Dari Prusia hingga Nazi
Studi homoseksual lahir di tengah-tengah kriminalisasi dan perjuangan kaum gay di Jerman.
PADA 27 Juli 1780, Raja Frederick II dari Prusia memerintahkan sebuah reformasi hukum pidana secara menyeluruh. Pasal-pasal hukum pidana, yang kemudian diberi nama Allgemeines Landrecht (ALR), dibuat secara mendetail dengan bahasa lugas sehingga tak ada celah manipulasi dan interpretasi berbeda.
Saat itu zaman pencerahan melanda Eropa. Muncul ide bahwa tiap aspek dalam kehidupan masyarakat bisa diatur dengan sistem hukum yang berdasarkan pada rasionalitas manusia. Di Prusia, pengaruh itu terwujud dalam ALR, yang mulai diberlakukan pada 1794.
ALR mengatur kegiatan warga negara, termasuk masalah hubungan seksual. Salah satunya, yang ditambahkan pada 1851 dan mengundang protes, adalah paragraf 143. Isinya: hubungan seksual yang tak wajar (fornification), baik antar-orang dari jenis kelamin laki-laki, atau antara manusia dan binatang, akan dikenai hukuman penjara enam bulan hingga empat tahun, dengan tambahan hukuman hilangnya hak-hak sebagai warga negara.
Hingga saat itu, di Eropa, anal sex sesama lelaki dianggap tindakan berdosa; orang yang melakukannya dapat dihukum mati dengan dibakar atau digantung. Namun zaman pencerahan di Eropa mengubah pola pikir dari sebelumnya dipengaruhi agama menjadi lebih didasarkan sains dan logika. Ilmu kedokteran dan psikologi mulai dipakai untuk menilik homoseksualitas. Pada abad ke-19 seksualitas tak terpisahkan dari homoseksual dan lebih merupakan kodrat khasnya daripada kebiasaan yang mengandung dosa.
Paragraf 143 merupakan langkah maju karena menghilangkan hukuman mati. Tapi tidak demikian bagi Karl Heinrich Ulrichs dan Karl Maria Kertbeny –sebelumnya dikenal sebagai Karl Maria Benkert.
Ulrichs menjadi pembela hak kaum gay sejak 1862 ketika dia mulai menulis tentang keberadaaan jenis kelamin ketiga yang dia sebut urnings atau uranian; jiwa perempuan yang terjebak dalam tubuh lelaki. Setahun kemudian dia menerbitkan pamflet-pamflet yang membela para urnings dengan menggunakan nama samaran Numa Numantius. Itulah kenapa, karena istilah homoseksual belum dikenal, kaum homoseksual saat itu menyebut diri mereka sebagai urnings atau uranian. Ulrichs menjadi teoritikus pertama mengenai homoseksualitas.
Ulrichs percaya bahwa homoseksualitas dilahirkan, bukan didapatkan. Karenanya, Ulrichs memperkenalkan konsep “Coming Out” atau “Coming out of the closet”, yakni mengakui dengan sadar dan sukarela mengenai orientasi seksual dan identitas gender. Ulrichs adalah lelaki pertama di dunia yang berani mengakui dirinya "gay", seorang urnings. Menurutnya, menyembunyikan eksitensi merupakan hambatan terbesar menuju perubahan publik. Dia kelak dianggap sebagai pionir gerakan gay dunia.
Tak setuju dengan paragraf 143, Ulrichs mengirimkan sebuah resolusi kepada Kongres Hakim Jerman pada 1865 yang menyarankan revisi terhadap hukum pidana Prusia. Ulrichs mengatakan rasa cinta yang timbul di antara sesama laki-laki dan perempuan tak seharusnya dihukum, selama tak ada pelanggaran hak dan pelanggaran publik. Resolusi itu ditolak dengan alasan “tak sesuai untuk dibicarakan oleh kongres”.
Tak mau menyerah, Ulrichs menyampaikan pembelaan terhadap hak-hak kaum gay di depan 500 orang anggota Kongres Ahli Hukum Jerman di Munich dua tahun kemudian. Menurut Hubert Kennedy dalam bukunya Karl Heinrich Ulrichs: Pioneer of the Modern Gay Movement, Ulrichs membutuhkan segenap keberaniannya untuk menghadapi kongres. Ulrichs meminta pada anggota kongres mempertimbangkan kembali isi hukum pidana berkenaan dengan “kelompok orang yang terpaksa harus menghadapi tuduhan dengan dasar lemah yang hanya didasarkan pada pilihan seksual yang berlawanan dari apa yang umum.”
Belum juga rampung, sebagian yang hadir meminta Ulrichs menghentikan pidatonya. Salah seorang anggota kongres, Jaksa Agung Schwarze dari Dresden, menyebut pidato tersebut bertentangan dengan hukum dan sesuatu yang memalukan.
Sementara Karl Maria Kertbeny, penulis-cum-aktivis hak asasi manusia dari Hungaria, mengajukan protesnya terhadap paragraf 143 dengan menerbitkan sejumlah pamflet tanpa nama. Dalam pamflet-pamflet itulah, untuk kali pertama, dia menggunakan kata homoseksual. Dalam sebuah penjelasan mengenai klasifikasi seksualitas manusia yang dibuat pada 1869, Kertbeny menggunakan istilah homosexual untuk menggantikan istilah sodomite dan pederast yang bermakna negatif. Dia menggunakan homoseksual untuk menggambarkan ketertarikan orang-orang dengan jenis kelamin yang sama. Juga ketertarikan antara laki-laki dan perempuan untuk heteroseksual serta monoseksual untuk orang-orang yang melakukan masturbasi.
Sebelum istilah homoseksual menjadi umum, ada banyak nama yang digunakan untuk menggambarkan laki-laki dan perempuan yang tertarik dengan sesama jenis. Charles Lasègue menyebut mereka eksibisionis, Alfred Binet menamai mereka fetisis, Richard von Kraft-Ebbing merujuk mereka dengan sebutan zoofili dan zoerast, sementara Rohleder menamai mereka oto-monoseksualis.
Menurut Judith Takacs dalam The Double Life of Kertbeny, Kertbeny tak menggunakan argumentasi biologis untuk membela kaum homoseksual. Alih-alih dia berargumen bahwa sebuah negara modern tak seharusnya masuk ke ranah privat warganya. Hubungan seksual atas dasar suka sama suka di ranah privat tak seharusnya menjadi subjek dari hukum pidana. Hukum pidana Prusia, khususnya paragraf 143, adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia.
Kertbeny juga berpandangan kecenderungan untuk menjadi seorang homoseksual adalah bawaan lahir dan tak dapat diubah. Pandangan ini bertentangan dengan anggapan yang berlaku saat itu bahwa orang-orang melakukan sodomi semata karena sifat “jahat” mereka.
Dalam catatan hariannya, seperti ditunjukkan Takacs, Kertbeny sudah memperhatikan sepakterjang Ulrichs. Keduanya kemudian cukup lama berkorespondensi dan bertukar pikiran mengenai kaum gay. Penangkapan Ulrichs pada 1865 dan 1867 membuat Kertbeny ketakutan. Dalam catatan harian ini pula Kertbeny mengungkapkan ketertarikannya pada beberapa orang pria muda dan kedekatannya dengan beberapa orang dari mereka, setelah nyaris seluruh hidupnya Kertbeny selalu menggarisbawahi preferensi seksualnya yang “normal.”
Keduanya tetap konsisten menolak pemberlakuan paragraf 143, sekalipun upaya mereka membentur tembok tebal. Ulrichs akhirnya meninggalkan negaranya dan menghabiskan limabelas tahun sisa hidupnya di Italia. Meski teorinya tak mendapat banyak dukungan, dia berkontribusi terhadap persepsi yang berkembang pada abad ke-19 mengenai homoseksual. Dia meninggal pada 1895 sebagai orang miskin, hampir dilupakan oleh rekan-rekannya dalam perjuangan untuk emansipasi kaum homoseksual. Sementara Kertbeny meninggal pada 1882 tanpa sempat melihat penggunaan istilah homoseksual secara luas.
Pada 1 September 1935, setelah mengalami perubahan hingga menjadi paragraf 175, Nazi memberlakukan secara resmi dan menggunakannya sebagai pijakan hukum untuk mengirimkan orang-orang yang dicurigai sebagai homoseksual ke penjara atau kamp konsentrasi. Kementerian Kehakiman memperluas kategori “aktivitas kriminal yang tak senonoh antar (sesama) laki-laki” dengan memasukkan tindakan apapun yang dapat dianggap sebagai tindakan homoseksual.
Bagi Nazi, homoseksualitas mengancam “kemurnian ras Arya.” Di kamp-kamp konsentrasi orang-orang yang dituduh homoseksual ditandai dengan pita merah muda berbentuk segitiga. Menurut sebuah artikel berjudul “Persecution of Homosexual in the Third Reich” di situs Holocaust Encyclopedia, tahanan ini menerima deraan paling keras seperti membersihkan salju dengan tangan telanjang atau menjadi target hidup di lapangan tembak. Preferensi seksual mereka dijadikan dasar perlakuan tak manusiawi dari sesama tahanan, juga penjaga kamp.
Homofobia yang diterapkan Nazi menyebar ke negara lain, termasuk Negeri Belanda pada akhir 1930-an dan kemudian ke Hindia Belanda di masa yang sama.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar