Salim Said Bicara Tentang Tiga Tokoh Pers
Rosihan arogan, Mochtar Lubis tidak bisa kompromi, dan B.M. Diah kaya sendiri. Demikian menurut Salim Said.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pecah dalam kongres di Palembang tahun 1970. Pengurus pusat PWI terbagi antara kubu B.M. Diah dan Rosihan Anwar. Santer rumor beredar perpecahan itu digalang Operasi Khusus (Opsus) pimpinan Brigjen Ali Moertopo yang ingin menguasai masyarakat wartawan lewat Diah. Sekelompok wartawan muda lebih pro kepada Rosihan. Mereka kemudian berontak dengan melakukan unjuk rasa dari rumah Menteri Penerangan Boediarjo sampai ke Balai Budaya.
Salah satu wartawan muda yang ikut aksi demo itu adalah Salim Said dari koran Angkatan Bersendjata. Rosihan turut hadir dalam momen yang sama. Dalam mimbar bebas, Salim Said berbicara di hadapan rekan-rekan wartawan membela Rosihan. Entah mengapa, Rosihan tiba-tiba malah menghardik Salim Said. Hardikan itu sangat membekas dalam hati Salim karena bersifat sangat pribadi dan agak berbau rasis.
“Semua yang hadir dalam pertemuan itu sempat terdiam sejenak. Saya sangat sedih, kecewa dan marah. Tapi, saya menahan marah dengan diam,” kenang Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Sejumlah Kesaksian.
Baca juga: Salim Said: Mereka Mestinya Baca Dulu
Sejak itu, Salim memendam dendam kepada Rosihan. Meski Rosihan wartawan senior seterkenal apapun, dia tak lagi mau menaruh hormat. Dalam beberapa kesempatan setelah insiden itu, Salim selalu buang muka bila berpapasan dengan Rosihan. Menurut Salim, hinaan Rosihan jauh lebih menyakitkan ketimbang saat dirinya dibentak Mochtar Lubis beberapa tahun sebelumnya.
Pada 1966, Mochtar Lubis bebas dari penjara menjelang jatuhnya rezim Sukarno. Salim beberapa kali berkunjung ke rumah Moctar Lubis di Jl.Bonang, samping Gedung Proklamasi. Pemuda Salim menyimpan secercah kagum terhadap Mochtar Lubis. Di matanya, Mochtar merupakan sosok wartawan kesohor karena berani, sastrawan terkemuka, dan pelukis, pemahat, pemelihara anggrek, penerbit, penyelam, juga profesional dalam soal menghuni tahanan.
“Saya tidak lagi datang ke rumah Mochtar setelah suatu kali, tanpa saya duga dia membentak saya ketika saya memintanya menulis untuk Harian Angkatan Bersendjata tempat saya bekerja,” ungkap Salim Said.
Baca juga: Salim Said: Kelemahan Kita Malas Membaca
Menurut Salim, dirinya memang naïf saat itu. Dia sebelumnya berhasil melobi Rosihan Anwar jadi kolumnis tetap di Angkatan Bersendjata sembari menekankan bahwa harian itu adalah koran punya tentara. Rosihan mengerti apa maksudnya. Dia tahu betul apa yang mesti ditulis di koran tentara itu dan apa pula yang lebih baik ditulis di koran lain. Tapi, begitu hal yang sama disampaikan pada Mochtar Lubis, Salim Said malah kena damprat. Dia keliru menyamakan Mochtar dengan Rosihan.
Pada 1976, Salim Said dan Rosihan Anwar diangkat menjadi dewan juri Festival FIlm Indonesia (FFI). Rosihan juri paling tua sedangkan yang termuda adalah Salim. Saat itu, Salim telah berpengalaman sebagai kritikus film di Majalah Tempo dan baru saja merampungkan tesis tentang sejarah sosial film di Fisip UI. Kendati tahun-tahun barlalu, Salim tetap terngiang kata-kata pedas Rosihan. Saban kali berurusan dengan Rosihan, Salim pasang sikap cuek. Hingga suatu ketika jelang rapat perdana dewan juri, sutradara film Amy Priyono menyampaikkan pesan Rosihan, “Apa pasal Salim Said dan Asrul Sani sudah lama tidak mau bicara dengan saya?”
Baca juga: Rosihan Anwar Jatuh Bangun Koran Kiblik
“Rupanya the ‘bloody arrogant’ Rosihan terganggu juga oleh kebolehan saya tampil secara artifisial sebagai ‘another bloody arrogant’. Tingkah laku saya waktu itu memang saya rancang untuk menyadarkan Rosihan agar dia tahu bahwa sikapnya yang arogan dan kurang memperhatikan perasaan orang lain, memandang rendah, dan suka melecehkan orang lain, sesungguhnya melukai perasaan orang tersebut,” tutur Salim, yang menyimpulkan Rosihan punya masalah “demam panggung” di depan orang, alias suka cari perhatian.
Perlahan-lahan, hubungan Rosihan dan Salim mencair lagi. Dalam rapat dewan juri, Rosihan tak sungkan mempersilakan Salim menguraikan pendapatnya. Setelahnya Rosihan memuji pendapat Salim tersebut. Meski tak secara gamblang menyatakan maaf, Rosihan sepertinya sadar sikapnya pernah kelewatan. Beberapa tahun kemudian, keduanya terlibat kerja bareng soal industri perfilman. Pada Festival Film Cannes (1989), Salim dan Rosihan bahkan sekamar hotel ketika membawakan film Tjut Njak Dien di Prancis.
Dalam Sidang Pleno Pekan Film Asean (PFA) 1989, Rosihan dan Salim kembali tergabung dalam tim delegasi Indonesia. Mereka bersama anggota delegasi yang lain sepakat untuk mempromosikan film produksi ASEAN dengan menggalakkan kegiatan kelompok film (kine club). Seperti dilansir Harian Neraca 4 Maret 1989, Salim menyatakan optimis bahwa penggalakan kine club bermanfaat untuk mengembangkan pangsa pasar film bermutu di Indonesia. Rosihan menyampaikan pendapat serupa sebagai tujuan jangka panjang pengembangan perfilman dalam negeri.
Baca juga: Rosihan Tidur Berbantalkan Granat
“Untuk jangka pendek, tampaknya usulan delegasi Indonesia, antara lain untuk menerbitkan buku Who's Who bisa dikerjakan secepatnya, sementara penggalakan kine club massih harus diperjuangkan realisasinya,” kata Rosihan selaku ketua delegasi seperti dikutip Neraca.
Sekiranya boleh memilih, Salim lebih berkenan pada Rosihan sebagai pahlawan pers ketimbang Mochtar Lubis atau B.M. Diah. Rosihan mengajarkan kepada wartawan dan kaum intelektual yang hidup di bawah rezim Sukarno dan Soeharto, bagaimana berjuang lewat pena tanpa harus dipenjarakan oleh penguasa. Pada masa Orde Lama, Rosihan dan beberapa penulis seperti Wiratmo Sukito, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, tetap menulis tanpa menyerah kepada Sukarno. Sementara itu, kepahlawanan Mochtar Lubis menurutnya lebih karena mitos yang lahir dari kesalahan rezim.
“Dan mitos tentang dirinya sebagian adalah kesalahan Sukarno dan Soeharto yang menutup korannya, memenjarakannya, dan dengan cara itu menjadikannya pahlawan,” kata Salim.
Baca juga: Salim Said Meninggal Dunia
Selain itu, di luar sikap “capernya”, Rosihan adalah sosok yang memperhatikan perasaan orang lain, terutama mereka yang bekerja di bawahnya. Bandingkan dengan Mochtar Lubis dan Diah yang sama-sama menjadi bos media pada masa yang sama. Dari usaha jurnalistiknya (Harian Merdeka), Diah kaya sendiri sedangkan anak buahnya kebanyakan tidak punya apa-apa. Mochtar Lubis (Indonesia Raya) terkenal sendiri, sedangkan anak buahnya kebanyakan tidak pernah dikenal dan sebagian besar meninggal dalam keadaan melarat.
“Rosihan (Pedoman) tetap tidak kaya hingga masa tuanya, tapi banyak mantan anak buahnya yang berhasil sebagai wartawan dan pengusaha di bidang media,” tandas Salim.
Selumbari, 18 Mei 2024, Salim Said menyusul para seniornya itu ke haribaan-Nya dalam usia 80 tahun. B.M Diah lebih dulu wafat pada 1996, Mochtar Lubis pada 2004, dan Rosihan Anwar pada 2010. Dengan segala karya, kelebihan dan kekurangan masing-masing, mereka adalah tokoh pers yang berjasa dalam perkembangan dan sejarah pers di Indonesia.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar