Perwira Prancis Beli Lada dapat Prank Raja
Iskandar Muda patok harga tinggi pada orang Eropa untuk urusan lada. Orang Asing berusaha membujuknya.
ZAMAN Iskandar Muda bertakhta di Aceh, kerajaan itu menjadi kaya. Pajak dan perdagangan lada jadi sumber penghasilannya.
Dengan letak strategis di pintu masuk Selat Malaka dari barat dan kekayaan alam melimpah, Aceh yang kuat menjadikan diri sebagai negeri-pelabuhan. Aceh memang terbuka untuk pedagang asing, namun perdagangan tetap dimonopoli oleh raja.
Monopoli lada membuat raja Aceh dan pejabatnya menjadi kaya raya. Lada tentu membuat Aceh punya posisi tawar di utara Selat Malaka. Dengan demikian, raja menjadi orang yang paling ingin didekati pedagang-pedagang asing, termasuk dari Eropa.
Menurut AB Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan ke-17, Pelabuhan Aceh adalah salah yang sulit dijangkau. Namun suatu kali datanglah orang-orang Perancis menghadap Sultan Iskandar Muda. Dia adalah Augustin de Beaulieu (1589-1637), seorang perwira Perancis yang berkedudukan tinggi dalam pelayaran ke Asia. Dia tahu Iskandar Muda suka hadiah.
”Pada hari Selasa 9 Maret, saya menghadap raja dengan membawa berbagai hadiah, karena tanpa hadiah sambutannya akan lain. Hadiah itu saya bawa cukup banyak, agar dia mau mengabulkan permohonan saya untuk membeli lada dari penduduk biasa,” kata Augustin de Beaulieu dalam buku Orang Indonesia dan Orang Perancis yang disusun Bernard Dorleans.
Apa yang diinginkan Beaulieu sebelumnya tak diluluskan raja. Beaulieu tentu ingin membeli lada dengan harga murah. Padahal, aturan di Aceh mengharuskan orang asing membeli lada dengan harga yang berbeda dari yang dibeli raja. Orang asing harus membayar dua kali lipat dibanding harga normal dari petani.
Maka, Beaulieu pun datang menghadap raja. Ditemani seorang syahbandar. Sang syahbandar ini kerap menemani Beaulieu dan dia adalah pintu masuk Beaulieu ke raja. Syahbandar itu juga bertindak sebagai penerjemah.
“Kami mendapati raja sedang menyabung ayam, memasang 4 taruhan dalam jumlah besar melawan banyak orang,” kenang Beaulieu.
Iskandar Muda sempat sebentar memperhatikan Beaulieu sebelum memberinya keris bergagang emas yang harganya jelas mahal. Setelah itu dia kembali sibuk dengan sabung ayamnya.
Beaulieu terpaksa bersabar. Toh, kesabarannya berbuah manis. Pada 4 Mei 1621 itu, Beaulieu akhirnya diperbolehkan membeli lada langsung ke petani.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, Beaulieu dkk. membeli 21 bahar lada dan merasa tidak akan rugi. Namun ternyata Beaulieu salah perhitungan. Tak hanya dapat harga tinggi, Beaulieu juga dikenai pajak.
“Kalau tahu begini saya tidak akan membelinya samasekali. Lagipula, sebelum transaksi saya sudah menanyakan kepada penerjemah apakah raja mengenakan pajak dan dia menjawab tidak,” aku Beaulieu, yang harus membayar pajak itu sebesar tujuh persen.
Kesialan Beaulieu tak berhenti di harga mahal dan pajak saja. Lada yang dibeli Beaulieu itu terlihat lembab dan basah. Padahal, lada bukan tanaman basah. Ternyata lada itu lembab dan basah konon karena rumah si petani tempat penyimpanan lada itu terkena air hujan. Oleh karenanya, kata Beaulieu, si petani minta maaf. Kata maaf tentu tak membuat orang-orang Perancis itu untung.
Namun kesialan Beaulieu tak habis di kondisi lembab lada yang dibelinya. Yang paling parah adalah lada yang dibelinya itu juga dicampuri pasir-pasir warna hitam oleh orang-orang suruhan raja. Beaulieu pun memprotes tindakan itu dengan mengembalikan pasir pencampur ladanya.
Kendati tak menyebut secara spesifik, pengalaman yang dialami Beaulieu menyiratkan keengganan Sultan Iskandar Muda memberi izin pedagang asing membeli lada langsung ke petani. Tak hanya untuk orang Perancis, pedagang Belanda dan Inggris pun juga tak boleh beli lada dengan harga murah dari raja.
Orang Belanda dan Inggris telah menawar lada Sultan Iskandar Muda 48 Real per bahar –satu bahar setara dengan 400 pon atau tiga pikul kata Charles Ralph Boxer dalam Francisco Vieira de Figueiredo A Portuguese Merchant-adventurer in South East Asia, 1624-1667. Namun, sultan tak mau menyerahkan kurang dari 64 Real. Harga 64 Real itu membuat raja untung banyak karena lada penduduk didapat dengan harga 32 Real.
“Kadang-kadang kapal-kapal Belanda, Inggris, dan Perancis berlabuh pada saat yang sama di dermaga Aceh. Bila begitu, sang Sultan bisa mengadu satu bangsa dengan bangsa lain dan menaikkan harga lada sekehendak hatinya,” catat Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara, Sejarah Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar