Partai Politik Kristen Tak Sekadar Aspirasi Umat
Bukan semata untuk wadah penyaluran aspirasi, partai politik Kristen menjadi kendaraan pembawa aspirasi politik umat dalam bernegara.
MUNCULNYA Republik Maluku Selatan (RMS) pada April 1950 menarik perhatian Johannes Leimena. Di depan umat Kristen di Maluku, dia menyerukan bahwa yang terpenting bagi warga Maluku adalah tetap memeluk Kristen dan menjadi warga negara Indonesia.
“Soal ini harus dipecahkan oleh gereja di Maluku. Sampai pada waktu sekarang gereja ini bersikap agak ragu-ragu. Sebagian dari kaum Kristen Ambon di Maluku dan di luar Maluku belum paham dan sadar akan jalannya sejarah Indonesia,” ujarnya, dikutip Victor Silaen dalam Dr. Johannes Leimena.
Leimena, yang pernah menghadiri Konferensi Pemuda II pada Oktober 1928 sebagai wakil Jong Ambon, mendorong keterlibatan umat Kristen Indonesia dalam pergerakan nasional dan mengembangkan kekristenan “berciri Indonesia”. Bersama tokoh lain seperti J. Latuharhary, dia aktif berdiplomasi guna menumpas RMS.
Baca juga:
Ketika menghadapi kemerdekaan Indonesia, umat Kristen dan Katolik dihadapkan pada kebimbangan. Pandangan mereka terbagi antara mendukung kemerdekaan, membela Belanda, dan mereka yang di tengah-tengah. Keadaan itu, menurut Saut Hamongan Sirait dalam Politik Kristen di Indonesia, nyaris meruntuhkan kekristenan itu sendiri ketika Piagam Jakarta dimunculkan golongan Muslim konservatif dalam pembahasan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
“Tentu saat itu partai Kristen dan Katolik mencoba menghalanginya dengan menekankan bahasa Pancasila (memang Sukarno memikirkan Pancasila untuk menjaga pluralisme),” ujar Gerry van Klinken kepada Historia.
Dua Partai Utama
Karenanya di tengah realitas yang memprihatinkan itu, Partai Kristen Nasional, yang kemudian berubah jadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dideklarasikan pada 10 November 1945. Para bidannya antara lain Leimena, Gunung Mulia, Frederick Laoh, dan Probowinoto. “Partai ini yang pertama memberi penegasan teologis menyangkut kemerdekaan Indonesia,” tulis Sirait.
Nasionalisme yang sama kuat juga datang dari orang-orang Katolik, dengan Ignatius Joseph Kasimo sebagai salah seorang tokoh terpentingnya. Kasimo langsung mengundang tokoh-tokoh Katolik di Surakarta untuk rapat pada 15 November 1945. Dalam rapat itu diputuskan berdirinya kembali Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI), yang kemudian diubah namanya jadi Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI), pada kongres 8 Desember 1945.
Baca juga:
Baca juga:
Sejak semula, tulis Soedarmanta dalam Biografi IJ Kasimo, Kasimo punya keyakinan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk merdeka dan membentuk pemerintahan nasional. Selain itu, dia juga percaya bahwa, “hanya dalam Indonesia yang berdaulat dan bangsa yang merdeka, umat dan Gereja Katolik dapat berkembang dengan aman dan baik dan Gereja dapat melaksanakan tugas manusiawinya dengan tenang dan tenteram.”
Menurut Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, kendati hanya ada sekitar tiga juta umat Protestan di Indonesia dan kurang dari satu juta umat Katolik, pengaruh kedua slot gacor partai itu cukup besar. Hal ini sebagian disebabkan proporsi umat Kristen yang lebih sebagai pegawai negeri, tentara, badan usaha, dan universitas-universitas dan sekolah-sekolah, serta sebagian karena prestise para pemimpin seperti Leimena dan Tambunan dari Parkindo serta Kasimo dari Partai Katolik.
“Kebijakan utama dari partai-partai ini diarahkan pada terpeliharanya kepentingan kelompok dan kebebasan beragama. Keduanya didominasi orang-orang ‘administrator’ dengan kepedulian pada kebijakan yang cukup kuat. Keduanya moderat dalam pendekatan terhadap nasionalisme, Parkindo bersikap lebih dekat dengan penekanan ideologi PNI ketimbang Partai Katolik,” tulis Herbert Feith.
Baca juga:
Kecil tapi Bersuara
George McTurnan Kahin menulis dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, meski kecil keduanya cukup efektif dan punya suara. Bersama kekuatan-kekuatan sayap kiri, mereka antara lain menentang Perjanjian Linggarjati. Dalam Pemilu 1955, kedua partai memperoleh suara yang tak mengecewakan mengingat jumlah pemeluk mereka yang tak banyak. Parkindo delapan kursi di DPR dan 16 kursi di Konstituante, sementara Partai Katolik meraih enam kursi di DPR dan sepuluh kursi di Konstituante
Namun, keduanya berbeda dalam merespons Demokrasi Terpimpin. Partai Katolik menolak; akibatnya Kasimo mendapat serangan dari segala penjuru, termasuk dari partainya karena tak ada wakil di pemerintahan. Bagi Kasimo, keterlibatan PKI –sekutu utama Sukarno– dalam pemerintahan akan membuat Indonesia berangsur-angsur menjadi komunis. Kasimo akhirnya memilih mengundurkan diri sebagai ketua.
Sebaliknya, Parkindo mendukung. Bahkan, ketika sidang MPRS melontarkan gagasan mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup, fraksi Parkindo menyatakan dukungannya. Keputusan itu membuat Leimena mendapat serangan dari Dewan Geredja Indonesia (DGI).
Namun, keduanya bersatu ketika gagasan negara Islam diangkat lagi dalam sidang Konstituante. Kelompok Parkindo dan Katolik bertemu pada 20 November 1957 dan menghasilkan seruan bersama yang berisi tekad untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Seruan itu ditandatangani JCT Simorangkir sebagai wakil ketua fraksi Parkindo dan Kasimo sebagai ketua fraksi Partai Katolik.
Kiprah partai Kristen dan Katolik itu berakhir pada 10 Januari 1973 ketika rezim Orde Baru, dengan kebijakan penyempitan partai politik, melebur keduanya ke dalam Partai Demokrasi Indonesia.*
Majalah Historia No. 8 Tahun I 2012
Tambahkan komentar
Belum ada komentar