Penyingkiran Jaksa Agung Soeprapto
Bersikap independen dan menjalankan tugas sesuai putusan pengadilan, Soeprapto justru disingkirkan. Mengakui dirinya punya banyak musuh.
H.C.G.J. Schmidt, kapten KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), bernapas lega. Setelah menjalani kurungan lima tahun penjara akibat terlibat dalam DI/TII, dia bebas pada Maret 1959. Pengadilan Tinggi menyatakan hukumannya telah berakhir. Dia segera meninggalkan Indonesia untuk kembali ke Belanda.
Pembebasan Schmidt jadi polemik besar. Media massa seperti Harian Rakjat, Republik, Sin Po, dan Merdeka mengecam keras pembebasan Schmidt. Anggota parlemen juga menilai pengadilan di Indonesia telah kebobolan atas bebasnya Schmidt yang dianggap musuh negara itu. Organisasi massa berdemonstrasi meminta pengusutan terhadap oknum pengadilan yang membebaskan Schmidt.
Schmidt sebenarnya divonis hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri. Tapi, dia banding ke Pengadilan Tinggi. Setelah mempelajari laporan proses verbal setebal 800 halaman, hakim di Pengadilan Tinggi mengabulkan banding Schmidt. Menurut mereka, bukti keterlibatan Schmidt tak terlalu kuat. Tapi, dia tetap dianggap bersalah. Hukumannya hanya lima tahun penjara.
Kasus Schmidt telah berlangsung lima tahun. Selama itu pula dia menjalani masa tahanan. Itu artinya waktu penahanannya telah berakhir. Pengadilan Tinggi menyatakan dia sudah bebas. Salinan itu kemudian dikirim ke Raden Soeprapto, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung merangkap Jaksa Tentara Agung.
Baca juga: R. Soeprapto, Jaksa Agung Perintis Reformasi Hukum
Kepada Soeprapto-lah, orang-orang menumpahkan kemarahannya atas pembebasan Schmidt. “Ia dituduh sebagai tokoh yang kontra-revolusi karena membebaskan Schmidt,” tulis Fachrizal Afandi, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, dalam “Peran Jaksa Agung R. Soeprapto dalam Reformasi Hukum Republik Indonesia”.
Menanggapi pembebasan Schmidt, menteri kabinet mengadakan rapat darurat di Jakarta pada 31 Maret 1959. Hasilnya, mereka akan segera memberhentikan Soeprapto dari Jaksa Agung sekaligus Jaksa Tentara Agung pada 1 April 1959. Pemberhentian ini bertujuan untuk menyelidiki perkara pembebasan Schmidt.
“Menurut pemerintah, Soeprapto telah bertindak independen jauh dari kebijakan pemerintah dalam kasus pengeluaran Schmidt,” tulis Iip D. Yahya dalam biografi Raden Soeprapto, Mengadili Menteri Memeriksa Perwira.
Pemerintah menunjuk Mr. Gatot Tarunamihardja sebagai pejabat Jaksa Agung untuk menjadi pengisi jabatan sementara. Keputusan ini mendapat dukungan penuh dari banyak pihak: anggota parlemen, media massa, dan organisasi masyarakat.
Tapi keberatan dan pertanyaan terhadap keputusan pencopotan Soeprapto juga mengemuka. Antara lain dari surat kabar Pedoman, Sin Po, dan Persatuan Jaksa-Jaksa (Perjasa).
Mr. Oemar Seno Adji, selaku pengurus besar Persaja, mengaku terkejut atas keputusan tersebut. Dia menyesalkan keputusan itu diambil tanpa mendengar keterangan dari Soeprapto.
Saat keputusan tersebut keluar, Soeprapto sedang berada di Jawa Timur menghadiri peringatan hari wafatnya ibunya. Dia baru kembali ke Jakarta pada 3 April 1959. Dia juga menyesalkan keputusan tersebut.
Baca juga: Larangan Jaksa Agung Membicarakan Politik di Rumah Ibadah
Soeprapto memang menerima telepon dari Perdana Menteri Djuanda ketika kembali ke Jakarta. Djuanda menjelaskan alasan pemberhentian Soeprapto. Esok harinya, Menteri Kehakiman Maengkom datang ke kantor Soeprapto dan mengabarkan tentang pemeriksaan terhadap Soeprapto.
Maengkom mengatakan, Soeprapto akan diperiksa oleh dua Jaksa Agung Muda bawahannya. Karuan Soeprapto keberatan. Dia merasa yang berhak memeriksanya adalah atasannya, yaitu Menteri Kehakiman atau yang setingkat.
Maengkom berjanji akan meneruskan keberatan Soeprapto kepada komisi pemeriksa kasus Schmidt. Tapi hingga kasus itu mereda, Soeprapto tak pernah dimintai keterangan.
Menurut Soeprapto, dirinya hanya menjalankan keputusan Pengadilan Tinggi. Pembebasan dan keluarnya Schmidt juga sudah diketahui oleh Maengkom. “Dialah yang memberi izin untuk membawa Schmidt ke luar negeri,” tulis Iip.
Versi Soeprapto, setelah salinan dari Pengadilan Tinggi (PT) keluar, seorang perwakilan Belanda mendatanginya. Dia bertanya tentang kemungkinan membawa pergi Schmidt. Soeprapto bilang, hal itu bisa saja. Soeprapto juga mengatakan kepergian Schmidt harus sepengetahuan dan seizin Menteri Kehakiman.
Perwakilan Belanda lalu menemui Maengkom. Di sinilah peran Menteri Kehakiman dalam meluluskan permintaan perwakilan Belanda itu. “Maengkom menyatakan bahwa jika Schmidt dibebaskan oleh PT maka tidak ada halangan baginya untuk membawa Schmidt secepatnya ke luar negeri,” tulis Iip.
Soeprapto menganggap pencopotan itu sebagai risikonya sebagai Jaksa Agung. Dia mengakui mempunyai banyak musuh akibat sepak terjangnya. Tapi dia tidak ingin menyebut pencopotannya sebagai buah dari konspirasi besar. Dia juga tak mau dianggap sebagai martir keadilan.
Baca juga: Mereka yang Dihabisi Karena Memberantas Korupsi
Fachrizal mencatat, upaya penyingkiran Soeprapto telah berlangsung sejak 1957. Ini terjadi ketika militer mulai mengontrol pemerintahan sipil dengan UU 74/1957 tentang Keadaan Darurat. Dari sini, militer mencoba mengambil alih Kejaksaan.
“Pada tahun 1958, militer mengajukan peraturan pemerintah, yang menetapkan bahwa penyidikan yang dilakukan Kejaksaan kepada personel militer harus mendapatkan izin dari komandan,” tulis Fachrizal. Soeprapto menentang rencana itu. Tapi pemerintah justru menerima usul militer dan memberlakukannya.
Dari sinilah upaya penyingkiran Soeprapto terus bergulir. Hingga tibalah momentum itu pada kasus Schmidt. Pengganti Soeprapto hanya bertahan empat bulan. Selama empat bulan, Gatot berusaha menjaga independensi Kejaksaan. Tapi dia gagal.
“Tanpa disadari, pemberhentian Soeprapto akhirnya menandai terpinggirnya institusi hukum di Indonesia,” tulis Khunaifi Alhumami, kepala Kejaksaan Negeri Ponorogo, dalam “Kejaksaan Republik Indonesia: Lembaga Penegak Hukum di antara Bayang-bayang Dua Kaki Kekuasaan” termuat dalam Bunga Rampai Kejaksaan Republik Indonesia.
Posisi Jaksa Agung pun beralih ke kalangan militer dan politisi. Dengan demikian, Jaksa Agung berada di bawah kontrol eksekutif dan militer. Berakhirlah era yang disebut Daniel Lev, Indonesianis sekaligus pakar sejarah hukum Indonesia, masa keemasan hukum pidana Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar