Misi Rahasia Jenderal S. Parman
Kepala intel Angkatan Darat ini kerap menjalankan operasi senyap di mancanegara. Serba rahasia dan tidak banyak terungkap.
SUATU hari Willem Oltmans, jurnalis Algemeen Handelsblad mendapat telepon dari Kolonel Sutikno Lukitodisastro, Atase militer (Atmil) Indonesia di Amerika Serikat (AS). Sutikno memberitahu ada seorang jenderal dari Jakarta yang ingin berbicara dengan Oltmans. Sang jenderal menginap di kamar 1040 Hotel Hilton di Madison Avenue, New York. Oltmans pun segera menghampiri ke sana.
“Saya diterima oleh seorang bapak yang ramah dengan pakaian yang sesuai dengan ukuran badannya, yang ternyata adalah Jenderal S. Parman”, kenang Oltmans dalam memoarnya Bung Karno Sahabatku. Oltmans mencatat, pertemuan dengan S. Parman terjadi pada 18 Oktober 1964.
Di Belanda, Oltmans punya reputasi sebagai jurnalis investigatif yang tidak disukai pemerintah Belanda. Tulisan-tulisannya yang mendukung Indonesia dalam sengketa Irian Barat menyebabkannya dirinya kena cap persona non-grata lantas pindah ke AS. Secara pribadi, Oltmans juga bersimpati kepada Presiden Sukarno.
Kepada Oltmans Parman berkisah, dirinya telah mengenal Bung Karno sejak berusia 16 tahun. Sewaktu konflik melanda tentara dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, Bung Karno sempat tidak suka kepada Parman mengingat dia disebut-sebut sebagai orang-nya Nasution. Namun ketika Zulkifli Lubis (yang merupakan perwira intel kesayangan Bung Karno saat insiden itu berlangsung) terlibat dalam PRRI-Permesta, “hubungan antara Bapak dan saya baik kembali,” kata Parman ditirukan Oltmans.
Dari Atmil ke Asisten I/Intel
Siswondo Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918. Dalam Siapa Dia? Perwira Tingggi TNI-AD, Harsja Bachtiar mencatat karir militer Parman dimulai sebagai penerjemah kempetai (polisi militer) di zaman Jepang. Setelah Indonesia memperoleh kedaulatan, Parman menjadi komandan Corps Polisi Militer (CPM). Pada 1951, Parman sempat mengikuti pendidikan Associate Military Company Officer School di Georgia, AS.
Pada 1959, Parman diangkat menjadi atase militer untuk Kerajaan Inggris dan bertugas di London. Tugas sebagai Atmil dijalaninya selama tiga tahun. Di periode itu, Jenderal Abdul Haris Nasution merupakan Kepala Staf Angakatan Darat (KSAD).
Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Masa Orde Lama mencatat, Parman menjadi salah satu Atmil Indonesia yang ikut menjalankan kampanye Irian Barat di Eropa Barat. Parman tergabung bersama Kolonel Pandjaitan di Bonn dan Kolonel Rachmat Kartakusumah di Paris dalam “Operasi C”. Nasution menyebut misi para Atmilnya tersebut sebagai diplomasi senyap untuk mempengaruhi sikap tokoh-tokoh penting di Belanda.
Ketika Nasution berkunjung ke London pada 1961, Parman turut menyambut. Di hotel, kata Nasution, Parman dengan teliti menyiapkan gayung dan lain-lain kebiasaan Indonesia di kamar mandi. “Agar merasa tidak terlalu asing,” kata Parman ditirukan Nasution.
Pada 1962, Parman dipanggil pulang ke Indonesia. Pimpinan dalam tubuh Angkatan darat beralih dari Nasution ke Ahmad Yani. Parman kemudian ditunjuk sebagai Asisten I Menpangad yang mengurusi bidang intelijen. Pada 1964, Parman mendapat kenaikan pangkat sebagai mayor jenderal.
Di dalam negeri, Angkatan Darat menghadapi lawan politiknya Partai Komunis Indonesia (PKI). Parman merupakan salah perwira yang menolak tegas wacana Angkatan Kelima gagasan PKI. Dalam rencana itu, buruh dan tani dipersenjatai untuk mengimbangi tentara.
“Jabatan S. Parman sebagai pejabat intelijen menyebabkan ia banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Karena itulah ia menjadi salah seorang pejabat teras Angkatan Darat yang termasuk daftar yang akan dilenyapkan PKI,” tulis tim peneliti Departemen Sosial RI dalam Wajah dan sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Seri IV.
Wara-wiri Lintas Negara
Mengurusi intelijen Angkatan Darat membuat Parman punya jaringan di mana-mana. Tidak terkecuali di luar negeri. Keberadaan Parman di negeri asing pernah pula disaksikan sejawatnya yang lain, Brigjen Soegih Arto, duta besar Indonesia untuk Birma.
Pada pertengahan 1964, Sukarno mengutus Soegih Arto ke Inggris untuk menjajaki perundingan penyelesaian konfrontasi Malaysia. Soegih Arto berangkat ke London melalui Paris. Ketika singgah di rumah Atmil Indonesia di Paris, Soegih Arto bertemu dengan Parman. Soegih Arto heran mengapa Parman berada di Paris namun sungkan bertanya.
Baca juga: Misi S. Parman Melobi London
Soegih Arto kemudian mengetahui bahwa Parman juga mengemban misi yang sama dengannya. Jika Soegih Arto ditugaskan berhubungan dengan Kementerian Luar Negeri Inggris, maka Parman punya saluran ke Markas Besar Angkatan Perang Inggris. Keesokan harinya, Soegih Arto melihat Atmil Indonesia untuk Inggris, Kolonel Sasrapawira menjemput S. Parman.
“Beliau diutus karena Beliau adalah Chief Intelligence Angkatan Darat, tetapi juga karena pernah menjabat sebagai Atase militer di Inggris,” kata Soegih Arto dalam Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto.
Menurut sejarawan Universitas Indonesia Linda Sunarti, Parman merupakan utusan Yani sebagai peace feelers atau penjajak perdamaian dengan kemungkinan berunding dengan militer Inggris. Dalam upaya itu, Parman mengadakan pembicaraan rahasia dengan Kolonel Berger, Atmil Inggris untuk Prancis pada 9 Oktober 1964. Meski demikian, pembicaraan tidak berlanjutkan dengan perundingan resmi antar negara.
“Pertemuan antara Mayjen S. Parman dan Kolonel Berger hanya berhenti sampai sebatas itu saja, tidak ada pembicaraan lebih lanjut,” tulis Linda dalam disertasi yang dipertahankan di Universitas Indonesia berjudul “Penyelesaian Damai Konflik Indonesia Malaysia 1963--1966”.
Koneksi dengan CIA?
Sepekan lebih berselang, Parman bersua dengan Oltmans di New York. Pembicaraan diantara mereka kemudian menyinggung nama Werner Verrips. Menurut Oltmans, Verrips adalah orang Belanda agen CIA. Pada 1950, Verrips terlibat perampokan Bank Indonesia di Surabaya dan S. Parman adalah perwira CPM yang menangkapnya. Mengenai sosok Verrips, Oltmans mengonfirmasi sejumlah hal kepada Parman.
Kepada Oltmans, Parman membenarkan dirinya mengenal Verrips secara pribadi. Mereka bahkan baru bertemu di London untuk membahas masalah Malaysia. Namun Parman membantah pengakuan Verrips mengenai kedekatannya dengan Ahmad Yani.
“Ia membual,” kata Parman, “Ia sama sekali tidak mengenal Yani.”
Baca juga: Diplomasi Sunyi Perwira TNI
Parman kemudian meminta bantuan Oltmans untuk dapat bertemu Verrips. Dengan menggunakan telepon hotel, Oltmans menelepon rumah Verrips di Huister ter Heide, Utrecht, Belanda. Istrinya, Anneke, memberikan nomor tempat Verrips dapat dihubungi. Segera Parman dan Verrips mengobrol lewat telepon.
“Kedua 'sahabat lama’ itu mengobrol lewat telepon lintas-atlantik. Tak lama lagi mereka akan bertemu di Belanda, atau mungkin di London,” kata Oltmans.
Pada 4 Desember 1964, Verrips mengalami kecelakaan mobil. Dia meninggal dalam peristiwa nahas itu. Apakah kejadian yang menimpa Verrips itu berhubungan dengan Parman, Oltmans sendiri tidak dapat membuktikannya.
Pada awal Januari 1965, Oltmans kembali ke rumahnya di Long Island. Dia kemudian menemui Zairin Zain, duta besar Indonesia untuk AS. Dari Zain, Oltmans mengetahui bahwa dirinya juga menjadi target pelenyapan. Kata Zain, Verrips mengetahui terlalu banyak dan selalu ingin buka mulut kepada siapa saja. Sementara itu, Oltmans selalu ingin memuat segala yang ia ketahui dalam koran.
Menurut Manai Sophiaan dalam Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI, Oltmans dan Verrips sudah mengetahui adanya kegiatan mencari dukungan dari Belanda dan Washington atas rencana hendak menggulingkan Sukarno. “Rencana yang tidak mereka setujui dan dikhawatirkan akan melaporkannya kepada Sukarno.”*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar