Kesaksian di Teuku Umar 40
Bagaimana eks Sersan Satu Soelemi dan Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution mengisahkan versinya masing-masing di sekitar peristiwa subuh berdarah pada 1 Oktober 1965.
JAKARTA, 1 Oktober 1965. Rumah kediaman Menteri Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal A.H. Nasution di Jalan Teuku Umar No.40 dibekap sepi pagi buta itu. Beberapa prajurit nampak masih terkantuk-kantuk di pos jaga, ketika satu regu pasukan berseragam Resimen Tjakrabirawa (Pasukan Pengawal Khusus Presiden Sukarno) menyergap mereka secara tiba-tiba.
“Kami lucuti senjata-senjata mereka dan secara baik-baik komandan kami Pembantu Letnan Satu Djahurup mengatakan agar mereka tidak melawan, karena kami datang terkait dengan perintah langsung dari Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi ABRI,”kenang Soelemi, eks anggota Tjakra (sebutan untuk Resimen Tjakrabirawa).
Baca juga: Pertarungan Dua Resimen
Usai mengamankan para penjaga, Sersan Satu Soelemi memimpin dua rekannya (Prajurit Kepala Hargijono dan Kopral Kepala Soemardjo) merangsek ke ruangan depan rumah Jenderal Nasution. Dia lantas memutar tangkai pintu. Klik, ternyata pintu tak terkunci sama sekali. Aksi dilanjutkan oleh Soelemi dengan mengetuk pintu kamar Jenderal Nasution secara pelan.
“Saya berusaha berlaku secara baik-baik memperlakukan seorang panglima, kami jelas bukan sekelompok garong yang harus mendobrak langsung pintu kamar Pak Nasution,” ungkap Soelemi.
Beberapa detik kemudian, terdengar seseorang membuka pintu kamar. Namun entah kenapa, tetiba pintu tersebut dibanting secara keras dan langsung dikunci kembali. Soelemi panik. Insting tentara-nya mengatakan bahwa target akan melakukan perlawanan. Maka diperintahkannya Hargijono untuk membuka paksa pintu dengan cara menembak bagian tangkai pintu.
Tretetetetett! Stengun milik Hargijono pun menyalak. Begitu tembakan berhenti, Soelemi langsung menendang pintu dan langsung merangsek masuk kamar. Mereka mendapatkan Johanna Sunarti, istri Nasution, tengah berdiri dalam jarak sekitar 6 meter sambil memangku putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution. Tubuh Sunarti terlihat gemetar.
“Pak Nasution di mana?!” tanya Soelemi
“Ada urusan apa dengan Pak Nasution?!” Sunarti malah balik bertanya.
“Urusannya Bu, Pak Nasution harus menghadap Presiden pagi ini juga karena ada masalah penting!”
“Pak Nasution tidak ada di rumah!”
Ketiga prajurit Tjakra itu tertegun. Beberapa menit sebelumnya, mereka mendengar suara rentetan senjata Brengun dari arah depan rumah. Solemi sempat berpikir, apakah tembakan itu berasal dari Brengun rekannya (Kopral Sardjo) yang ditujukan kepada Nasution? Tanpa banyak bicara mereka kemudian bergegas keluar dan memberitahu Djahurup bahwa Nasution sudah tak berada di kamarnya lagi. Karena keterbatasan waktu, Djahurup memutuskan untuk menyudahi operasi.
“Priiittt!!!” bunyi peluit tanda berakhirnya operasi pun ditiup oleh Djahurup. Suaranya terdengar nyaring memecah kesunyian Jakarta di pagi buta itu. Puluhan orang bersenjata kemudian muncul dari setiap sudut rumah Nasution. Mereka lantas kembali menaiki kendaraan masing-masing: 3 truk dan dua jip, dengan membawa serta ajudan Nasution, Letnan Satu Piere Tandean.
Baca juga: Ajudan Tampan Jadi Pahlawan
Cepat sekali mobil-mobil militer itu meluncur ke arah timur Jakarta, meninggalkan asap dan debu yang berterbangan, mengotori kesejukan kawasan Menteng. Kemudian sunyi kembali membekap.
*
BEBERAPA jam sebelumnya. Hawa panas mendera, nyamuk-nyamuk mengganas. Sunarti lantas bangkit dari ranjang, lalu duduk di sebuah dipan. Dia memandangi suaminya yang sedang sibuk mengusir nyamuk-nyamuk yang tengah berpesta di atas tubuh Ade Irma. Saat itulah dari arah depan rumah, mereka mendengar suara gaduh dan beberapa kali letusan tembakan.
Sunarti bergegas keluar kamar dan langsung membuka kunci pintu depan. Begitu melihat rombongan tentara berseragam Tjakra di depan rumahnya, hatinya langsung tercekat. Pikiran buruk pun muncul. Tanpa mengunci kembali pintu utama, dia kembali ke kamarnya, memberitahu sang suami tentang keadaan di luar.
“Saya menjadi heran, mengapa Cakrabirawa yang datang?” pikir Sunarti seperti dikutip oleh koran Berita Yudha, 6 Oktober 1965.
Sunarti memohon agar Nasution tidak keluar kamar. Dia menyatakan bahwa dirinya memiliki perasaan jelek dengan kedatangan Tjakra. Ade Irma yang terbangun karena suara pembicaraan kedua orangtua-nya, lantas menghampiri Sunarti dan berdiri di dekatnya. Merasa kurang percaya dengan keterangan istrinya, Nasution memutuskan untuk keluar kamar.
“Saya akan bicara sendiri dengan orang-orang itu,” ujar Nasution dalam otobiografinya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid VI: Masa Kebangkitan Orde Baru.
Kendati dihalang-halangi oleh Sunarti, Nasution tetap memaksa untuk keluar. Begitu membuka pintu kamar, alangkah terkejutnya Nasution ketika didapatkannya para prajurit Tjakra sudah berada di depan pintu kamarnya. Refleks, dia membanting pintu kamar. Beberapa detik kemudian terdengar rentetan tembakan menyalak. Nasution spontan bertiarap, sementara dengan susah payah, Sunarti menguci pintu.
“Beberapa Cakrabirawa menggasak pintu dengan senjata, sampai retak-retak,” ungkap Nasution.
Mendengar kegaduhan di kamar anaknya, Zahara Lubis dan Mardiyah (saudara perempuan Nasution) ikut terbangun. Lewat kamar sebelah yang ada pintu penghubungnya, Mardiyah lantas mengambil Ade Irma dengan maksud menyelamatkan bocah itu ke tempat lain. Tetapi karena gugup, Mardiyah salah jalan. Dia justru menuju ruangan di mana terdapat beberapa prajurit Tjakra. Begitu pintu dibuka oleh Mardiyah, langsung disambut rentetan tembakan yang mengenai punggung Ade Irma. Dengan agak nekad, Sunarti lantas menutup pintu itu kembali dan langsung menguncinya.
Baca juga: "Ciuman" Terakhir Ade Irma Untuk Ibu Negara
Berondongan peluru kembali menghujam pintu. Dua butir peluru menyerempet tubuh Sunarti: satu mengenai kulit kepalanya, satu lagi mengenai permukaan dadanya. Tanpa mengindahkan maut yang menyasar dirinya, Sunarti menarik Nasution untuk lari keluar kamar. Melalui kamar sebelah dan lorong di depan toilet, Nasution lari menuju ke samping rumah.
“Saya naik ke tembok. Dari atas tembok saya menoleh, dan baru jelas betul bahwa anak perempuan saya Ade terkena tembakan di bagian punggungnya,” kenang Nasution.
*
NASUTION sudah berada di atas tembok pembatas rumahnya dengan gedung Kedutaan Besar Irak, ketika menyaksikan buah hatinya berlumuran darah. Hatinya tercekat sekaligus pilu. Hampir saja dia turun kembali untuk menghadapi para prajurit Tjakra itu. Namun Sunarti mencegahnya.
“Selamatkan diri! Selamatkan diri!” ujar Sunarti.
Seiring ucapan Sunarti, tetiba terdengar serentetan tembakan. Nasution cepat tersadar dan langsung meloncat ke halaman Kedubes Irak. Terdengar kemudian prajurit yang menembaknya setengah berteriak berbicara kepada kawan-kawannya.
“Ada orang lari ke sebelah, saya tembak tidak kena, pelurunya kurang ke bawah!”
Nasution memilih tumpukan drum di pekarangan Kedubes Irak untuk tempat persembunyiannya. Orang-orang bersenjata itu seperti tak memiliki nafsu untuk masuk ke pekarangan gedung tersebut. Bisa jadi mereka tahu jika terus merangsek ke gedung itu maka akan menimbulkan masalah diplomatik antara Indonesia dengan Irak. Menjelang jam 5, Nasution mendengar lengkingan peluit berbunyi. Para penyerbu itu pun pergi dalam hitungan menit.
*
Sejarah kemudian mencatat, Jenderal A.H. Nasution lolos dari dari incaran grup Pasopati, nama kelompok yang ditugaskan untuk ”menjemput”nya. Dia bahkan bersama Letnan Jenderal Soeharto, masih sempat memukul balik Gerakan 30 September-nya Letnan Kolonel Oentoeng Sjamsoeri, bahkan memberangus kekuatan PKI dan menurunkan Sukarno sekaligus menyapu para loyalis-nya dari pemerintahan .
Nasution memang menjadi satu-satunya target yang selamat dari “kegilaan” di Lubang Buaya. Namun untuk itu, dia harus rela kehilangan putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution. Mengenai tertembaknya Ade ini, Soelemi memiliki versi lain. Menurutnya, Ade terluka parah karena pantulan peluru Stengun yang dimuntahkan dari senjata Hargijono, saat berusaha membongkar pintu kamar Nasution yang terkunci.
“Saya bersumpah Demi Allah, kami tidak secara sengaja menembak putri-nya Pak Nas. Kami fokus kepada Pak Nas saja. Setelah tahu dia lolos, ya kami langsung pergi,” papar Soelemi kepada saya dua tahun yang lalu.
Soelemi sendiri harus menebus secara setimpal akibat menjalankan “tugas” yang diembannya itu. 13 tahun lamanya (1965-1978), dia harus menjadi penghuni Rutan Salemba, termasuk beberapa bulan mendiami “neraka” bernama Kapal Selam. Itu julukan dari para penghuni Rutan Salemba untuk tempat isolasi yang berada di Blok N.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
Di Kapal Selam dia harus melupakan dirinya adalah manusia. Di ruangan yang hanya cukup untuk tidur dan membuang hajat itu, dirinya pernah selama berbulan-bulan hanya bisa duduk dan berbaring karena tinggi ruangan yang gelap itu sama sekali tidak memungkinkan seorang manusia untuk berdiri. Selama berbulan-bulan juga dirinya harus puas menahan rasa lapar dengan nasi basi bercampur bangsal (beras yang dimasak dengan kulit-kulitnya) tanpa air minum sama sekali.
“Terpaksa saya minum air comberan atau malah air kencing sendiri,” kenangnya dalam nada pahit.
Eks prajurit Tjakra itu menghabiskan waktunya di Blok N dengan berteman tikus-tikus got, kecoa, cicak dan kelabang yang kadang harus dia santap. Tumpukan kotoran dan genangan air seni sendiri sudah tak digubrisnya. Penyakit kulit dan pencernaan jadi langganan dia sehari-hari. Namun semua dijalaninya secara tabah. Dia sadar, semua itu sudah menjadi resiko hidupnya.
"Saya sudah menyerahkan semuanya: harga diri, rasa sakit,dan masa depan saya kepada mereka, demi menebus apa yang pernah saya lakukan sebagai seorang tentara yang harus melaksanakan perintah atasan. Saya ikhlaskan semua. Tapi memaksa saya untuk mengakui sebagai komunis, sampai mereka membuat saya mati tak akan saya lakukan.Bukan apa-apa, karena memang saya tak pernah merasa menjadi seorang komunis..." ungkap Soelemi. Matanya menerawang seolah sedang menyaksikan masa lalunya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar