Pernyataan Tidak Anti-Republik hingga Penangkapan Amir Sjarifuddin
Berikut ini sejarah revolusi sosial di Sumatra Timur, kibarkan Merah-Putih di Irian Barat, Jakarta kebanjiran, pampasan perang Jepang, Belanda menduduki Istana Aceh, dan Amir Sjarifuddin ditangkap Jepang.
2 Januari 1946 Pernyataan Tidak Anti Republik
Kesultanan Melayu di Sumatra Timur mengeluarkan pernyataan bersama bahwa mereka tidak anti-Republik. Pernyataan ini disampaikan dalam suatu pertemuan antara pihak Republik dan kesultanan. Wakil Gubernur Dr. Amir mewakili pemerintah Indonesia. Satu-satunya sultan yang menghadiri adalah Sultan Langkat, sedangkan kesultanan lain mengirimkan utusan.
Pernyataan ini dikeluarkan menyusul terjadinya peristiwa Perang Tjumbok di Aceh sebelas hari sebelumnya. Dalam peristiwa itu banyak bangsawan Aceh (uleebalang) yang dicurigai anti-Republik dibantai berikut keluarganya. Harta benda istana disita.
Namun, di bawah tekanan kelompok kiri, Dr. Amir menjadi orang pertama yang mengumumkan revolusi sosial dua bulan kemudian. Lewat serangkaian aksi anarkis, laskar-laskar rakyat menyerang istana-istana kesultanan. Amir Hamzah, sastrawan kenamaan dari keluarga Kesultanan Langkat, terbunuh akibat serbuan massa. Revolusi itu menamatkan riwayat Kesultanan Melayu di Sumatra Timur.
6 Januari 1962 Merah-Putih akan Berkibar di Irian Barat
Dalam sebuah rapat akbar di Parepare, Makassar, Presiden Sukarno berseru, “Merah-Putih” akan berkibar di Irian Barat (kini, Papua) pada tahun itu juga. Sukarno menerangkan bahwa provinsi Irian Barat yang beribukota Kotabaru sudah terbentuk. Gubernur Irian Barat juga sudah diangkat, tetapi Sukarno tak menyebutkan nama dengan alasan keselamatan diri si gubernur.
“Kekuatan duniawi yang bagaimanapun tidak dapat menundukkan meluapnya semangat 96 juta rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari penjajahan,” demikian petikan pidato Presiden Sukarno dilansir Warta Bakti, 7 Januari 1962.
Dalam kampanye pembebasan Irian Barat itu, ikut seorang pemuda asal Irian Barat bernama Frits Kirihio. Frits turut memberi sambutan yang mendukung pemerintah Indonesia. Hal ini membuat pemerintah Belanda marah mengingat Frits adalah mahasiswa Universitas Leiden yang dibiayai amtenar Belanda di Irian Barat.
19 Januari 1977 Jakarta Kebanjiran
Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Banjir paling parah melanda kawasan Jakarta Pusat seperti Cempaka Putih, Gambir, Cipinang Besar, Cakung, Bidara Cina, dan sekitarnya. Banjir juga melanda kawasan elite seperti Jalan Medan Merdeka Selatan, Merdeka Timur, Monas, Senen, dan Sarinah.
Banjir besar tersebut, dilansir Warta Berita, 19 Januari 1977, mengakibatkan Gedung RRI terendam air setinggi 80 cm dan tak dapat mengudara. Penundaan penerbangan juga terjadi di Lapangan Udara Kemayoran karena landasan tergenang air.
“Banjir terjadi karena adanya pengembangan daerah Kuningan sehingga daerah tangkapan air Waduk Setiabudi semakin meluas,” tulis Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal. Diperkirakan 100.000 warga Jakarta terpaksa mengungsi akibat banjir itu.
Baca juga: Ganti Rugi Penjajahan dari Jepang
20 Januari 1958 Kesepakatan Pampasan Perang
Menteri Luar Negeri Jepang Aiichiro Fujiyama dan Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio menandatangani perjanjian pampasan perang di Jakarta. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 14 Pakta Perdamaian San Francisco, Jepang diwajibkan membayar pampasan perang kepada bekas negeri jajahannya.
Terlampir dalam sembilan dokumen itu, seperti ditulis Masashi Nisihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, & Pampasan Perang: Hubungan Indonesia Jepang, 1951–1961, isi kesepakatan tersebut:
1. Jepang akan membayar US$223.080.000 kepada Indonesia selama periode dua belas tahun.
2. Penghapusan utang niaga Indonesia sebesar US$176.920.000.
3. Kesediaan Jepang untuk memberikan bantuan ekonomi sebesar US$400.000.000.
Presiden Sukarno menggunakan hasil pampasan perang itu untuk membiayai proyek-proyek mercusuarnya. Salah satunya Toserba Sarinah.
Baca juga: Jenderal Belanda Tewas di Aceh
24 Januari 1874 Belanda Menduduki Istana Aceh
Istana Sultan Aceh jatuh ke tangan serdadu Belanda pimpinan Letnan Jenderal Jan van Swieten. Swieten menggantikan Jenderal Johan Kohler yang tewas tertembak pejuang Aceh dalam ekspedisi pertama penaklukkan Aceh. Sebanyak 8.500 serdadu penempur, 4.300 pelayan dan kuli, serta 1.500 pasukan cadangan dikerahkan Swieten untuk menyerang istana.
Sultan Mahmud Syah yang terdesak menyingkir ke pegunungan Leungbata. Dalam pelariannya, Sultan mangkat akibat terjangkit wabah kolera. Kendati demikian, rakyat Aceh tetap melanjutkan perjuangan.
“Orang Aceh menolak semua upaya van Swieten untuk mengadakan perundingan, sampai-sampai mereka membunuh utusan pertama yang dikirimkan van Swieten,” tulis Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh. Perang yang kemudian dikenal sebagai Perang Aceh atau Aceh Oorlog itu baru berakhir pada 1904.
30 Januari 1943 Amir Sjarifuddin Ditangkap
Polisi Rahasia Jepang (Kenpeitai) dari Surabaya datang ke Jakarta untuk meringkus pentolan PKI ilegal, Amir Sjarifuddin. Amir ditangkap ketika menghadiri pertemuan dengan 53 orang lainnya; semuanya aktivis Gerindo dan Parindra yang kini bergabung di dalam PKI ilegal.
Amir didakwa membentuk gerakan antifasis menentang pendudukan militer Jepang dan memprovokasi serangkaian aksi mogok. Untuk menjerat Amir, Kenpeitai Surabaya mengamankan barang bukti berupa rekaman penerimaan uang Amir dari pemerintah Belanda untuk membiayai gerakan perlawanan bawah tanah. Dana tersebut diberikan Charles van der Plas yang tak lain Gubernur Jawa Timur. Bersama lima orang rekannya, Amir divonis hukuman mati.
Sepupu Amir, Sutan Goenoeng Mulia, mendatangi Mohammad Hatta agar memintakan pengampunan bagi Amir. Alasannya, eksekusi Amir akan menyebabkan pergolakan dalam masyarakat. Berkat lobi Sukarno ke pihak Jepang, hukuman Amir diubah menjadi seumur hidup.*
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 27 Tahun III 2016
Tambahkan komentar
Belum ada komentar