Mula Belanda Duduki Banda Aceh
Mengubah nama adalah politik penguasa. Bandar Aceh pun diperlakukan seperti itu setelah Belanda berkuasa di Aceh.
PERANG Aceh jadi perang yang sulit dimenangkan tentara Belanda. Sedari 1873 hingga 1904, Belanda terpaksa menguras dana sangat besar demi memenangkan perang itu. Bahkan di awal penyerangan saja, tentara Belanda sudah kehilangan Jenderal Mayor JHR Kohler.
Meski sudah menyerang pusat Kerajaan Aceh, perlawanan orang Aceh tak berhenti. Setelah kawasan yang kini disebut Banda Aceh itu dikuasai tentara Belanda, pihak pejabat Belanda menyebut kawasan itu sebagai Kutaraja.
“Banda Aceh yang sekarang itu disebut Kutaraja oleh mereka. Padahal Bandar Aceh namanya,” terang Hermansyah, filolog Aceh dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniri, kepada Historia.id.
Penggantian nama itu menjadi cara para pejabat Belanda itu untuk menunjukkan kepada ratu Belanda bahwa mereka sudah menguasai Aceh.
Baca juga: Sabang, Singapura yang Gagal
Kutaraja sendiri bukan sebutan yang asing di Banda Aceh. Kutaraja yang dikenal orang Aceh sebelumnya adalah nama kawasan yang menjadi semacam pusat di Bandar Aceh. “Dari Masjid Raya sampai keraton Aceh,” ujar Hermansyah menerangkan ukuran Kutaraja.
Kutaraja menjadi kota Belanda setelah Perang Aceh. Kota ini menjadi benteng dari perang konsentris yang diterapkan Belanda. Orang Belanda bertahan di sekitar Pelabuhan Ulee Lheule, yang di masa lalu terhitung agak jauh dari Masjid Raya Aceh.
Tanpa Pelabuhan Ulee Lheule, dulu kapal pedagang asing bisa masuk sampai ke Kutaraja. Di dekat sana ada sungai yang bisa dilalui kapal kayu. Bandar Aceh di zaman pendudukan Belanda menjadi daerah yang tidak mudah dimasuki orang dari luar.
“Dulu orang luar yang mau masuk Banda Aceh pakai pasport,” terang Hermansyah.
Kebijakan itu diterapkan demi keamanan pemerintah kolonial Belanda di Aceh. Sepanjang Perang Aceh hingga 1918, daerah Aceh dan sekitarnya dijadikan daerah militer. Kepala daerahnya seorang gubernur militer.
“Untuk kelancaran administrasi pemerintahan di daerah Aceh, pemerintah membangun sebuah gedung dalam kompleks bekas keraton Aceh,” catat Rusdi Sufi dalam Sejarah Kotamadya Banda Aceh.
Upaya tersebut digagas Letnan Jenderal Karel van der Heijden. Gedung yang dipakai sejak 1880 itu terkenal megah di awal abad ke-20. Belakangan, gedung dikenal sebagai Pendopo Gubernur Aceh.
Letak Pendopo itu berseberangan dengan makam bangsawan dan raja-raja Aceh, dengan sungai sebagai pembatasnya. Di situs bernama Kompleks Makam Kandang Meuh tersebut terdapat makam yang diduga makam Sultan Iskandar Muda. Setelah Belanda menduduki Aceh, pada 1883 didirikan pula sebuah gedung kolonial yang pernah berfungsi sebagai istana di areal Kandang Meuh.
Selain itu, Masjid Raya yang dulu rusak pada awal Perang Aceh, dibangun kembali. Heijden meletakkan batu pertamanya. Dari pihak Aceh, hadir Teungku Kadhi Malikul Adil dalam acara seremonial itu. Rencana membangun kembali masjid ini juga sempat terpikir oleh Jenderal van Swieten yang memimpin penyerangan terhadap Aceh.
Pembangunan Masjid Raya itu juga melibatkan pemborong Tionghoa bernama Lie A Sie, seorang letnan Tionghoa di Kutaraja. Pembangunan masjid selesai pada 1882. Namun, tiga tahun pertama setelah selesai dibangun, menurut Hermansyah, orang Aceh enggan shalat di sana. Banyak orang Aceh tak mau berurusan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Orang Aceh yang menganggap orang Belanda di Aceh sebagai kaphe. Akibatnya, sering terjadi penusukan terhadap orang Belanda oleh orang Aceh, yang dikenal sebagi Atjeh Moord. Salah satu korban penusukan adalah Letnan Kolonel Scheepen. Perwira Belanda yang berjasa dalam fase akhir Perang Aceh itu ditusuk di Sigli pada 1913.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar