Meneropong Masa Silam Kiri Indonesia
Buku kecil. Merah dan pedas. Mengajukan cara pandang lain terhadap sejarah di Indonesia.
Max Lane, Indonesianis yang kini mengajar di Victoria University, Australia, melemparkan bola panas. Di historia.id, dia menulis kalau “Sukarno bukan pemersatu tapi pembelah Indonesia.” Bagi sebagian besar orang Indonesia yang terlanjur mengenal Sukarno sebagai tokoh pemersatu bangsa, pendapat Max itu terdengar aneh. Bagaimana bisa seorang Sukarno yang seumur hidupnya bekerjakeras menyatukan bangsa Indonesia justru disebut “pembelah”?
Dalam bukunya dia berpendapat sejak awal Sukarno bukan melakukan penyatuan melainkan pembelahan. Sukarno memilah orang Indonesia yang progresif-revolusioner dari mereka yang dianggapnya tak bisa diajak serta berevolusi. Max merujuk kepada artikel Sukarno yang sangat terkenal, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, di mana Sukarno menulis imbauan kepada kelompok nasionalis, Islam dan komunis bekerjasama.
Menurutnya ajakan Sukarno kepada kelompok nasionalis dan Islam untuk bekerjasama dengan kaum Marxis adalah cara mendapatkan unsur revolusioner dari rakyat Indonesia. Setiap aliran –yang semuanya setuju Indonesia merdeka– dihadapkan dengan pilihan: bersatu atau tidak. Memang, Sukarno membelah demi sebuah persatuan – tetapi bukan asal bersatu. Ada basis persatuan yang diperjuangkannya (hlm. 86). Menurut Max, basis persatuan Sukarno bukan hanya memperjuangkan kemerdekaan tapi juga analisis terhadap dan sikap anti-kapitalis.
Analisis Max mungkin bisa dibenarkan secara teoritis, terutama jika landasan nalarnya terhampar pada ranah konsep pertentangan kelas yang dikemukakan Karl Marx. Namun agaknya sedikit meleset jika melihat konteks peristiwa yang terjadi pada saat Sukarno mengemukakan idenya di Suluh Muda Indonesia pada 1926 itu. Kurang dari satu windu sebelumnya, Sarekat Islam mengalami perpecahan: SI Merah vs SI Putih. Semenjak itu SI Merah Semaun-Darsono dengan SI Putih Tjokroaminoto-Haji Agus Salim selalu terlibat pertentangan politik yang tajam. Unsur merah SI kemudian berhimpun menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Maka jelas di sini kalau ajakan Sukarno supaya kaum Islam dan kaum Marxis bekerjasama itu bukanlah cara pembelahan, melainkan cara untuk mendamaikan keributan politik yang telah terjadi sejak tahun 1914. Bagi Sukarno, pertikaian di kalangan Islam dengan Marxisme merugikan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan dalam tulisannya di Suluh Muda Indonesia itu Sukarno mencari persamaan nilai dari setiap ideologi, baik Islam, Nasionalisme maupun Marxisme tak lain untuk menyatukan mereka dalam sebuah ikatan kekuatan revolusioner (samenbundeling van alle revolutionaire krachten).
Dalam buku ini Max juga melakukan penelaahan terhadap strategi perjuangan kaum kiri dalam panggung politik pada periode 1950-an. Representasi kelompok kiri yang paling nyata adalah PKI, yang menjadi pemenang keempat Pemilu 1955 dan berhasil meraih banyak suara dalam pemilihan lokal yang diadakan dua tahun kemudian. Sebuah prestasi besar setelah keterpurukan mereka pascaperistiwa 1948.
Namun demikian menurut dia PKI tak punya posisi apa pun di pemerintahan kecuali beberapa posisi menteri tanpa portofolio. Setiap upaya untuk memasuki panggung kekuasaan yang lebih riil hampir dipastikan mendapatkan rintangan berat dari Angkatan Darat. Upaya penyelenggaraan Pemilu pada 1959 ditunda oleh pemerintah karena alasan finansial dan administratif. Kesempatan untuk meraih kekuasaan lebih luas pun pupus. Kaum kiri kembali menemukan penghalang untuk menguasai panggung kekuasaan nasional.
Sukarno, yang menurut Max Lane mengangkat kembali profil kekiriannya setelah 1957 (hlm. 16), menggagas Demokrasi Terpimpin yang justru menjadikan jebakan bagi dirinya dan PKI. Namun demikian ciri utama dari laskap politik Demokrasi Terpimpin adalah mobilisasi massa yang disadari oleh Sukarno sebagai aksi yang perlu dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap elemen-elemen dalam masyarakat yang bersekutu dengan kepentingan (imperialis) barat (hlm. 35).
Demokrasi Terpimpin sebuah masa yang pernah hadir dengan segala macam kontradiksinya. Max Lane menganalisa era tersebut sebagai era yang ditandai serangkaian jebakan fatal bagi kekuatan kiri sekaligus sebuah arena pertarungan bagi mereka untuk mengambilalih kemudi republik secara penuh. Tapi Demokrasi Terpimpin pun punya cidera yang membekas sampai sekarang.
Semenjak Angkatan Darat memiliki kuasa di bawah payung keadaan darurat, nasionalisasi perusahaan asing yang dikampanyekan Sukarno praktis di bawah kendali Angkatan Darat. Perusahaan asing yang dinasionalisasi kepemilikannya menjadi pundi-pundi uang bagi elite tentara. Tentara pun semakin leluasa memasuki gelanggang politik yang akan terus menguat perannya di masa Orde Baru.
Gagasan pembelahan kekuatan progresif justru menemukan momentumnya di masa Demokrasi Terpimpin. Menurut Max beberapa partai besar seperti NU dan PNI mulai mengalami pembelahan. Terdapat kelompok progresif pendukung ide-ide Sukarno yang mengarah kepada sosialisme. Sementara kelompok sayap kanan lain lambat laun mulai tersisih. Kekuatan tersebut diharapkan bisa menyeragamkan visi dan meradikalisasi Front Nasional sebagai generator politik di era Demokrasi Terpimpin. Jika Demokrasi Terpimpin bertahan hingga 1966, demikian tulis Max Lane, “ Front Nasional secara politik mungkin akan memiliki keanggotaan yang lebih seragam.” (hlm. 41)
Tapi Demokrasi Terpimpin yang diharapkan bisa menjadi “jembatan emas” menuju sosialisme Indonesia sebagaimana yang diimpikan Sukarno pupus bersama terjadinya peristiwa 1 Oktober 1965. Mimpi menjadi negara sosialis lenyap begitu saja digantikan oleh deru derap langkah menuju kapitalisme.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar