Perkara Tombol Panggil di Kantor DPP Golkar
Supaya praktis dalam memanggil para petinggi untuk merapat, kantor Dewan Pimpinan Pusat Golkar dilengkapi fasilitas tombol panggil. Diprotes Sekjen Golkar karena mencerminkan hirarki.
DALAM Musyawarah Nasional (Munas) Golkar ke-III pada Oktober 1983, Sudharmono ditetapkan menjadi ketua umum (ketum). Selain Ketua Umum Golkar, dalam pemerintahan Sudharmono juga menjabat menteri sekretaris negara (mensesneg). Sementara itu, jabatan sekretaris jenderal (sekjen) Golkar dipercayakan kepada tokoh muda Ir. Sarwono Kusumaatmadja.
“Hasil penting Munas III antara lain adalah penegasan kembali Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Golongan Karya. Dicetuskan pula program trisukses -- yang diilhami oleh pengarahan Ketua Dewan Pembina Golongan Karya Soeharto pada Munas III. Trisukses mencakup konsolidasi idiil, konsolidasi wawasan, dan konsolidasi organisasi,” demikian termaktub dalam manuskrip 20 Tahun Golkar.
Sebagai sekjen, Sarwono dibantu oleh empat wakil sekjen. Mereka adalah: Akbar Tandjung, A.A. Oka Mahendra, Sudarmadji, dan David Napitupulu. Di bawah kepemimpinan Sudharmono, susunan DPP Golkar ini bertugas untuk periode 1983—1988.
Baca juga: Sudharmono Bukan PKI
Sekali waktu, pagi-pagi, Sarwono seperti biasa datang ke kantor DPP Golkar di Slipi, Jakarta Barat. Tampak olehnya seorang teknisi sedang memasang peralatan elektronik di tempat itu. Ternyata teknisi tersebut menyiapkan alat panggil supaya ketum bisa menghadirkan sekjen di ruang kerjanya. Dengan cara memencet tombol dari ruang kerja Sudharmono, maka bel akan berbunyi di ruang kerja Sarwono. Begitulah kira-kira alat kerja tombol panggil itu. Sarwono rupanya kurang berkenan.
“Cara itu saya pikir tidak sesuai dengan suasana kolegial yang dianjurkan oleh Ketua Umum,” tutur Sarwono dalam Memoar Sarwono Kusumaatmadja: Menapak Koridor Tengah.
“Saya enggak mau dipanggil dengan cara itu,” kata Sarwono kepada teknisi. “Kalau Pak Dhar (Sudharmono) perlu kehadiran saya di ruang kerjanya, Beliau bisa telepon saya atau kirim orang untuk memberi tahu saya. Saya engga mau di 'ting-tong'. Copot semua peralatan!” katanya tegas.
Baca juga: Djamin Gintings Sesepuh Golkar yang Tersisih
“Yang ini mesti dicopot juga ya, Pak?” tanya teknisi.
“Nanti dulu. Saya mau coba,” ujar Sarwono yang kemudian memencet semua tombol satu per satu.
Tombol panggil itu berfungsi dengan baik. Dalam sekelebat saja, semua wakil sekjen datang ke ruang kerja Sarwono sambil membawa buku catatan di tangan. Mereka tidak keberatan dipanggil dengan cara demikian. Sebaliknya, Sarwono menyatakan sikap yang berlawanan atas cara pemanggilan seperti itu.
“Kok mau-maunya kalian diperlakukan begitu, dipanggil lewat ting-tong? Kita kan kolega, sama-sama dipilih lewat Munas. Pak Dhar juga minta kita membangun suasana kolegial. Kan saya bisa kirim orang kalau saya perlu kalian, saya bisa telepon atau saya bisa datang ke tempat kalian,” terang Sarwono.
“Busuk kau!” kata David Napitupulu.
“Sialan lu!” sahut Akbar Tandjung.
Baca juga: Umpatan Serdadu Belanda di Danau Toba
Mendengar umpatan-umpatan khas itu, Oka Mahendra hanya senyum-senyum kecil. Tiba-tiba, Sudarmadji ikutan celetuk.
“Dobhol!” balas Sudarmadji, yang orangnya berperangai serius.
Kata dobhol (dalam bahasa Jawa berarti pantat), adalah umpatan baku Sudarmadji setelah tahu dirinya dipermainkan. Menurut Sarwono, dalam setahun bisa empat kali kata itu diucapkan Sudarmadji. Meski pada mengomel, reaksi para wakil sekjen itu sejatinya hanya berkelakar dan mafhum maksud Sarwono. Mereka adalah kawan lama yang kebanyakan berlatar belakang aktivis Angkatan 66. Setelah itu suasana ruangan kerja di DPP Golkar menjadi ceria dan kembali ke tahun-tahun sebelumnya.
Baca juga: Serba-serbi Demonstrasi 1966
Dalam Pemilu 1987, perolehan suara Golkar meningkat dari 64 persen menjadi 74 persen. Setelah selesai menjadi ketua umum Golkar, Sudharmono kemudian dipilih mendampingi Presiden Soeharto sebagai Wakil Presiden RI ke-5 periode 1988—1993. Sementara itu, Sarwono sang sekjen meskipun tidak naik menjadi ketua umum, kiprahnya juga terus menanjak.
Sarwono ditarik ke dalam kabinet untuk mengemban jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (1988—1993) dan kemudian Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993—1 998). Di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, Sarwono menjadi Menteri Eksplorasi (1999—2001). Terakhir, Sarwono bertugas sebagai anggota DPRD DKI Jakarta periode 2004—2009. Sarwono wafat pada 26 Mei 2023, di Rumah Sakit Advent Penang, Malaysia.
Dari empat wakil sekjen DPP Golkar 1982, hanya satu yang kemudian menjadi ketua umum Golkar, yakni Akbar Tandjung. Akbar memimpin Golkar memasuki era reformasi 1998 hingga 2004. Sampai saat ini, Akbar Tandjung masih menjadi salah satu sesepuh Partai Golkar.
Baca juga: Golkar Sepeninggal Daripada Soeharto
Tambahkan komentar
Belum ada komentar