Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade
Mereka gagal menjemput Nasution. Namun, anak Nasution yang akhirnya jadi korban.
MISI penjemputan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan (Menko Hankam) Jenderal TNI Abdul Haris Nasution dari rumahnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, dipimpin oleh Pembantu Letnan Dua (Pelda) Djahurup. Ujung tombak pasukan penculik adalah anggota Batalyon Kawal Kehormatan I Resimen Tjakrabirawa.
Mereka sempat terlibat kontak senjata dengan AIP Karel Satsuit Tubun, penjaga di rumah Waperdam J. Leimena yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Nasution, dan menewaskan KS Tubun. Begitu tiba di rumah Jenderal Nasution, mereka melucuti para penjaga di rumah itu.
“Kemudian Pelda Djahurup, Kopda Hargiono dan Pratu Sulemi semuanya anggota Cakrabirawa membuka pintu depan ruang tamu yang rupa-rupanya malam itu tidak dikunci dan kemudian masuk,” catat buku Monumen Pancasila Çakti.
Baca juga: Kesaksian di Teuku Umar 40
Sulemi mengetuk pintu kamar Nasution. Pintu sempat dibuka Nyonya Johana Nasution namun ditutup lagi dengan keras dan dikunci. Merasa target yang hendak mereka jemput dalam kondisi hidup atau mati itu akan hilang, Sulemi dan kawan-kawan penculiknya panik. Kopral Dua Hargijono pun menembakkan senapan mesin ringan Sten Gun yang disandangnya.
Setelah pintu ditembaki hingga rusak, Sulemi masuk tapi tak menemukan Jenderal Nasution. Apa yang terlihat adalah istri Nasution dan anak bungsu Nasution, Ade Irma Suryani, bersimbah darah karena tembakan pasukan penculik. Target para penculik, Jenderal Nasution, memang berhasil mereka kenai kakinya namun gagal mereka dapatkan.
Sulemi lalu melapor ke Djahurup bahwa Nasution tak ditemukannya. Namun ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Tendean, mereka bawa ke Lubang Buaya. Peristiwa itu terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965. Tembakan dari pasukan penculik itu membuat Ade Irma sekarat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto sampai akhirnya meninggal dunia pada 6 Oktober 1965.
Beberapa hari kemudian, Hargijono dan Sulemi dicokok tentara yang kontra Gerakan 30 September 1965. Mereka lalu bertahun-tahun hidup di dalam penjara.
Baca juga: Menjemput Pak Nas
Hargijono yang kala itu berusia 27 tahun tak bisa lagi hidup di Asrama Tjakrabirawa Tanah Abang II. Padahal sebelum kejadian, sehari-harinya sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan yang bertugas menjaga keamanan Presiden Sukarno, dia habiskan tinggal di sana. Menurut Gerakan 30 September di Hadapan Mahmillub 2 di Jakarta: Perkara Untung, Hargijono merupakan personel Angkatan Darat dengan NRP 349142. Di batalyon yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung itu, Hargijono adalah anggota regu III, Peleton I, Kompi B. Pria asal Mukiran, Semarang ini beragama Islam.
Setelah lebih dari setahun ditahan, Hargijono dan Sulemi disidang. Ketika itu Jenderal Nasution telah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang baru saja sukses melengserkan Sukarno dan menaikan Letnan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden RI.
Hargijono tidak sendiri disidang. Koran Kedaulatan Rakjat, 29 Maret 1967, memberitakan pada Selasa, 28 Maret 1967, Mahkamah Militer Daerah Militer Jakarta Raya menyidangkan perkara Kopral Dua Hargijono, Kopral Dua Suwarso, Kopral Dua Sumarno, Prajurit Kepala Sardju, Prajurit Satu Sumarjono, Prajurit Satu Idris, Prajurit Satu Supardi, Prajurit Satu Samidi, Prajurit Satu Sulemi, dan Prajurit Satu Amir Suronodi di gedung Kehakiman Militer KODAM V Jaya di Jakarta.
Baca juga: "Ciuman" Terakhir Ade Irma Untuk Ibu Negara
Mereka didakwa melakukan kudeta, menculik melakukan percobaan pembunuhan terhadap Jenderal Nasution, sekaligus membunuh anak kecil, Ade Irma Suryani Nasution. Hukuman yang diterima Kopral Hargijono sangatlah berat meski dia hanya bertindak sesuai perintah atasan. Majalah Selecta nomor 297 menyebut, pada 29 Mei 1967 hakim Letnan Kolonel Sunarko membacakan vonis mahkamah militer. Hargijono divonis hukuman mati. Idris dan Sulemi seumur hidup. Amir 6 tahun, dan yang lain 17 tahun penjara.
Vonis itu dianggap tidak adil oleh Sudisman, salah seorang petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang juga dicap terlibat G30S. Dia mengkritisi nasib Hargijono dkk. di tangan Orde Baru yang sekadar dikambinghitamkan saja.
“Bagaimana kita dapat menerima rasa keadilan dengan dihukumnya para pelaku G.30.S seperti sdr. Hargijono dan kawan-kawannya yang taat kepada perintah komandannya dan kepada Presiden Sukarno dan yang perbuatannya menjadi tanggung jawab komandannya, sementara pengabaian disiplin yang dilakukan Jenderal Nasution tidak diakui sebagai subversi TNI,” kata Sudisman dalam pledoinya, Pledoi Sudisman: Kritik Oto Kritik Senang Politbiro CC PKI.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar