Pertaruhan Sukarno untuk Papua
Dengan berbagai cara Bung Karno mengupayakan Indonesia Raya dari Sabang sampai Merauke terwujud. Menyatukan semua unsur dalam negeri hingga memanfaatkan Perang Dingin.
Dengan bergabungnya Papua, maka paripurnalah Republik Indonesia. Begitu kira-kira keyakinan Bung Karno terhadap kepulauan di ujung timur Nusantara itu. Sayangnya, harapan itu mesti diperjuangkan lantaran Belanda masih bercokol di Papua kendati Indonesia sudah merdeka.
“Sejak Konferensi Meja Bundar ditandatangani akhir Desember 1949, Bung Karno merasa bahwa kemerdekaan RI itu belum utuh secara teritorial. Itulah yang diperjuangkannya sampai tahun 1963,” kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam kepada Historia.
Perjuangan memasukan Papua itu telah dimulai sejak 1950, setahun setelah pengakuan kedaulatan. Belanda terus-terusan mangkir untuk membicarakan persoalan Papua. Alasan mempertahankan Papua dalam kuasa panji tri warna meliputi berbagai dalih. Mulai dari identitas Papua yang berbeda etnis dengan Indonesia hingga upaya dekolonisasi untuk menjadikan Papua sebagai negara sendiri.
Baca juga:
Duri dalam Daging Bernama Irian Barat
Tahun demi tahun masalah Papua berlalu tanpa penyelesaian. Selama satu dekade, tujuh kabinet silih berganti memerintah. Mulai dari Kabinet Natsir hingga Kabinet Juanda, persoalan Irian Barat selalu masuk agenda program kerja kabinet. Namun, semuanya berujung kandas. Sukarno sendiri tidak dapat berbuat banyak. Sistem pemerintahan parlementer saat itu menutup celah bagi kepala negara menentukan jalannya pemerintahan.
Sukarno Bertindak
Selama warsa 1950-an, menurut Bernard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, kedudukan Sukarno sebagai presiden tidak lebih dari simbol belaka. Segala tindakannya harus atas persetujuan perdana menteri yang bertanggung jawab terhadap parlemen. Keputusan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang pun harus ditandatangani oleh menteri pertahanan. Satu-satunya hak prerogatif politik yang dimiliki Sukarno adalah menunjuk seseorang atau beberapa orang untuk menjadi formatur kabinet. Menghadapi Belanda dalam kondisi demikian terbukti menyulitkan penyelesaian persoalan Papua yang saat itu masih disebut Irian Barat.
Untuk menyatukan semua unsur dalam negeri, Sukarno kemudian menggagas sistem Demokrasi Terpimpin. Sukarno menyatakannya dalam Konsepsi Presiden pada 21 Februari 1957. Karena belum mendapat dukungan mutlak, untuk sementara Demokrasi Terpimpin belum dapat direalisasikan. Namun seiring waktu, keadaan politik dalam negeri semakin bergejolak menyusul kegagalan Konstituante merumuskan dasar negara yang baru.
Baca juga:
Pada 5 Juli 1959, Sukarno bertindak. Dia mengeluarkan Dekrit Presiden yang membawa negara kembali kepada UUD 1945. Momentum itu sekaligus menjadi kesempatan bagi Sukarno memberlakukan Demokrasi Tepimpin. Dengan begitu, Sukarno punya otoritas merestorasi politik dalam negeri menjadi terpusat di bawah kendalinya. “Dengan perlengkapan berupa slogan-slogan, Sukarno mendorong rakyatnya ke arah tugas nation building, membangun suatu bangsa yang bersatu,” kata John David Legge dalam Sukarno: Sebuah Biografi Politik.
Presiden Sukarno kemudian membentuk kabinet baru bernama “Kabinet Kerja” yang tanpa lagi melibatkan persetujuan dari partai-partai politik. Kabinet ini memprioritaskan program kerjanya terhadap tiga hal mendesak: sandang pangan bagi rakyat, pemulihan keamanan, dan perjuangan Irian Barat. Sejak itu, politik luar negeri Indonesia dapat difokuskan sepenuhnya untuk membebaskan Irian Barat dengan Sukarno sebagai pemuka utamanya.
Sukarno menggalang kekuatan dengan menyalakan kembali semangat revolusi seperti di masa kemerdekaan. Menurutnya seperti dinyatakan dalam pidato kenegaraan “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959, revolusi masih belum selesai dan baru akan pungkas setelah terwujud kekuasaan Indonesia seutuhnya dari Sabang sampai Merauke.
Baca juga:
“Kita akan memperbesar wilayah kekuasaan kita itu dengan memasukan kembali Irian Barat! Malahan kita akan mempersatukan kembali Bangsa Indonesia itu, dengan membebaskan Irian Barat. Dunia luar harus tahu, bahwa mengenai pembebasan Irian Barat itu kita tidak main-main dan tidak mengenal kompromis!” seru Sukarno.
Berdiri di Atas Adikuasa
Di bawah Sukarno, kebijakan Indonesia dalam masalah Irian Barat lebih konfrontatif untuk menekan Belanda. Hal ini dibuktikan ketika Indonesia memutuskan hubungan diplomatiknya terhadap Belanda pada 17 Agustus 1960. Saat itu, Sukarno berang karena Belanda mengirimkan kapal induk satu-satunya “Karel Doorman” ke Papua untuk pawai kekuatan.
Untuk mengimbangi Belanda yang didukung para sekutunya, Sukarno menjalin pergaulan internasional seluas-luasnya. Dari sini Indonesia berhasil menggalang dukungan diplomatik dari negara-negara Asia-Afrika dan Blok Timur yang sehaluan menetang kolonialisme. Selain itu, Sukarno juga mencurahkan perhatiannya untuk memperkuat Angkatan Perang Indonesia. Dana ratusan juta dollar AS digelontorkan guna memborong senjata mutakhir dari Uni Soviet.
Baca juga:
Urusan belanja senjata ini dipercayakan Sukarno kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama, Nasution tercatat beberapa kali bolak-balik Jakarta-Moskow menyelesaikan kontrak pembelian senjata. Kecuali Indonesia dan Mesir, tidak semua negara diperkenankan membeli senjata berat dari Uni Soviet. Tidak ayal, jasa Uni Soviet dalam memodernisasi peralatan tempur Indonesia menjadikan Angkatan Perang RI sebagai kekuatan militer terkuat dibelahan bumi bagian selatan.
Menurut Johannes Soedjati Djiwandono dalam Konfrontasi Revisited: Indonesia’s Foreign Policy Under Soekarno, Sukarno menempatkan Uni Soviet sebagai kekuatan penyeimbang menghadapi Belanda yang berlindung di belakang Amerika Serikat (AS) beserta sekutu Blok Barat. Sementara itu, pemerintah AS di bawah rezim John. F. Kennedy memantau penuh was-was. Para penasihat Kennedy untuk Urusan Keamanan Nasional (NSA) menyaksikan Sukarno seperti tidak terbendung lagi. Mereka menyarankan Kennedy untuk bertindak cepat dan sesegera mungkin.
“Cepat atau lambat, orang Indonesia akan mendapatkan Irian Barat,” demikian disampaikan Walt Whitman Rostow, Deputi Asisten Khusus Kepresidenan untuk Urusan Luar Negeri, kepada Presiden Kennedy seperti termuat dalam arsip departemen luar negeri Amerika, Foreign Relations of the United States, 1961–1963, Volume XXIII, Southeast Asia, Document 205.
Baca juga:
Memasuki tahun 1962, perjuangan Indonesia dalam sengketa Irian Barat menemui puncaknya. Sukarno bertekad untuk membebaskan wilayah itu dari Belanda dengan jalan apapun. Mau jalan damai lewat perundingan atau kekerasan yang berarti perang, Belanda tinggal pilih.
“Tidak perduli Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan meskipun meminjam tangannya setan, aku tidak perduli. Ya, meskipun tangannya setan. I do not care. I do not mind, asal Irian Barat pada tahun ‘62 ini juga kembali kepada kita, kepada Indonesia,” kata Sukarno di Palembang, 10 April 1962. Seruan itu termaktub dalam pidato Sukarno berjudul “Seluruh Rakyat dari Sabang sampai Merauke Bertekad Membebaskan Irian Barat dalam Tahun ini juga”.
Dan benar saja, tahun itu juga Irian Barat dikembalikan kepada Indonesia. Setelah mendapat desakan dari AS, Belanda bersedia mengakhiri kekuasaannya atas Irian Barat. Penyerahan Irian Barat kepada Indonesia disepakati dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Sukarno, pada perayaan hari kemerdekaan dua hari hari kemudian menyebutnya sebagai “Tahun Kemenangan” (A Year of Triumph) sebagaimana judul pidato kenegaraannya. Dengan demikian, terwujudlah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar