayah yang terletak di pelosok Sukabumi, Jawa Barat.
“Saya diajak ke sana guna 'mengamankan' orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar lelaki 90 tahun tersebut.
Di Jampang Kulon, Herman dan kawan-kawan memburu para anggota PKI hingga ke hutan-hutan. Namun, berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Jawa Barat perburuan itu tidak lantas menjadi ajang pembantaian massal. Pendekatan persuasif sangat diutamakan oleh aparat di sana.
“Sesuai arahan Pak Adjie (Panglima Kodam Siliwangi), mereka yang tertangkap kami perlakukan secara baik-baik, untuk kemudian kami serahkan ke aparat,” kenang Herman.
Operasi perburuan tersebut berlangsung hingga sekitar empat bulan dalam tahun 1966. Herman tidak ingat berapa ratus orang komunis yang berhasil ditangkap. Dia juga tidak tahu bagaimana nasib mereka usai diserahkan kepada aparat. “Katanya mereka dibuang ke Pulau Buru sama pemerintah,” ungkap kakek dari lima cucu itu.
Aliansi Simbiotik
Pasca insiden Gerakan 30 September 1965, pihak tentara (baca: Angkatan Darat) mencari celah untuk menghantam langsung rival utamanya: PKI. Menurut Ulf Sundhaussen dalam Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967, salah satu cara yang dilakukan oleh mereka adalah merangkul kekuatan-kekuatan Islam yang di era rezim Sukarno ternafikan secara politis.
Gayung bersambut. Sebagai pihak yang kerap bermasalah dengan PKI dan menunggu waktu tepat untuk menghajar musuh bebuyutannya tersebut, kelompok-kelompok Islam menyambut baik rangkulan tentara. Pada 5 Oktober 1965, secara resmi Pengurus Besar NU mengeluarkan pernyataan sikap untuk melawan Gestapu.
“PBNU menyerukan kepada seluruh umat Islam dan segenap kekuatan revolusiener lainnya untuk memberikan bantuan sepenuhnya kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),” demikian seperti dikutip oleh H. Abdul Mun’im DZ dalam Benturan NU-PKI 1948-1965.
Aliansi simbiotik antara tentara dengan kelompok-kelompok Islam menghasilkan gerakan sporadis pengganyangan PKI di seluruh Indonesia. Bahkan bukan hanya sebagai “pendamping”, bersama grup-grup antikomunis lainnya dari kalangan Hindu (di Bali) dan Katolik serta sayap kanan di kubu kaum nasionalis, mereka terlibat aktif secara langsung menjadi “tangan tentara” untuk menghancurkan PKI.
“Anasir-anasir KAP Gestapu, terutama organisasi massa berorientasi kepada Masyumi, serta aktivis muda dari NU, harus dianggap termasuk kelompok ini,” tulis Ulf, pengamat sejarah militer Indonesia asal Australia tersebut.
Selain KAP Gestapu (salah satu pendirinya adalah Subchan ZE, tokoh muda NU), tentara juga mendukung keberadaan KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) dan Kesatuan Komando Jihad Ummat Islam pimpinan Abdul Qadir Djaelani, tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII). “Kesatuan-kesatuan aksi ini menghimpun hampir semua potensi politik antikomunis di Indonesia,” tulis Arief Mudatsir Mandan dalam Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid.
Untuk mengganyang PKI, kekuatan-kekuatan Islam betul-betul tertumpu kepada dukungan militer. Bukan hanya dukungan perlindungan, namun juga penyediaan senjata dan pelatihan militer seperti yang mereka lakukan kepada sejumlah tokoh KAP Gestapu dan sejumlah koordinator lapangan aktivis mahasiswa-mahasiswa Islam. Menurut Busyro Moqqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen, sejumlah aksi umat Islam di Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Banten juga mendapat sokongan AD.
“Buktinya, waktu Kesatuan Komando Jihad Ummat Islam mengadakan apel akbar di Jakarta pada 12 Februari 1967, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sawo Edhie Wibowo datang dan membuat pidato dukungan,” ujar Busyro.
Singkat cerita, “pesta pengganyangan” kaum komunis oleh militer yang bekerjasama dengan kelompok agama dan nasionalis sayap kanan berlangsung sukses. Bukan saja berhasil melenyapkan eksistensi partai komunis terbesar ketiga di dunia itu, tapi juga menerbitkan Orde Baru, sebuah rezim militer yang didukung oleh Amerika Serikat dan dunia Barat pada 12 Maret 1967.
“Dan tak ada seorang pun yang bisa menafikan bahwa umat Islam memerankan peranan yang sangat besar sebagai salah satu komponen penegak Orde Baru yang utama,” ungkap Afan Gaffar dalam sebuah artikel berjudul “Islam dan Politik dalam Era Orde Baru," Jurnal Ulumul Qur’an, edisi Mei 1993.
Dibalas Air Tuba
Usai Presiden Sukarno lengser, kekuatan-kekuatan Islam politik mulai menggeliat kembali. Anasir-anasir Masyumi yang di era Demokrasi Terpimpin sempat tiarap, aktif melakukan konsolidasi politik. Rehabilitasi Masyumi diajukan oleh Prawoto Mangkusasmito (Ketua Umum Masyumi saat dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1960) kepada pemerintah Orde Baru.
Alih-alih mengabulkan, jasa-jasa kalangan Islam politik seolah dibalas dengan air tuba: pengajuan ditolak Presiden Soeharto. “Jalan menuju pewujudan kembali Masyumi sebagai partai politik mengalami situasi berliku dan berujung kepada ditolaknya upaya rehabilitasi itu,” ungkap Abdul Qadir Djaelani, salah satu aktivis Islam saat itu.
Siasat baru lantas dilancarkan. Pada akhir 1967, eks onderbouw Masyumi membentuk partai baru bernama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan mengajukan izinnya kepada pemerintah. Kali ini pemerintah Orde Baru merestui dengan mengeluarkan Surat Keputusan No. 7 tahun 1968 tertanggal 20 Februari 1968. “Djarnawi Hadikusomo dari Muhammadiyah diangkat sebagai ketua umumnya,” tulis Solihin Salam dalam Sejarah Parmusi.
Masalah muncul kembali usai Parmusi melangsungkan muktamarnya yang pertama pada 2-7 November 1968: Muhammad Roem ditolak oleh pemerintah sebagai ketua umum terpilih. “Soeharto tak mau mensahkannya,” tulis Abdul Qadir Djaelani dalam Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan di Indonesia.
Parmusi tidak bisa berbuat banyak. Jalan kompromi pun ditempuh: jabatan ketua tetap dipegang Djarnawi Hadikusumo dengan harapan roda politik partai tetap berjalan. Namun, lagi-lagi tawaran kompromi itu tak diindahkan. Justru pada Februari 1970, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud membuat keputusan melarang sekitar 2500 eks anggota Masyumi untuk ikut andil dalam Pemilihan Umum 1971. Alasannya, iktikad baik mereka kepada pemerintah sangat diragukan. Demikian menurut berita yang dilansir Kantor Berita Antara pada 16 Februari 1970.
Di tengah situasi panas tersebut, pemerintah tetiba “memecat” Djarnawi dan menggantinya dengan MHS. Mintarja lewat suatu rekayasa yang melibatkan grup Operasi Khusus (Opsus) Ali Moertopo (via duet John Naro-Imran Kadir). Menurut Afan Gaffar, pemerintah kesulitan untuk menerima Djarnawi karena dia dianggap memiliki pendirian politik yang “keras” dan tidak akomodatif terhadap kepentingan pemerintah.
Bukan hanya kepada Masyumi, kebijakan tentara (baca: pemerintah Orde Baru) pun mulai “keras” terhadap NU. Sejak dilangsungkannya Seminar Angkatan Darat pada 1966 di Bandung, tentara memiliki pandangan tegas bahwa sebuah organisasi keagamaan dengan basis massa besar akan menjadi suatu ancaman politis.
“NU dipandang sebagai hal yang membahayakan apabila dibiarkan tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik,” tulis Arief Mudatsir Mandan.
Nasib buruk juga melanda partai Islam tua yang peran politiknya sebenarnya sudah mulai mengecil: Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Laiknya Parmusi, kepemimpinan PSII pun tak lepas “diobok-obok” grup Opsus via Syarifuddin Harahap yang berhasil menyingkirkan kepemimpinan H. Ch. Ibrahim.
Pemilihan Umum 1971 semakin memperlebar jurang pemisah antara pemerintah Orde Baru dengan kelompok-kelompok Islam. Upaya-upaya sistematis dari pemerintah dan tentara untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar) menjadikan peran politik kelompok Islam dan nasionalis terpinggirkan secara prima. Keculasan politik yang terpapar dalam Pemilu 1971 menjadikan kalangan Islam kecewa.
Bahkan, Subchan ZE pernah mempunyai gagasan akan mengadukan pelaksanaan Pemilu 1971 dengan korban-korban yang dialami oleh warga NU kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amnesti Internasional. Namun niat tersebut diurungkan. Sebagai gantinya: “Rois Aam NU KH A. Wahab Chasbullah di depan Muktamar NU ke-25 pada Desember 1971 mengisyaratkan bahwa tak ada gunanya lagi NU menjadi partai politik,” ujar Arief.
Rival Negara
Babak belur di Pemilu 1971 menjadikan kekuatan Islam politik tak bisa mengkoordinasikan diri secara maksimal. Menjelang Pemilu 1977, mereka harus kembali “menyerah” ketika pada 5 Januari 1973, pemerintah Orde Baru memaksa Parmusi, NU, PSII dan Partai Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) berfusi dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Menurut Abdul Qadir Djailani, fusi itu dilaksanakan atas nama kestabilan politik. “Padahal tujuan sebenarnya adalah untuk mempermudah kontrol politik terhadap kekuatan Islam,” ujar Abdul Qadir.
Penyederhanaan partai-partai politik Islam dalam PPP diikuti oleh upaya deislamisasi. Sebagai contoh pemerintah memerintahkan partai politik hasil fusi itu untuk tidak lagi menggunakan lambang Ka’bah, nama “Partai Persatuan Islam” dan Islam sebagai asas ideologi partai. Soal ini sempat membuat KH. Bisri Syansuri (Rois Aam PPP) berang dan menyampaikan protes langsung kepada Presiden Soeharto.
“Tetapi tak berhasil karena Soeharto tetap pada kebijakannya untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik mana pun,” tulis Arief Mudatsir.
Pemilihan Umum 1977 berlangsung lancar. Seperti sudah diprediksi semua kalangan, Golkar sebagai representasi pemerintah memperoleh kemenangan mutlak di parlemen: 238 kursi ditambah dengan 100 kursi dari fraksi ABRI yang diangkat secara sepihak oleh pemerintah sendiri. PPP sendiri hanya mendapat 99 kursi lebih besar dibanding kursi yang didapat PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yakni 29 kursi.
Namun, kemenangan itu tidak menjadikan posisi Islam politik sebagai rival negara jadi berhenti. Sidang Umum MPR 1978, pemerintah Orde Baru memasukan Aliran Kepercayaan dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Secara tegas, dinyatakan dalam P4 ini bahwa “Pancasila adalah jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang sakti.”
Ketetapan MPR No. 11/1978 diprotes oleh kalangan Islam sebagai upaya mengkerdilkan peran politik mereka. Pada 20 Maret 1978, di Jakarta terjadi demonstrasi menentang ketetapan itu dan berakhir dengan ditangkapnya ratusan aktivis Islam oleh pihak militer.
Sementara itu, seiring upaya deislamisasi di tingkat kehidupan politik formil, pemerintah (lagi-lagi lewat kekuatan intelijen) terus berusaha melukiskan citra Islam sebagai kekuatan teror lewat berbagai gerakan-gerakan radikal seperti Komando Jihad dan gerakan Jamaah Imran. Kebijakan represif ini bahkan berimbas kepada kehidupan berislam di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Salah satunya adalah pelarangan mengenakan jilbab bagi siswi-siswi Islam di berbagai sekolah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar