Pejabat Negara dan Skandal Wanita
Selain harta dan takhta, banyak pejabat tinggi negara yang "nyungsep" dari kedudukannya karena perkara wanita. Di Indonesia tak kurang pula kejadiannya, seperti yang terjadi baru-baru ini.
KETUA Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dipecat gara-gara kasus asusila. Dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Hasyim terbukti bersalah atas pelecehan seksual kepada seorang wanita berinisial CAT. Korban merupakan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Den Haag, Belanda. Karena melibatkan pejabat tinggi negara sekelas ketua KPU, kasus ini jadi konsumsi publik yang menghebohkan pemberitaan belakangan hari ini.
Hasyim dalam dakwaan DKPP disebut telah melecehkan CAT dengan menggunakan kedudukan dan relasi kuasanya. Mulai dari mengajak jalan-jalan, merayu, hingga terjadilah hubungan badan di antara keduanya. Perbuatan itu terjadi di sela-sela pelaksanaan Bimtek Pemilu di Belanda pada Oktober 2023.
“Dalam pertemuan tersebut, setelah berbincang-bincang di ruang tamu kamar Teradu, Pengadu menerangkan bahwa Teradu memaksa untuk melakukan hubungan badan. Pengadu menolak permintaan Teradu, namun Teradu terus memaksa disertai dengan janji akan menikahi Pengadu,” demikian kronologinya sebagaimana tersua dalam bunyi salinan putusan DKPP.
Baca juga: Pesta Seks Tukar Pasangan Tempo Dulu
Setelah hubungan intim itu, CAT mengaku mengalami gangguan kesehatan. Hasyim juga disebut menggunakan fasilitas negara demi memuluskan hubungannya dengan CAT, seperti penggunaan mobil dinas ketua KPU untuk mengantar-jemput CAT selama di Jakarta. Sementara itu, seiring waktu, Hasyim tak kunjung menikahi CAT. Begitupun uang kompensasi sebesar Rp4 miliar yang dijanjikan Hasyim, tak pernah dibayarkan. Itulah yang membuat CAT mengadukan Hasyim ke DKPP yang berujung pemecatannya.
Hasyim sebelumnya juga pernah diisukan melakukan pelecehan seksual terhadap Hasnaeni, ketua umum Partai Republik Satu yang berjuluk “Wanita Emas”. Lantaran terbatasnya alat bukti, Hasyim disanksi peringatan keras terakhir oleh DKPP. Kali ini Hasyim benar-benar terjungkal dari kedudukannya. Tersandung oleh skandal yang sama, membuktikan bahwa Hasyim tidak belajar dari sejarah masa lalunya ataupun para pendahulunya.
Kendati memalukan, kasus pejabat negara bermasalah seperti Hasyim ini jamak terjadi. Di banyak negara, banyak pejabat tinggi yang jatuh akibat tersandung skandal dengan wanita, bila tidak perkara harta dan tahta. Di Indonesia pun demikian. Sejarah mencatat pejabat-pejabat negara yang mesti berurusan dengan hukum gegara berskandal dengan wanita, entah itu pelecehan seksual, perselingkuhan, prostitusi, hingga video mesum.
Baca juga: Pejabat yang Bersyahwat Tinggi
Kasus yang paling terkenal barangkali terjadi pada dekade 1960-an melibatkan Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam (JMD). Skandal JMD dengan wanita terkuak dalam persidangannya yang dihelat pada akhir Agustus hingga pertengahan September 1966. JMD diadili atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan dan uang negara sebesar Rp97 miliar. Selain itu, dia juga didakwa atas kepemilikan senjata api ilegal.
Kasus persidangan JMD menjadi berita utama dalam suratkabar pada masa itu. Dari semua tuduhan yang dialamatkan padanya, JMD hanya bersedia mengakui soal pelanggaran kesusilaan, yaitu perihal istrinya yang lebih dari empat. “Ya, istri saya resmi empat, tapi saya benar telah menikah lagi di Jakarta dan Sukabumi,” aku JMD dikutip Harian Kami, 31 Agustus 1966.
Dua istri terakhir yang dinikahi JMD, yaitu Djufriah, seorang mantan peragawati yang dinikahi pada pertengahan 1965, dan Sari Narulita, seorang bintang film yang dinikahi pada Februari 1966. Sebelumnya, JMD telah beristri empat, yakni: Sulistiyani, Salamah, Jajah Fatmah, dan Ida Jubaedah. Dari semua wanita tadi, hubungan JMD dengan Djufriah sangat disorot publik saat itu.
Baca juga: Sidang Terbuka Jusuf Muda Dalam
Djufriah mencuri perhatian setelah hadir sebagai saksi dalam persidangan JMD pada 2 September 1966. Selain statusnya sebagai istri ke-5 terdakwa JMD, penampilan Djufriah yang mengenakan rok pendek dan sepatu hak tinggi bikin geger suasana persidangan. Dalam persidangan, Djufriah mengaku berkenalan dengan JMD ketika dirinya bekerja sebagai sekretaris JMD di Yayasan Keindahan Kota. Selama pernikahan mereka, Djufriah mendapat uang Rp5 juta, mobil Fiat 1300, dan rumah di Jalan Salemba dari JMD. Tapi, pernikahan itu tak berlangsung lama.
“Sesudah dua bulan menikah, karena kami ada konflik, tanpa setahu dia, saya minta cerai pada Kantor Urusan Agama akan tetapi ditolak. Kemudian sewaktu (JMD) diamankan, saya mohon lagi dan diterima. Sekarang saya bercerai dengan Sdr. Jusuf,” kata Djufriah dikutip Berita Yudha, 3 September 1966.
Menurut Djufriah, kehidupan pernikahannya dengan JMD kurang begitu harmonis. Cekcok di antara keduanya karena JMD tidak tinggal bersama Djufriah layaknya pasangan suami-istri. Meskipun diberikan materi berkecukupan, Djufriah kerap mendengar JMD punya hubungan khusus dengan beberapa wanita lain. Itulah yang membuatnya kerap ribut dengan JMD hingga menggugat cerai. Desas-desus itu terbukti kemudian dalam persidangan yang mengungkap siapa-siapa saja wanita di sekeliling JMD.
“Tak ada kenangan yang indah. Yang ada hanya penderitaan melulu. Jusuf adalah seorang diktator dalam rumahtangga. Segala perkataannya harus dituruti,” celoteh Djufriah sebagaimana terkisah dalam mingguan Mahasiswa Indonesia, 11 September 1966.
Baca juga: Hukuman Mati bagi Menteri Korup
Selama persidangan berlangsung, JMD benar-benar jadi bulan-bulanan dalam pemberitaan media. Bermacam julukan berkonotasi miring melekat padanya, termasuk soal tindak-tanduknya yang bersifat pribadi, seperti “menteri tukang kawin” hingga “maniak seks”. Di akhir pengadilan, JMD divonis hukuman mati, tapi dia keburu meninggal dalam tahanan setelah sepuluh tahun dipenjara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar