Razia Homoseksual Zaman Kolonial
Razia besar-besaran kaum homoseksual. Ada motif politik di balik gerakan antihomoseksual.
Tiga perempuan ditetapkan sebagai tersangka karena kampanye hitam. Dalam video yang viral, mereka menyebut jika Joko Widodo terpilih kembali menjadi presiden maka azan akan dilarang dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) akan dilegalkan.
Selama ini memang kelompok LGBT mendapat penolakan dari berbagai kalangan dalam bentuk aturan yang diterbitkan pemerintah-pemerintah daerah, persekusi, pemidanaan, pembubaran acara, dan sejumlah kekerasan lainnya. Penolakan itu dengan berbagai alasan. Mulai soal moral, penyebab bencana, sampai keyakinan kalau kelompok LGBT telah dirasuki jin sehingga harus di-ruqyah.
Upaya menghapus kelompok LGBT dari masyarakat bukan hal baru di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda bahkan membentuk satuan khusus Polisi Susila (zedenpolitie) untuk menangkap pria-pria homoseksual. Peristiwa itu dikenal sebagai Skandal Susila (zedenschandaal).
Baca juga: Polisi Zaman Kumpeni
Sejarawan Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda, menulis antara Desember 1938 dan Mei 1939, polisi di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran terhadap lebih dari 200 pria. Kebanyakan mereka adalah warga Eropa, termasuk di dalamnya pejabat tinggi. Mereka dicurigai bersalah karena berhubungan seks dengan anak laki-laki di bawah umur. Perbuatan itu, baik di Hindia Belanda maupun di Belanda, diancam pidana. Sekalipun larangan demikian sebenarnya sudah berlaku sejak 1918.
Dari 223 yang ditahan, 171 dinyatakan terbukti bersalah. Mereka dijatuhi hukuman. Koran-koran dengan penuh perhatian mengikuti razia kaum homoseksual itu. Sebab, sebelumnya belum pernah digelar operasi besar-besaran semacam itu.
“Aksi itu dalam pemberitaan dirujuk sebagai aksi atau operasi pembersihan rumah besar-besaran, pembersihan akhlak, atau proses pembersihan,” tulis Marieke.
Baca juga: Jala Polisi Susila
Secara formal, razia polisi memang menyasar pria yang berhubungan badan dengan anak laki-laki di bawah umur (di bawah 21 tahun). Karena ini memang diatur dalam Pasal 292 Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Pidana Hindia Belada). Pedofilia adalah tindak pidana.
Namun, menurut Marieke sebenarnya operasi ini memberikan kewenangan kepada polisi untuk memberantas homoseksualitas. Pasalnya, sebelum 1938 jarang orang dituntut karena hal itu. “Kemudian sangat jelas pula kalau sasaran kepolisian umumnya adalah para homoseksual, khususnya pria,” tulis Marieke.
Sebelumnya, meskipun masyarakat memandang berdasarkan norma Kristiani sebagai tidak alamiah, abnormal, dan haram, homoseksualitas di Hindia Belanda dibiarkan saja. Homoseksual tidak termasuk perbuatan yang diancam pidana. Persoalan moral yang didengungkan sebelum 1938 lebih menargetkan praktik prostitusi yang terkait perdagangan perempuan dewasa dan anak.
Baca juga: Remang Terang Prostitusi
Baru setelah dibentuk Polisi Susila, kaum homoseksual menjadi sasaran utama. "Homoseksualitas dipandang tidak hanya sebagai aib yang mencemari akhlak mulia masyarakat, namun juga dimaknai sebagai suatu kejahatan," tulis Marieke.
Polisi Susila dibentuk pula di sejumlah kota. Ia menjadi bagian dari reserse. Di Surabaya misalnya, prakarsa pembentukannya datang dari pejabat menengah dan tinggi kepolisian yang beranggapan bahwa kesusilaan umum adalah ciri masyarakat modern.
Sejumlah dokter spesialis juga menulis artikel terkait dengan penyimpangan perilaku seksual. “Sikap lemah lembut dan halus yang diasosiasikan dengan homoseksual tentu saja dianggap tidak pantas bagi sarana kekerasan yang sekaligus mencitrakan wajah negara kolonial,” tulis Marieke.
Baca juga: Memberangus Seksualitas
Homoseksual juga ternyata ada di lingkungan kepolisian. Ada empat pejabat polisi menjadi terdakwa, ditahan, dan dituntut. Tiga darinya dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.
“Bagi kepolisian, skandal kesusilaan itu mebuka peluang untuk menunjukkan bukan kelemahannya, namun justru kekuatan dan akhlak mulianya. Dengan cara itu pula, kekuatan dan akhlak mulia dari negara,” tulis Marieke.
Antihomoseksual dan Politik
Skandal kesusilaan di Hindia Belanda tak berdiri sendiri. Skandal serupa muncul juga di tempat lain pada 1930-an. Di Malaya-Inggris, Belanda, dan Jerman-Nazi.
“Meski dengan skala berbeda, semuanya menunjukkan kemiripan pola,” catat Marieke.
Menurutnya, aksi perburuan homoseksual muncul dalam periode ketidakpastian politik ekonomi. Ditambah lagi, masyarakat tengah terpecah oleh pertentangan politik internal yang tajam.
Baca juga: Razia Homoseksual dari Prusia hingga Nazi
Ketika sentimen antihomoseksual meruak di Belanda, pengaruh Nazi tengah merasuk. Banyak pejabat tinggi Belanda bersimpati pada pandangan politik Nazi, termasuk soal kebencian mereka terhadap kaum homoseksual. Sentimen antihomoseksual itu pun terbawa ke negara jajahannya, bahkan lebih masif.
Menurut sejarawan Onghokham, kampanye itu tak sepenuhnya bisa dilaksanakan di Belanda karena harus berhadapan dengan masalah hak asasi kelompok borjuis yang sedang tumbuh. Sementara di Hindia Belanda, para elite politik Belanda bisa menerapkan kebijakan dan politik yang berkedok pada moralitas puritan itu.
“Di koloni, politik represif itu dapat dilancarkan tanpa kritik dan tantangan yang berarti dari pemerintah kolonial,” tulis Onghokham dalam “Kekuasaan dan Seksualitas,” Prisma, Juli 1991.
Baca juga: Onghokham, Sejarawan yang Doyan Makan
Aksi Polisi Susila kemudian terkesan berkaitan dengan persaingan dan perebutan kekuasaan. Mulanya aksi itu menyasar pejabat-pejabat tinggi atau anggota partai-partai politik. Berawal dari desas-desus kemudian ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung dugaan itu.
Ditambah lagi pemikiran masyarakat umum yang memandang homoseksualitas sebagai kelemahan dan kelembekan karakter laki-laki. Maka, pria homoseksual dianggap tak layak diberi kepercayaan untuk mengemban tugas memimpin masyarakat di zaman yang penuh ketidakpastian saat itu.
Dari kurun waktu kemunculannya, gerakan antihomoseksual di Hindia Belanda dan Jerman seolah muncul saling bersambungan. Di Jerman, homoseksual menjadi musuh negara. Perburuannya sejak 1936 menjadi kebijakan resmi negara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar