Diplomasi Sunyi Perwira TNI
Tak ingin bergantung pada politisi dan para menteri, segelintir perwira tinggi ikut melakukan upaya lobi di luar negeri. Ada konspirasi?
Selama bertugas sebagai Atase Militer (Atmil) Indonesia di Bonn, Jerman Barat, Kolonel Donald Isac Pandjaitan kerap merancang misi rahasia. Salah satunya, berupaya menyusupkan Felix Metternich, warga negara Jerman Barat, ke Belanda. Kepada Felix, Pandjaitan menginstuksikan tugas berbahaya: memotret kapal-kapal perang Belanda, terutama kapal induk Karel Doorman. Pada Maret 1960, kapal induk Belanda satu-satunya itu dipersiapkan menuju perairan timur Indonesia untuk mengamankan wilayah Irian Barat.
“Dengan menggunakan kamera mini, Metternich berhasil memotret Karel Doorman dan kapal-kapal perang lain,” ujar Marieke Pandjaitan br. Tambunan dalam biografi suaminya, D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran.
Baca juga: Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang
Pandjaitan kemudian mengirimkan foto-foto itu ke Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) di Jakarta. Metternich juga diplot oleh Pandjaitan untuk mengeposkan surat-surat pemerintah Indonesia yang ditujukan kepada tokoh politik berpengaruh di Belanda. Surat rahasia itu diposkan melalui Belgia untuk menghindari sensor dari dinas intelijen Belanda.
Operasi lain yang dijalankan Pandjaitan termasuk menyelundupkan Frits Kirihio ke Indonesia untuk dipertemukan dengan Presiden Sukarno. Frits adalah mahasiswa Papua yang disekolahkan oleh pejabat Belanda di Universitas Leiden, Belanda. Kelak, Frits menjadi tokoh pemuda Papua yang berperan memperjuangan integrasi Irian Barat ke dalam Republik Indonesia.
Diplomasi Senyap
Pandjaitan tak sendirian. Para Atmil Indonesia di negara lain mengerjakan misi yang kurang lebih serupa. Beberapa nama perwira TNI AD seperti Kolonel S. Parman ditempatkan di London sementara di Paris bertugas Kolonel Rachmat Kartakusumah dan Kolonel Sutikno Lukitodisastro berjaga di Amerika Serikat. Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution menyebut misi para Atmil-nya sebagai “Operasi C” atau “diplomasi senyap”. Dalam kampanye perjuangan Irian Barat Operasi C ini bertujuan mempengaruhi sikap tokoh-tokoh penting di Belanda.
Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan masa Orde Lama menerangkan, tahap pertama diplomasi senyap dijalankan dengan mengadakan kontak-kontak terhadap kelompok penting di Belanda. Mereka antara lain para pengusaha Belanda; kaum cendekiawan yang diwakili Profesor Willem Duynstee ahli hukum tata negara Universitas Nijmegen; tokoh politik yang diwakili mantan Perdana Menteri Willem Drees; kalangan gereja, kalangan pers, dan pemuda-pemuda Irian Barat yang bersekolah di Belanda.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Selain mengemban kepentingan negara, para Atmil ini juga menjadi pamong bagi mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Eropa. Mereka yang punya relasi terhadap Atmil kebanyakan berasal dari mahasiswa yang berhaluan anti komunis. Menurut Soe Hok Gie sejarawan yang juga eks aktivis mahasiswa, bila dalam kondisi sulit – seperti misalnya tekanan dari kelompok mahasiswa yang pro Sukarno ataupun petugas-petugas KBRI – mereka mendapat bantuan dari Atmil Indonesia.
“Kadang-kadang Atmil Indonesia juga berfungsi sebagai pelindung mahasiswa yang dikejar-kejar Soekarno/klik Nasakom,” ujar Gie dalam Soe Hok Gie: Zaman Peralihan yang disunting Stanley Aris Santoso.
Pandjaitan pernah kena getahnya. Dia dianggap sebagai perwira yang tak loyal kepada Sukarno karena dituding menyebarkan propaganda menentang ide manipol dan nasakom bagi mahasiswa Indonesia di Jerman. Akibatnya, Pandjaitan sebagaimana dituturkan Marieke menjadi sasaran amarah Sukarno.
Baca juga: Balada Jenderal Pendeta
Menurut Nasution, diplomasi TNI memang khusus untuk melobi negara-negara Barat. Aktivitas para Atmil di Bonn, London, Paris ataupun Washington menjadi jaminan bagi kubu Barat bahwa TNI tak bergerak ke kiri atau ke kanan. “Kami selalu menjelaskan bahwa soal Irian Barat tak bisa lepas dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan TNI tidak akan jadi antek komunis,” ujar Nasution.
Untuk melancarkan diplomasi sunyi ini, Jenderal Nasution mengutus rekannya, seorang pengusaha Tionghoa bernama Ujeng Suwargana. Dia menjadi koordinator Atmil Indonesia di Eropa dan memfasilitasi apa yang diperlukan.
Dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? sejarawan Asvi Warman Adam mencatat Ujeng Suwargana dikenal Nasution sejak 1940 tatkala sama-sama mengikuti pendidikan militer di Bandung. Sebelum menjadi pengusaha bidang penerbitan, Ujeng merupakan perwira menengah sekaligus komandan logistik Teritorium III Siliwangi.
“Operasi C,” tulis Nasution, “Pelaksana utamanya ialah saudara Uyeng Suwargana. Atase militer kita di Bonn, Paris, dan di London membantu sepenuhnya misi-misi ‘Operasi C’ ini.” Nasution juga menyebutkan, Ujeng secara berkala mengunjungi Amerika dan Eropa, baik sebagai pengusaha maupun penceramah di lembaga Perguruan Tinggi.
Baca juga: Duta Tentara di Mancanegara
Jurnalis kawakan Belanda, Willem Oltmans, mengenal Ujeng Suwargana sebagai teman akrab dan utusan pribadi Jenderal Abdul Haris Nasution. Dalam memoarnya Bung Karno Sahabatku yang diterjemahkan dari judul asli Mijn Vriend Sukarno, Oltmans menyebutkan, Ujeng kerap berkeliling Eropa Barat dan Amerika Serikat; menginformasikan mengenai suatu perebutan kekuasaan negara di Jakarta. Siapakah sebenarnya Ujeng ?
“Tidak jelas apa status Oejeng (Ujeng) dan apakah benar ia seorang intel,” imbuh Asvi. “Namun, yang terang, ia adalah orang dekat Jenderal Nasution.
Baca juga: Jejak Spion Melayu
Tambahkan komentar
Belum ada komentar