Melanchton Siregar, Guru yang Bergelar Kolonel Tituler
Pendidik sekaligus pejuang yang menjadi incaran Belanda di masa revolusi. Atas jasanya, pemerintah memberikan pangkat militer setara komandan resimen.
Pangkat letnan kolonel tituler yang diberikan kepada youtuber Deddy Corbuzier diwarnai kontroversi. Pangkat tersebut disematkan langsung oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dengan pangkat tersebut, Deddy bertugas sebagai duta Komponen Cadangan (Komcad) TNI.
Menurut juru bicara Kementerian Pertahanan, pemilik podcast “Close The Door” itu dianggap punya kemampuan dalam membantu TNI menyampaikan pesan kebangsaan. Namun, sebagian kalangan meragukan kepatutan pangkat tituler tersebut. Kritik yang berhembus menilai nihilnya urgensi hingga terkesan mengobral pangkat tituler kepada Deddy.
Jauh sebelum Deddy Corbuzier sederet nama orang sipil telah menyandang pangkat tituler. Mulai dari Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX (jenderal), hingga musisi Idris Sardi (letkol). Semuanya dianggap layak menerima pangkat tituler atas jasa mereka masing-masing yang sudah terbukti.
Salah satu orang sipil yang memperoleh pangkat tituler di masa mempertahankan kemerdekaan adalah Melanchton Siregar. Ketika Belanda melancarkan agresi, Melanchton menggalang kekuatan rakyat menjalankan perang gerilya rakyat semesta. Atas perannya itu, dia kemudian menyandang pangkat kolonel tituler pada 1947.
Panglima Laskar Parki
Melanchton Siregar seperti dicatat Kementerian Penerangan dalam Republik Indonesia: Provinsi Sumatra Utara merupakan salah satu pendiri Partai Kristen Indonesia (Parki) di Sumatra Utara. Cabang-cabangnya tersebar di beberapa daerah dimana banyak orang Indonesia beragama Kristen. Barisan kelaskarannya bernama Divisi Panah.
Semula Melanchton berpofesi sebagai guru sekolah menengah pertama di Pematang Siantar. Setelah Indonesia merdeka, Melanchton bersama sejumlah tokoh Kristen di Pematang Siantar membentuk Partai Politik Kaum Kristen (PPKK). Di tengah masyarakat, partai ini lebih dikenal dengan nama Parki. Pada 5 Desember 1945, Parki dan Partai Kristen Nasional di Jawa dipersatukan menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dalam kongres di Solo.
Pada 1946, Melanchton menjadi Ketua Umum Parkindo Sumatra Utara. Pada saat inilah Belanda telah menguasai Kota Medan. Sebagian besar warga Medan mengungsi ke Pematang Siantar. Untuk menghimpun kekuatan perjuangan, Melanchton membentuk barisan kelaskaran Parkindo yang bernama Divisi Panah. Dia sendiri yang menjadi panglimanya.
Menurut Payung Bangun, penulis biografi Melanchton Siregar, pasukan Divisi Panah secara riil berkekuatan satu resimen personalia. Untuk melengkapi persenjataannya, Divisi Panah mengusahakan sendiri dengan membeli atau berasal dari rampasan. Pada waktu itu senjata-senjata, seperti bedil, pistol, bahkan senjata otomatis banyak diperjual-belikan secara gelap. Asal senjata itu bermacam-macam, ada yang dari pihak Jepang, tentara Sekutu, maupun selundupan dari luar negeri. Keperluan logistik lain untuk pasukan juga dihasilkan secara swadaya, yakni melalui usaha-usaha perkebunan kader Parkindo.
Secara persenjataan maupun jumlah pasukan, Divisi Panah memang tak sekuat Napindo, organ kelaskaran PNI. Tapi, pasukan ini masih sempat turun ke Medan untuk ambil bagian dalam Pertempuran Medan Area di front Medan Timur. Ketika Belanda mulai menduduki Pematang Siantar pada 29 Juli 1947, Divisi Panah berjuang mati-matian mempertahankan kota itu. Pasukan Divisi Panah berguguran dalam jumlah besar.
Baca juga:
“Pertempuran terakhir itu langsung dipimpin oleh Melanchton Siregar sendiri dan terjadi di kompleks sekolah-sekolah Kristen yang sekaligus menjadi markas Divisi,” ungkap Payung Bangun dalam Melanchton Siregar: Pendidik dan Pejuang.
Incaran Belanda
Kota Pematang Siantar jatuh. Melanchton pun kemudian meninggalkan Pematang Siantar Pematang Siantar menuju Tapanuli. Sebenarnya Melachton saat itu masih dalam suasana berkabung. Istrinya, Bertha Ramian boru Siburian baru saja meninggal akibat kesulitan melahirkan. Tanah merah masih kelihatan menjadi gundukan kuburan yang menjadi makam sang istri di pekuburan Kristen kota itu.
Dari Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan, Melanchton mendapat perintah. Sebagai anggota Dewan Pertahanan Sumatra yang dipimpin Gubernur, Melanchton harus turut serta mendampingi rombongan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Bukittinggi. Namun, di Tarutung, Melanchton menerima perintah baru dari Bung Hatta.
Baca juga:
“Tak usah berjalan terus ke Bukittinggi. Di Tarutung saya diangkat beliau menjadi Inspektur Sekolah menengah Sumatra Utara (termasuk Aceh). Selain itu saya diangkat pula menjadi staf ahli dari Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatra Timur di bawah pimpinan Gubernur Militer Dr. Gindo,” tutur Melanchton seperti dikutip Payung Bangun. Pada saat itulah Melanchton menerima pangkat tituler kolonel.
Di Tapanuli, Melanchton memilih Muara sebagai basis untuk melanjutkan perjuangan. Muara adalah “desa pasar” yang terletak di tepi pantai Danau Toba. Namun, Muara lebih menjadi tempat kedudukan resmi saja. Melanchton sehari-hari bergerak wara-wiri antara Muara dengan Dataran Humbang, terutama di daerah tebing-tebing curam dan terjal Danau Toba. Mobilitas yang demikian intens dilakukan demi keamanannya. Belanda berulang kali hendak meringkus Melanchton.
“Dalam usaha Belanda untuk menangkapnya beberapa kali kampung halamannya, Lumbansilo Pearung, kampung mertuanya, Paranginan, dan Muara sendiri di gempur Belanda,” tulis Payung Bangun. Pasar Muara bahkan luluh lantak akibat dibakar tentara Belanda.
Baca juga:
Meski di bawah todongan ancaman Belanda, Melanchton terus berjuang. Dia menggalang kekuatan rakyat menjalankan perang gerilya bersama TNI. Dari penggalangan warga sipil itulah TNI banyak mendapat bantuan, seperti keperluan logistik, kurir, hingga telik sandi. Namun, yang terpenting dari itu semua, Melanchton berperan dalam menjaga semangat rakyat Tapanuli tetap tinggi dan setia terhadap negara.
Setelah perang kemerdekaan usai, Melanchton kembali ke dunia pendidikan. Dia dipercayakan memimpin Jawatan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Utara. Di luar pendidikan, Melanchton bergiat dalam membesarkan Parkindo. Dalam pemilihan umum yang pertama pada 1955, Melanchton berhasil meraih kursi DPR dari Parkindo.
Di masa Orde Baru, Melanchton menjadi ketua umum Parkindo terakhir sebelum terjadi fusi partai. Meski menyandang pangkat kolonel tituler, Melanchton lebih dikenal sebagai tokoh Kristen terkemuka. Di masa kepemimpinannya, seperti disebut buletin Komunikasi, No.9 Tahun I, 1—10 November 1969, Parkindo telah berdiri di 26 provinsi dan 230 cabang di kabupaten seluruh Indonesia. Melanchton tutup usia pada 24 Februari 1975 dalam jabatan terakhir sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung RI.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar