Mula Kaum Ibu Membincang Masalah Politik
Kongres Perempuan Indonesia IV tak semata jadi pertemuan terakhir sebelum seluruh organisasi perempuan dibekukan Jepang. Kongres itu menandai bersatunya perempuan memperjuangkan hak politik.
KONGRES Perempuan Indonesia (KPI) IV menandai perbedaan penting tiga kongres serupa sebelumnya. Jika pada KPI I sampai III pembahasan selalau berkaitan dengan hak perempuan di ranah perkawinan dan pendidikan, pada KPI IV para perempuan menitikberatkan diskusi pada peran perempuan dalam politik.
Meski pembahasan mengenai hak plih sudah dlakukan pada kongres ketiga, para perempuan masih sebatas untuk mempelajari dan melakukan riset lebih dalam. Baru pada kongres keempat mereka bersepakat untuk memperjuangkan posisinya di ranah politik melalaui tuntutan pemberian hak pilih.
Kongres yang diadakan di Semarang pada 25-28 Juli 1941 ini dipimpin oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito. Sebanyak 13 organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Isteri Indonesia, Wanita Taman Siswa, dan lain-lain hadir untuk menyumbangkan buah pikir mereka. Kongres pada akhirnya menghasilkan beberapa keputusan seperti, sepakat mendukung Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan organisasi lainnya menolak wajib militer (militieplicht) terbatas bagi bangsa Indonesia.
Baca juga: Perdebatan di Kongres Perempuan
Selain itu, kongres menyarankan pada Volksraad agar mendorong bahasa Indonesia dimasukkan sebagai mata pelajaran tetap pada sekolah menengah (HBS dan AMS). Mereka juga mendirikan empat komite yang masing-masing bertugas untuk memberantas buta huruf, menyelidiki kesempatan kerja perempuan Indonesia, mempelajari hukum Islam dalam perkawinan, dan memperbaiki ekonomi perempuan.
Pembahasan kongres didominasi soal hak pilih perempuan mengingat sejak 1930-an para perempuan Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan hak suara sama seperti lelaki. Di tahun-tahun sebelumnya, sedikit sekali catatan tentang perjuangan hak pilih perempuan pribumi.
Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia menyebut ada beberapa alasan yang mendasari kelambanan organisasi perempuan Indonesia dalam menyadari isu hak pilih. Salah satunya, organisasi konservatif, biasanya berdasar agama, meyakini bahwa perempuan tidak siap untuk berperan dalam urusan politik dan tidak pernah didorong untuk melakukannya. Selain itu, politik selalu diartikan sebagai dunia laki-laki. Namun ketika perempuan Indonesia menyaksikan seorang perempuan Belanda duduk di Dewan Rakyat, mereka tergugah untuk mendapatkan hak pilih juga.
Lewat keputusan kongres, mereka menolak sikap Minangkabauraad yang enggan memberikan hak pilih bagi kaum ibu. Sebaliknya, mereka mengajukan tuntutan pada Volksraad agar perempuan Indonesia mempunyai hak pilih aktif dan pasif. Sebagai tindak lanjut, kongres mengirimkan telegram pada Dewan Rakyat, Fraksi Nasional Indonesia (Suroso), dan Gubernur Jenderal di Batavia tentang hak pilih perempuan.
Baca juga: Hak Pilih Perempuan di Negeri Jajahan
"Setelah mendengar pembicaraan-pembicaraan dalam Dewan Rakyat, di mana sebagian besar anggotanya telah menyetujui hak untuk memilih bagi wanita, Kongres Perempuan Indonesia ke IV mohon agar hak pilih bagi kaum wanita dikabulkan," demikian bunyi surat tersebut seperti tercatat dalam Sejarah Setengah Abad Kesatua Pergerakan Wanita Indonesia.
Soeroso yang menerima surat tersebut menyampaikannya dalam sidang Dewan Rakyat pada 4 September 1941. Sidang berlangsung cukup alot lantaran beberapa anggota Dewan Rakyat seperti T. de Raadt, Soeangkoepon, dan Loa Sek Hie, menolak memberikan hak pilih bagi perempuan pribumi.
Pemerintah Kolonial juga menanggapi tuntutan dari KPI pada sidang tanggal 9 September 1941. Mr. Van Hasselt, perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda, menyatakan belum saatnya memberi hak pilih pada perempuan Indonesia dan perempuan bangsa asing. Namun, secara prinsip pemerintah tidak keberatan pada hak pilih perempuan Indonesia dan bangsa asing.
Baca juga: Keributan di Kongres Perempuan
Pernyatan itu mengecewakan para perempuan. Perjuangan mereka juga harus terhenti lantaran Jepang keburu masuk lalu membekukan KPI. Satu-satunya organisasi perempuan yang diperbolehkan adalah Fujinkai, organisasi perempuan bentukan Jepang yang berbau militeris. Rencana kongres kelima di Surabaya pimpinan Nyonya Sundari dari Putri Budi Sejati pun batal.
"Jaman kolonial Belanda itu yang terakhir adalah kongres perempuan Indonesia IV di Semarang tahun 1941. Jaman Jepang tidak ada apa-apa," kata Maria Ullfah pada Dewi Fortuna Anwar dalam arsip rekaman sejarah lisan Arsip Nasional RI.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar