Larangan Jaksa Agung Membicarakan Politik di Rumah Ibadah
Kontroversi Raden Soeprapto semasa jadi Jaksa Agung. Surat edarannya diprotes ormas Islam.
Raden Soeprapto, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung periode 1950–1959, diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Selama menjadi jaksa, dia dipandang memiliki integritas dan berjasa dalam memperbaiki keadilan dan hukum di Indonesia.
“[Dia] Membangun institusi kejaksaan, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, memberi contoh bagi bawahan dan keluarga, bekerja melebihi tugasnya, berjuang sepanjang hayat,” kata Asvi Warman Adam, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam seminar “Pengusulan Jaksa Agung R. Soeprapto Sebagia Pahlawan Nasional” via zoom, Rabu (17/03).
Tapi sepak terjang Soeprapto pun tak luput dari kontroversi. Iip D. Yahya, penulis buku Mengadili Menteri Memeriksa Pewira, mencatat serangkaian keputusan kontroversial Soeprapto. Salah satunya terjadi ketika Soeprapto mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung No. 9/Plk/04/1632, 17 Juni 1953.
Baca juga: R. Soeprapto, Jaksa Agung Perintis Reformasi Hukum
Isi surat tadi larangan pidato dan membicarakan politik di masjid, surau, pesantren, dan gereja. “Surat edaran ini perlu kami keluarkan, berhubung dengan kejadian-kejadian di belakang ini, yang mudah dapat membahayakan keamanan dalam negeri, dengan akibat-akibat yang tidak diinginkan,” kata Soeprapto, seperti dikutip Iip.
Kala itu, situasi politik dalam negeri tengah panas. Sistem parlementer atau demokrasi liberal yang dianut Indonesia memberi kebebasan bagi tiap orang untuk berpendapat. Ini merembet kepada saling serang antarkelompok politik dan aliran. Kabinet pun gontok-gontokan. Para pendukung partai saling caci dan tuduh. Muncul pula pergolakan di daerah.
Tak jarang serangan dari satu kelompok ke kelompok lainnya membawa-bawa agama. “Hasutan dan agitasi golongan agama yang satu terhadap golongan agama yang lain adalah berbahaya sekali untuk persatuan bangsa kita, dan juga untuk ketenteraman dan keamana di dalam masyarakat,” catat surat kabar Pedoman dalam Lembaran Berita Antara 1953 seperti dikutip Iip.
Soeprapto gelisah melihat perkembangan seperti itu di masyarakat. Karena itulah Soeprapto merasa perlu bertindak. Sebagai Jaksa Agung, dia berwenang mengeluarkan surat edaran itu. Lengkap dengan peringatan jika ada orang yang melanggar larangan itu.
Baca juga: Jaksa Masuk Desa, Bukan Sekadar Cari Perkara
“Bertindak sekeras-kerasnya, terhadap barang siapa yang melanggar Pasal 156 KUHP yang mengeluarkan ucapan kebencian, permusuhan, atau penghinaan terhadap sesuatu golongan penduduk di negara Indonesia,” tulis surat edaran itu.
Tiga hari setelah beredar, surat itu mendapat protes keras dari ormas Islam. “Protes itu pada intinya mengemukakan keberatan atas berlakunya larangan itu, karena dianggap mengurangi hak asasi rakyat dalam membicarakan soal-soal masyarakat dan negara,” tulis Iip.
Ormas Islam meyakini Islam tak memisahkan politik dari agama. Mereka mengatakan politik bagian dari Islam. Selain ormas Islam, sejumlah media juga menyatakan keberatannya terhadap surat edaran itu. Keng Po, surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, mengakui ada keterkaitan antara agama dan politik. “Melarang pembicaraan politik di dalam mesjid dan gereja merupakan perkosaan terhadap hak-hak asasi dari kemerdekaan beragama dan berbicara,” catat Keng Po.
Sin Po, surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu, juga berpendapat serupa. “Harian merasa khawatir bahwa perumusan di dalam surat edaran itu memberikan kelonggaran yang luas untuk adanya tafsiran yang bermacam-macam, yang dapat menimbulkan reaksi dan kegelisahan yang lebih besar lagi.”
Meski Keng Po dan Sin Po berkeberatan dengan rumusan surat edaran itu, mereka tetap sepakat dan memahami alasan Soeprapto mengeluarkannya. Mereka sama resahnya dengan Soeprapto melihat kelompok masyarakat saling hantam dengan cara-cara barbar.
Baca juga: Mereka yang Dihabisi Karena Memberantas Korupsi
Sementara itu, perwakilan ormas Islam meminta pertemuan dengan Soeprapto. Sadar surat edaran itu membuat kegaduhan, Soeprapto meluluskan permintaan itu. Dia bersedia berbicara dengan perwakilan ormas Islam pada 1 Juli 1953.
“Dalam kesempatan ini, Jaksa Agung menjelaskan bahwa surat edarannya tidak bermaksud melanggar hak-hak asasi manusia,” tulis Iip.
Perwakilan ormas Islam kekeuh meminta surat itu dicabut. Mereka mengajukan landasan penolakan dari sisi yuridis, politis, psikologis, dan agama. Setelah berdebat, Soeprapto dan perwakilan ormas Islam akhirnya mencapai titik kompromi.
Surat edaran itu tetap berlaku. Tapi isinya berubah menjadi “Mengawasi di mana-mana saja supaya jangan terjadi pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia atau sesuatu atau beberapa golongan penduduk negara Indonesia di muka umum.”
Perubahan isi surat itu meredam ketegangan lebih jauh. Soeprapto dan perwakilan ormas Islam memahami satu sama lain. Soeprapto tetap bisa melaksanakan tugasnya sebagai jaksa dengan memberi peringatan dini pada masyarakat, sedangkan kelompok agama masih bebas membicarakan politik di rumah ibadah.
Iip menilai kontroversi ini menunjukkan karakter Soeprapto yang tak mudah ditekan. Di sebalik itu, Soeprapto juga memperlihatkan karakter mau mendengar keberatan pihak lain.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar